(Sumber Gambar: Fitratul Akbar) |
Oleh: Fitratul Akbar*
KULIAHALISLAM.COM – Sekarang, ketika bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa di dunia dihadapkan pada musuh bersama, yakni wabah Covid-19, maka gotong royong berskala besar sangat diperlukan. Banyak data dan fakta membuktikan bahwa gotong royong menjadi modal sosial yang kuat dan terus dibutuhkan di tengah masa pandemi yang belum diketahui kapan akan berakhir. Hal Itu juga diakui Shane Preuess dalam artikel berjudul Indonesia and Covid-19: What the World Missing dalam The Diplomat (24/4/2020) ; ”Rakyat Indonesia memiliki keyakinan bersama dan rasa tanggungjawab untuk menghadapi Covid-19, itu sesuatu yang harus disorot”, tulisnya
Menurut survei Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index tahun 2018, menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling dermawan di dunia dengan skor 59 persen. Berdasarkan buku A Global View of Giving Trends, yang dipublikasikan pada Oktober 2018, skor Indonesia untuk membantu orang lain sebesar 46 persen, berdonasi materi 78 persen, dan melakukan kegiatan sukarelawan 53 persen.
Survei terbaru dari AC Nielson, sebagaimana disampaikan Ekonom Adiwarman Karim saat Webinar Hijrah Ekonomi Pasca Covid-19 (15/5), diantara perilaku yang paling banyak dilakukan masyarakat saat terjadi wabah korona adalah donasi. Hal ini juga diperkuat data Legatum Properity Index tahun 2019, yang menempatkan Indonesia berada di peringkat kelima dari 167 negara dengan modal sosial tertinggi di dunia.
Pada era new ritual ini, beberapa fakta menarik menunjukan banyak masyarakat yang berdonasi antara lain dengan cara memesan makanan melalui aplikasi ojol, kemudian makanan tersebut diberikan kepada tukang ojol atau kepada yang membutuhkan, baik pribadi maupun institusi seperti panti asuhan. Sehingga donasi tetap jalan; tukang ojol dapat order, penjual makanan laku, masyarakat yang membutuhkan terbantu, donatur dapat pahala kebaikan serta aman dari penularan Covid-19.(Faozan Amar, Sekretaris LDK PP Muhammadiyah dan Dosen FEB UHAMKA).
Situasi pandemi ini menunjukan bahwa bersatu padu untuk berhadapan dengan situasi krisis menjadi sangat penting agar negeri ini tetap kokoh. Solidaritas warga di masa pandemi COVID-19 menguat dalam beragam bentuk partisipasi publik untuk membantu tenaga medis maupun warga yang terdampak (Agustina, 2020). Nilai-nilai Pancasila terejawantahkan secara aktual di masa pandemi ketika masyarakat secara sukarela bergotong royong untuk meringankan beban saudara-saudaranya yang kesulitan.
Gotong royong antar sesama adalah salah satu hal yang sangat penting untuk dikedepankan. Meski banyak juga masyarakat yang egois dan tidak memperdulikan orang yang ada di sekitarnya, namun kelompok masyarakat yang perduli terhadap sesamanya masih mendominasi. Contoh-contoh faktual yang terjadi ketika masyarakat saling bahu membahu untuk mengatasi ragam kesulitan yang menerpa ketika pandemi terjadi. Dalam situasi ini, bahkan menjaga diri dan tetap di rumah merupakan bagian penting dari kontribusi untuk menahan laju peningkatan COVID-19.
Selain itu, inisiatif lokal di berbagai penjuru negeri juga menjadi potret baik tentang kehebatan negeri ini dalam upaya menghadapi pagebluk yang terjadi saat ini. Kapital sosial masyarakat yang senang guyub rukun masih tercermin di banyak tempat. Tak salah jika Bung Karno menyatakan bahwa sari dari Pancasila adalah gotong royong. Dalam pidatonya Bung Karno mengatakan “Jikalau saya peras, yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya katakana dengan satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong, alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong”(Lahirnya Pancasila, edisi Penerbitan Guntur, Yogyakarta, dikutip dari Buku Karya Lengkap Driyarkara, 2006).
Pidato tersebut masih sangat relevan dengan konteks kekinian. Pandemi mengajarkan kembali kepada bangsa ini untuk terus bersatu dan bergotong royong untuk mengatasi beragam problem yang terjadi. Gotong royong merupakan budaya masyarakat Indonesia yang sudah mengakar sejak lama dan saat menjadi kekuatan melawan COVID-19 (Sharon, 2020). Di platform berbagi kitabisa.com misalnya, berbagai elemen sipil masyarakat mengajak untuk memberi donasi bagi semua pihak yang terdampak COVID-19. Donasi tersebut diperuntukkan para pekerja medis, buruh, guru ngaji, pedagang, pengemudi ojek daring hingga satwa. Ini adalah bentuk konkrit gotong royong online di era COVID-19. Kemajuan teknologi membuat ajakan untuk berkontribusi lebih luas cakupannya.(Anggi Afriansyah, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI).
Semua itu tidak terlepas dari pemikiran para pendiri bangsa. Bung Hatta dalam buku Pancasila Kekuatan Pembebas (2012,) mengutarakan pandangannya tentang masyarakat desa dengan tradisi yang mengedepankan aspek solidaritas dan saling membantu melalui kegiatan gotong royong. Begitupun Bung Karno menekankan ikatan masyarakat desa terjadi karena hubungan persaudaraaan, bukan sebuah kontrak sosial.
Membantu korban covid-19, mengobati dan merawat pasien, meringankan beban masyarakat terdampak, berdiam di rumah, mematuhi protokol kesehatan, memberikan penyuluhan, mengikuti anjuran pemerintah, dan deretan tindakan positif lainnya dalam upaya menghalau Covid-19 merupakan bagian dari gotong-royong kemanusiaan. Itulah cerminan dan implementasi nilai-nilai pancasila secara nyata.
Salah satu hikmah di balik Pandemi Covid-19, kita semakin menyadari bahwa hidup tidak bisa sendirian, individualisme harus disingkirkan. Bahwa Tolong-menolong, saling membantu dan meringankan beban hidup bersama adalah hal utama. Gotong royong menjadi kebutuhan bangsa, menjadi jalan hidup. Sebagai warga bangsa, kita patut bersyukur menjadi bagian dari komponen bangsa Indonesia, menjadi satu dari ratusan juta warga negara yang lahir dari “rahim” Indonesia. Kini dan ke depan adalah waktu yang utama bagi kita untuk kembali kepada Pancasila, back to gotong royong. Pancasila telah menjadi “kesepakatan agung” semua komponen bangsa, untuk dihayati dan di internalisasikan oleh setiap diri, serta dipancarkan dalam amal perbuatan. Pancasila bukanlah pajangan, tetapi harus menjadi pegangan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi pegangan hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Antar-sila dalam Pancasila menjadi satu kesatuan yang utuh. Sila Ketuhanan menyinari sila kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial.
Sila Kemanusian membingkai sila persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial. Sila Persatuan mengikat erat sila permusyawaratan dan keadilan sosial. Sila permusyawaratan merupakan peneguhan untuk mewujudkan keadilan sosial. Sejarah telah memperlihatkan dengan jelas bahwa Lima Dasar berbangsa dan bernegara itu telah terbukti mampu menaungi seluruh komponen bangsa yang sangat bhinneka.
Pancasila dilahirkan melalui pergumulan yang sangat panjang oleh para pendiri bangsa. Berbagai rumusan diketengahkan untuk mencari dasar negara yang cocok untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Tiba saatnya sidang 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan dalam pidatonya bahwa bilangan Lima itu diperas menjadi Tiga Dasar. Dua dasar yang pertama, Kebangsaan dan Internasionalisme, Kebangsaan dan Perikemanusiaan, diperas oleh Bung Karno menjadi satu yang dinamakan Sosio-Nationalisme.
Demokrasi dalam rumusan Bung Karno bukanlah demokrasi Barat, tetapi politiek-economische demokratie, yaitu Demokrasi dengan Kesejahteraan, yang diperas Bung Karno menjadi satu yang dinamakan Socio-Democratie. Kemudian Bung Karno menyatakan, “Tinggal lagi Ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya Lima itu telah menjadi Tiga: Sosio-Nationalisme, Sosio-Demokratie, dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, Satu Dasar saja? Baiklah, saya jadikan Satu, saya kumpulkan lagi menjadi Satu. Apakah yang Satu itu? Gotong Royong.”
Gotong royong menjadi intisari Pancasila. Lalu apa makna gotong royong itu? Bung Karno menegaskan bahwa gotong royong adalah “Pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! Prinsip Gotong Royong diantara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.”
Ho-lopis-kuntul-baris adalah peribahasa Jawa yakni Saiyeg saeka praya, artinya seiya sekata, bekerja dengan gotong royong. Segala sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama akan menjadi indah, yang berat menjadi ringan, yang sukar menjadi mudah, yang lambat menjadi cepat, dan yang pelik akan terurai.
Bagi umat Islam, ajaran tentang ‘gotong royong’ telah termaktub dalam Alquran, surah al-Ma’idah ayat 2. Allah SWT berfirman; “…wa ta’āwanụ ‘alal-birri wat-taqwā wa lā ta’āwanụ ‘alal-iṡmi wal-‘udwāni…” (…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…). Nabi Muhammad SAW bersabda; ”Barangsiapa menolong saudaranya, maka Allah akan selalu menolongnya”. (HR Bukhari dan Muslim).
Ta’awun (tolong menolong), kebersamaan adalah jalan suci, jalan utama, yang mesti kita jalani, dimana pun dan sampai kapan pun. Kita juga mesti kembali kepada suatu kesadaran penuh bahwa kita semua berasal dari “Ibu dan Bapak yang sama”, sebagaimana nasihat KH. Ahmad Dahlan. Tidak semestinya kita bertengkar dan mengumbar permusuhan. Kita semua mesti “bersatu hati”, saling mengikat untuk gapai kebahagiaan dan kebersamaan. Spirit gotong royong dimulai dari hati, niat yang suci, lalu dipancarkan dalam amal perbuatan yang nyata.
Gotong royong telah menjadi “warisan agung” yang mesti dijaga dan dipegang erat. Kita pun harus berupaya bersikap adil dalam segala hal, dimanapun dan kepada siapapun, karena disamping ta’awun, agama pun dengan tegas mengajarkan keadilan. Firman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah ayat 8: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Menanggapi situasi sulit sekarang ini, tepat bagi kita untuk kembali membuka warisan agung nenek moyang yang ditegaskan kembali oleh para pendiri bangsa yaitu “Gotong Royong”. Indonesia dilahirkan oleh perjuangan bersama, bermula dari kesepahaman, berdiri atas dasar kesepakatan, dimerdekakan atas dasar kebulatan tekad bersama, dan dibangun atas dasar kebersamaan. Itulah Gotong Royong. Bung Karno menegaskan dalam Pidatonya; “Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara Gotong Royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!”.
Pandemi Covid-19 yang melanda negeri kita harus dihadapi dengan “langkah bersama”, mesti disikapi dengan gotong royong untuk kemanusiaan, dan yakinlah bahwa wabah akan segera sirna, seraya memohon ampun dan lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Akhirul kalam, karena gotong royong yang menjadi intisari Pancasila itu merupakan pancaran Firman Tuhan yang termaktub dalam Kitab Suci dan Sabda Nabi, maka kita semakin yakin bahwa dengan gotong royong, Indonesia akan mampu dan kuat menghadapi pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 “telah memanggil” kesadaran, kesetiakawanan, dan kepedulian sosial kita untuk selalu bergotong royong menghadapi situasi yang sulit ini dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan. Kita mulai dari hal kecil, menolong saudara, teman, dan tetangga agar tetap “bisa makan”. Pada saat yang sama, penyelenggara negara wajib memastikan seluruh rakyatnya tidak kekurangan pangan. Back to gotong royong! Back to Gotong Royong.
Referensi:
1. Pancasila dan Gotong Royong Berskala Besar, Senin 01 Jun 2020 11:56 WIB, Oleh Faozan Amar, Sekretaris LDK PP Muhammadiyah dan Dosen FEB UHAMKA.
2. 01 June 2020, Ditulis oleh Anggi Afriansyah, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI.
3. Sabtu 13 Jun 2020 07:04 WIB, Sutia Budi, Wakil Rektor ITB Ahmad Dahlan.
*)Penulis Mahasiswa Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.