Kuliahalislam.com- Syiah (syi’ah) merupakan satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa Ali Bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Dari segi bahasa, kata Syiah berarti pengikut, kelompok atau golongan seperti yang terdapat dalam surah As-Saffat ayat 83 yang artinya ; ” Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh)”.
Paham Syiah dianut oleh sekitar 20% dari umat Islam dewasa ini. Penganut paham Syiah tersebar di negara-negara Iran, Irak, Libanon, Afghanistan, Pakistan, India, Arab Saudi, Bahrein, Kuwait, bekas negara Uni Soviet, serta beberapa negara Amerika, Asia Tenggara dan Eropa.
Sejarah Lahirnya Syiah
Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal lahirnya Syiah. Sebagian menganggap Syiah lahir langsung setelah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam wafat, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah.
Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifaan bagi Ali bin Abu Thalib. Sebagian yang lain menganggap Syiah lahir pada masa akhir kekhalifahaan Usman bin Affan (memerintah dari tahun 644-656) atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abu Thalib. Pada masa itu terjadi pembrontakan terhadap Khalifah Usman bin Affan yang berakhir dengan kematian Usman bin Affan dan ada tuntutan dari umat agar Ali bin Abu Thalib bersedia dibait sebagai khalifah.
Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syiah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali bin Abu Thalib dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at-Tahkim atau Arbitrasi. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali bin Abu Thalib memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali.
Mereka ini disebut golongan Khawarij (orang yang keluar). Sebagian besar orang yang tetap setia kepada Khalifah disebut Syi’atu ‘Ali (pengikut Ali). Pendirian kalangan Syiah bahwa Ali Bin Abi Thalib adalah Imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam telah tumbuh sejak Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam masih hidup dalam arti bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian menurut Syiah, Syiah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Namun demikian, terlepas dari semua pendapat di atas, yang jelas bahwa Syiah muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Ali Bin Abi Thalib dan pasukan muawiyah terjadi pula antara sesama pasukan Ali. Setelah kematian Ali Bin Abi Thalib pada tahun 40 Hijriah akibat tusukan benda tajam beracun oleh Abdurrahman Bin Mulzam, kursi kekhalifahan beralih kepada Hasan bin Ali, anak khalifah Ali dari istrinya Fatimah az-zahra, putri Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Kekuasaan Hasan bin Ali tidak bertahan lama karena pendukungnya makin lama makin berkurang. Sementara itu, para pendukung Muawiyah Bin Abu Sufyan yang menuntut kursi kekhalifahan bagi dirinya semakin bertambah. Melihat gelagat yang kurang baik ini, akhirnya Hasan bin Ali Bin Abi Thalib terpaksa menyerahkan kedudukannya kepada Muawiyah dengan persyaratan-persyaratan yang telah disepakati bersama yaitu antara lain; kursi kekhalifahan sesudah Muawiyah disahkan kepada pilihan umat, tidak melaknat Ali Bin Abi Thalib dan tidak mengambil tindakan balas dendam terhadap kaum Syiah. Namun Muawiyah tidak menepati janji-janjinya. Kedudukan sebagai khalifah dialihkannya kepada putranya sendiri yaitu Yazid Bin Muawiyah, dan Ali Bin Abi Thalib selalu dikutuknya dan para Syiah pengikut Ali dihabisi dan diburunya.
Akibat perlakuan Muawiyah, kaum Syiah hidup dalam suasana tegang dengan para penguasa. Ketegangan ini memuncak pada tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriah yaitu ketika Husein bin Ali Bin Abi Thalib dan sebagian sahabat maupun kerabat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dibantai di Padang Karbala, Irak. Peristiwa ini melahirkan aksi-aksi pemberontakan yang berkepanjangan di kalangan sebagian pengikut syiah di kemudian hari, seperti pemberontakan Mukhtasar as-Saqafi, pemberontakan Zaid bin Ali Bin Husein, pemberontakan Yahya Bin Zaid dan pemberontakan Nafs az-Zakiyyah.
Imamah
Sejalan dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan keadaan umat Islam lainnya, dalam Syiah pun berkembang berbagai pemikiran keislaman yang pada intinya berpusat pada tokoh-tokoh Ahlul Bait ( keluarga Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam) seperti Ali Bin Husein Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Zaid bin Ali, dan Ja’far as-Sadiq. Pemikiran yang paling menonjol terletak pada persoalan Imamah atau kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Hampir semua sekte Syiah menekankan arti penting kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib. Pesolat Imamah inilah yang membedakan Syiah dari aliran-aliran Islam lainnya seperti muktazilah, Khawarij dan Ahlusunnah Waljamaah.
Dalam hal ini, golongan Syiah mengajukan berbagai alasan atas keyakinan mereka itu baik berupa alasan-alasan ‘aqliyyah (rasional)Â maupun alasan-alasan naqliyyah ( berdasarkan Al-qur’an dan hadis). Alasan-alasan naqliyyah yang mereka ajukan diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, surat al-Maidah ayat 55 yang artinya bahwa : ” sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasull-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah”.
Menurut Syiah, orang yang beriman yang dimaksud pada ayat tersebut adalah Ali bin Abi Thalib. Kedua sabda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dalam Hadits al-Gadir yang artinya ; ” barangsiapa yang menganggap aku ini adalah pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya” (H.R Imam Ahmad).