Foto : Prof. Muhammad Quraish Shihab, Ulama Indonesia |
KULIAHALISLAM.COM – Ungkapan sesungguhnya ulama adalah
pewaris para Nabi (inna al-ulama waratsah al-anbiya’) menurut Ibn Hajar
Al-Asqalani (773-852 H) dalam kitabnya Fath Al-Bariy adalah sebagian dari Hadis
yang diriwayatkan Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, dan Ibnu Hibbin. Hadis ini
dipandang Shahih oleh Al-Hakim, dipandang Hasan oleh Hamzah al Kilaniy. Istilah
“Ulama” disebutkan dalam Q.S Fathir ayat 28. Allah berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ
وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya : Dan
demikian pula di antara manusia, binatang-binatang melata dan biantang-binatang
ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah Ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.
Prof. Muhammad Qurais Shihab
menyatakan bahwa kata Ulama disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali.
Pertama dalam konteks ajakan Al-Qur’an untuk memperhatikan turunnya hujan dari
langit, beraneka ragamnya buah-buahan, gunung, binatang dan manusia yang
kemudian diakhiri dengan ‘sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hambanya adalah Ulama.
Yang kedua
dalam konteks pembicaraan Al-Qur’an yang kandungan dan kebenarannya telah
diakui oleh Ulama Bani Israil (Q.S 26 : 197).
Berdasarkan ayat tersebut menurut Prof. Muhammad Qurais Shihab, ulama adalah orang yang mempunyai pengetahuan tentang
ayat-ayat Allah baik yang bersifat kawniyyah maupun Quraniyyah.
Dalam
Ensiklopedia Islam, disebutkan Ulama merupakan orang yang tahu atau yang memiliki
pengetahuan ilmu agama dan ilmu pengetahuan kealamaan yang dengan
pengetahuannya tersebut memiliki rasa takut dan tunduk pada Allah.
Kata Ulama merupakan bentuk jamak
dari ‘alim yang artinya yang tahu atau yang mempunyai pengetahuan. Dalam Tafsir
Al-Maraghi karya Imam Mustafa al-Maraghi menyatakan bahwa ada sebuah asar yang
diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa dia berkata : Orang yang berilmu tentang Allah
Yang Maha Pencipta di antara hamba-hambanya ialah orang yang tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan
mengharamkan apa yang diharamkan Allah, memelihara wasiat-Nya dan yakin dia
akan bertemu dengan-Nya dan memperhitungkan amalnya.
Sedangkan Imam Hasan
al-Basri berkata, orang yang berilmu adalah orang yang takut kepada Allah Yang
Maha Pengasih, sekalipun dia tidak mengetahui-Nya dan menyukai apa yang disukai
Allah dan menghindari apa yang dimurkai Allah.
Pada masa al-Khulafa ar-Rasyidin
tidak ada pemisahan antara orang yang memiliki pengetahuan agama,ilmu
pengetahuan kealaman dan pemimpin politik praktis.
Para Sahabat Nabi pada
umumnya memiliki pengetahuan keagamaan, pengetahuan kealaman dan sekaligus
mereka jjuga pelaku-pelaku politik praktis. Para Sahabat terkemuka pada masa
itu biasanya duduk dalam suatu dewan pertimbangan yang disebut Ahl al-Halli wa
al-‘Aqad. Oleh ulama, para sahabat ini kemudian disebut ulama salaf.
Baru pada masa pemerintahan Dinasti
Bani Ummayah dan sesudahnya, istilah ulama ditekankan kepada orang yang
memiliki pengetahuan keagmaan saja. Bahkan karena ada pembidangan ilmu agama,
istilah ulama dipersempit lagi, misalhnya ahli fiqih disebut Fuqaha, ahli hadis
disebut Muhaddisin, ahli kalam disebut Mutakalimin, ahli tasawuf disebut
Mutasawif dan ahli tafsir disebut Mufasir.
Sementara orang yang memiliki
pengetahuan kealaman tidak lagi disebut ulama.Sehingga tokoh-tokoh tokoh
seperti al-Khawarizmi, al-Biruni dan Ibnu Hayyan tidak disebut Ulama lagi
tetapi ahli kauniyyah. Tokoh-tokoh seperti ini baru disebut ulama jika mereka
memiliki pengetahuan agama. Para ahli filsafat juga jadi disebut failasuf
(filosof) seperti Ibnu Rusyd, al-Farabi, Ibnu Sina banyak yang menyebut mereka
filusuf bukan ulama.
Di Indonesia,istilah ulama diartikan
lebih sempit lagi karena diartikan sebagai orang yang mengetahui pengetahuan
ilmu keagamaan dalam bidang fiqih saja,bahkan dalam pengertian awam
sehari-hari, ulama adalah fuqaha dalam bidang ibadah saja.
Akibatnya, orang yang ahli politik, ahli hukum,ahli matematika,
ahli fisika,ahli sastra, ahli ilmu kedokteran, ahli pendidikan, ahli komputer,
ahli ekonomi, ahli kimia tidak disebut ulama padahal mereka ini pada hakikatnya
adalah ulama Islam selama mereka beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan kitab-Nya
serta memiliki rasa takut kepada Allah yang membuat mereka senantiasa beribadah
pada Allah.
Prof. Muhammad Qurais Shihab menyatakan
secara inspiratif Al-Qur’an telah mendorong umat Islam untuk maju terutama
dalam menggali dan mengembangkan pengetahuan.
Cukup banyak ayat yang menyebutkan
tentang astronomi, biologi dan sebagainya sebagai tanda kebesaran Allah yang
harus diselidiki manusia. Sejarah pun mencatat bahwa umat Islam berhasil
mengembangkan ilmu pengetahuan pada Abad Pertengahan karena dorongan Al-Qur’an.
Lebih lanjut ia menyatakan, perkembangan
ilmu pengetahuan yang berarti terbuka dan terkumpulnya secara luas wawasan yang
harus dikaji dan diajarkan, mengantarkan kita pada bidang sistematika ilmu.
Usaha ini dapat dipahami dalam rangka mempermudah pemahaman atau penyelidikannya,
meskipun minimbulkan pemecahan atau pembatasan yang sering kali kurang
menguntungkan. Seperti ahli fiqih (Fuqaha) hanya dipahami sebatas orang
ahli-ahli hukum Islam akibatnya banyak yang menduga ibadah hanya terbatas pada
ritual saja.
Fiqih pada mulanya dimaksudkan
sebagai suatu pengtahuan yang menyeluruh tentang agama: mencakup hukum,
keimanan, ahlak,Al-Qur’an, dan Hadis.
Penyempitan pengertian ulama menimbulkan kesan seolah-olah hanya ilmu
agama saja yang dapat menimbulkan rasa takut pada Allah (khassyah) sedangkan
ilmu lain tidak.
Selain itu, banyak yang hanya mengutamakan ilmu agama dan
menganggap rendah ilmu umum. Bahkan ada yang beranggapan untuk menjadi ulama
cukup hanya dengan menguasai ilmu agama saja.
Ini keliru, karena jika dikembalikan
kepada Al-Qur’an maka yang disebut alim ialah orang yang pengetahuannya menimbulkan
rasa takut kepada Allah.
Ada kolerasai antara orang berilmu dan khassyah kepada
Allah karena keberagamaan itu inheren dengan ilmu. Sehingga dapat dikatakan bahwa
hanya orang berilmulah yang dapat mencapai puncak khassyah kepada Allah.
Hakikat ilmu bukanlah sekedar
pengetahuan atau kepandaian yang dapat digunakan untuk memperoleh sesuatu
tetapi merupakan cahaya (nur) yang dapat menerangi jiwa untuk berbuat dan
bertingkah laku baik. Jika kita temukan ilmu umum yang bersifat sekuler karena
bersumber dari Barat maka bukan berarti ilmu tersebut harus ditolak namun ambil
yang baiknya dan jauhi yang buruknya.
Sumber : M Qurais Shihab dalam karyanya Membumikan Al Qur’an, Tafsir Al Maraghi, Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve.