Keislaman

Seberapa Pentingkah Menguasai Ilmu Nahwu Bagi Seorang Muslim?

3 Mins read

KULIAHALISLAM.COM – Di antara cabang ilmu lughah yang mempunyai peranan sangat penting dalam Bahasa Arab adalah ilmu nahwu. Bagi seseorang yang ingin mahir Bahasa Arab, ia wajib mempelajari hingga menguasai ilmu ini. 

Sebab, ilmu nahwu ini merupakan fondasi utama dalam mempelajari Bahasa Arab, sehingga jika tidak dipelajari dan dikuasai, tentu kemampuan ideal dalam menguasai Bahasa Arab adalah sesuatu yang mustahil didapatkan.

Sebagai seorang muslim, semestinya kita mempelajari ilmu ini. Sebab, tanpa ilmu ini, umat Islam yang sumber ajaran syariah agama utamanya adalah Alqur’an dan Al-Hadis, dimana keduanya termaktub dalam Bahasa Arab, akan kesulitan dalam memahami ‘dua pedoman hidup beragama’ tersebut secara baik dan benar. 

Selain itu, ketidakmampuan dalam menguasai ilmu ini juga berpotensi membuat umat Islam mengalami kemunduran dan tidak lagi menjadi “khoiro ummatin” sebagaimana yang disebutkan dalam Alqur’an (Surah Ali Imran ayat 110). 

Mengapa demikian? Sebab, Alqur’an merupakan Kalamullah yang menjadi ‘samudera’ segala macam ilmu, dan Al-Hadis merupakan pelengkap atau penjelas dari Alqur’an itu sendiri. 

Ketika umat Islam tidak mampu menguasai ilmu nahwu –sebagai ilmu dasar dan penting untuk dapat memahami Bahasa Arab, maka bagaimana mereka dapat ber-istifadah (mengambil faedah ilmu) dari keduanya? 

Dan jika mereka tidak mampu ber-istifadah, maka dapat dipastikan mereka juga tidak mampu ber-ifadah (menyampaikan/ mengajarkan faedah ilmu) yang terkandung di dalam keduanya pula. 

Kondisi demikian ini bila terjadi secara terus-menerus, akan mengakibatkan ke-jumud-an ilmu pengetahuan bagi umat Islam, sehingga mereka menjadi umat yang ‘tertinggal’ dari umat-umat lainnya di muka bumi ini, atau dengan kata lain, umat Islam tak lagi menjadi “khoiro ummatin” (umat terbaik) lagi. 

Oleh karena itu, umat Islam –khususnya generasi mudanya– harus menaruh perhatian khusus dalam mempelajari ilmu ini. Selanjutnya, perlu diketahui pula bahwa mempelajari ilmu nahwu ini sangat banyak manfaatnya. 

Hal ini sebagaimana keterangan yang dijelaskan oleh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam Kitab Syarah Mukhtashar Jiddan ‘ala Al-Matn Al-Jurumiyyah sebagai berikut:

…وغايته وفائدته التحرز عن الخطأ والاستعانة على فهم كلام الله و كلام رسول الله صلى الله عليه وسلم…الخ

Artinya: “Tujuan dan manfaat dari (mempelajari dan menguasai) ilmu nahwu ini adalah menjaga kita dari melakukan kesalahan berbahasa (lahn), baik dari segi pelafalan maupun pemahaman, dan membantu kita dalam memahami Kalamullah Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW (secara baik dan benar).” (Syarah Mukhtashar Jiddan ‘ala Al-Matn Al-Jurumiyyah, hlm. 2).

Tujuan dan manfaat ilmu nahwu sebagaimana tersebut di atas sangat dibutuhkan oleh umat Islam, khususnya bagi kita sebagai umat Islam yang hidup di era saat ini. 

Terlebih dewasa ini, bagi kita yang aktif berselancar di internet akan banyak menjumpai konten-konten yang berisikan informasi & ilmu pengetahuan, tak terkecuali ilmu agama. 

Apabila tidak hati-hati dan tidak memiliki fondasi ilmu agama yang mumpuni –yang salah satunya adalah ilmu nahwu-, maka kita akan kesulitan untuk memilah dan memilih antara informasi keilmuan mana yang valid dan yang tidak. 

Sebagai contoh, ketika mendapati konten tentang ilmu agama dan terdapat teks dalil berbahasa Arab yang menyertai di dalamnya, jika kita paham ilmu nahwu, kita akan mudah untuk meneliti dan mengklarifikasi apakah dalil tersebut benar atau tidak? 

Apakah informasi tersebut sesuai dengan ajaran syariat Islam ataukah justru bertolak belakang? Melihat fenomena tersebut di atas, maka sekali lagi peran ilmu nahwu sangat diperlukan, dan ilmu nahwu -yang begitu penting dalam menjaga ‘keselamatan’ diri ketika mendapati konten-konten tersebut- hanya dapat dikuasai jika kita mau mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.

Seseorang yang paham ilmu nahwu memiliki keistimewaan tersendiri. Selain dapat membaca dan memahami Alqur’an dan Al-Hadis secara baik dan benar, ia juga dapat menjaga dirinya sendiri dan juga orang lain dari kesalahpahaman ketika mendapati konten-konten tentang ilmu agama atau disuguhkan literatur berbahasa Arab tertentu, karena pasti ia akan mencermati dan mengkaji kevalidan informasi yang terkandung di dalamnya terlebih dahulu dengan bekal ilmu nahwu yang ia punyai.

Sikap kehati-hatian seperti ini perlu dilakukan. Sebab, saat ini setiap orang -yang belum atau tidak kita ketahui kredibilitasnya- asalkan memiliki akses, dapat sharing informasi & ilmu pengetahuan dengan bebas, entah itu dengan atau tanpa kepentingan tertentu. 

Apabila yang membagikan ‘konten dakwah’ adalah seseorang yang memiliki kapasitas dan kredibilitas keilmuan yang mumpuni, maka tidak jadi persoalan. Namun, ketika yang membagikan konten tersebut ternyata bukan seseorang dengan kapasitas dan kredibilitas keilmuan yang mumpuni, akan sangat berbahaya bagi kita jika langsung ‘mengonsumsi’ apa yang dibagikan olehnya.

Ilmu nahwu ini istimewa dan siapapun yang mempelajarinya hingga mahir akan menjadi orang yang istimewa pula. Dikatakan demikian, karena dalam perspektif agama Islam, seseorang hanya dapat diakui sebagai alim ulama—yang asli dan dapat kita ikuti serta ambil kemanfaatan ilmunya—ketika ia (minimal) telah menguasai ilmu nahwu. Ilmu yang disejajarkan dengan ilmu sharaf ini diibaratkan sebagai ilmu alat. 

Dengannya, seseorang akan mampu menguasai berbagai ilmu—ilmu agama yang lain, seperti: fiqih, ushul fiqih, tafsir, tarikh, akidah, akhlaq, dsb, karena ibarat kata seorang nelayan akan bisa mendapatkan berbagai macam ikan di laut manakala ia telah memiliki alat pancing dan menguasai cara penggunaannya. 

Apabila ada seseorang yang mengaku bahwa ia seorang alim, tetapi tidak menguasai ilmu nahwu, maka pengakuan orang tersebut hanyalah omong kosong belaka. Hal ini sebagaimana keterangan dalam kitab Risalah Al-Aqlam. 

Dalam kitab tersebut, Ibnu Qadamain (muallif kitab) menyebutkan bahwa syarat orang dapat dianggap sebagai alim adalah minimal telah menguasai ilmu nahwu yang merupakan ‘fondasi’ dalam ilmu Bahasa Arab. 

Sebab, tanpa menguasai ilmu ini, seseorang tidak akan mampu membaca apalagi memahami Alqur’an dan Al-Hadis dengan baik dan benar, yang keduanya itu merupakan sumber pokok ajaran agama Islam yang hanya dapat dipahami oleh seseorang yang benar-benar ‘alim, minimal telah menguasai ilmu ini. 

Dan seseotang yang tidak mampu membaca & memahami Alqur’an dan Al-Hadis dengan baik dan benar, maka tidak tepat dan apalagi layak disebut sebagai seorang alim. Wallahu a’lam bisshawab.

Referensi:

Alqur’an Al-Karim.

Dahlan, Sayyid Ahmad Zaini. Syarah Mukhtashar Jiddan ‘ala Al-Matn Al-Jurumiyyah.

Qadamain, Ibnu. Risalah Al-Aqlam. 

 

1 posts

About author
Alumnus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati, Jawa Tengah & Alumnus Universitas Negeri Semarang.
Articles
Related posts
Keislaman

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Asy’ariyah Dalam Memahami Sifat Kalam

2 Mins read
Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Asy’ariyah dalam memahami sifat kalam. Ulama Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu qadim sebagaimana Dzat-Nya Tuhan…
Keislaman

Makna Takziyah Dalam Perspektif Islam

6 Mins read
Makna takziyah dalam perspektif Islam. Syariat Islam mengajarkan bahwa setiap manusia pasti akan mengalami kematian yang tidak di ketahui waktunya. Sebagai makhluk…
Keislaman

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Hukum dan Ketentuan Sifat Tuhan

3 Mins read
Sudah mafhum bahwa menurut ulama Asy’ariyah sifat-sifat Tuhan qadim. Sebagaimana Dzat-Nya Tuhan qadim, maka sifat-Nya juga qadim; keduanya abadi. Seluruh sifat-sifat Tuhan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights