Keislaman

Rahasia-rahasia Puasa Menurut Imam Al-Ghazali

4 Mins read

Sudah menjadi topik umum yang telah kita ketahui bahwasannya puasa adalah amalan yang sangat besar sekali keutamaannya. Namun, jika kita menelaah secara lebih filosofis dan mendalam, ada banyak kandungan-kandungan puasa yang ternyata selama ini kerap kali kita lewatkan begitu saja. Kebanyakan dari kita hanya mengetahui bahwa puasa adalah menahan lapar dan dahaga saja, tanpa mendalami esensi dari puasa itu sendiri.

Berangkat dari keterangan tersebut, penulis rasa penting untuk mengulik tema tentang puasa ini secara lebih dalam dan reflektif, khususnya pada rahasia-rahasia puasa. Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya Ulum ad-Diin menuliskan tentang satu bab, yang ia beri nama Asrar as-Shiyam (Rahasia-rahasia puasa). Beliau menyampaikan bahwa puasa Ramadan adalah seperempat keimanan. Berlandaskan pada hadis Nabi SAW:

الصيام نصف الصبر

“Puasa adalah setengah dari kesabaran”.

Dan juga hadis Nabi yang lain:

الصبر نصف الإيمان

“Kesabaran adalah setengah dari keimanan.”

Kemudian beliau menjelaskan bahwa puasa adalah satu-satunya ibadah yang verifikasi pastinya itu hanya yang melakukannya saja. Karena itu melekat antara sabar dan puasa. Sabar adalah inti dari puasa itu sendiri. Intervensinya langsung antara hamba dengan Rabb-Nya. Sebagaimana Sabda Nabi SAW dalam sebuah hadist qudsi:

فالصيام لي وأنا أجزي به

“Maka puasa itu untuk-Ku. Dan Akulah yang akan membalasnya.”

Seorang manusia tidak bisa menyangka maupun mengetahui tentang keabsahan puasa seseorang karena intervensi personal ini. Menurut Al-Ghazali, walaupun segala ibadah itu berhubungan dengan Allah SWT, akan tetapi maqam puasa itu interpersonal antara hamba dan Rabb-Nya. Layaknya seperti Allah memuliakan Baitullah, Ka’bah. Padahal segala sesuatu di dunia ini adalah milik Allah juga.

Karakterisik Puasa Sebagai Maqam Ibadah Mulia

Pada pelaksanaan puasa sekiranya ada dua karakteristik yang membedakannya dengan ibadah lain. Syekh Hujjatul Islam menyebutkan dua hal. Pertama, pelaksanaan puasa adalah amalah batin yang tidak terlihat oleh pandangan orang lain, sedangkan amalan lainnya tidak terlepas dari pandangan manusia. Karenanya, orang yang puasa memiliki nilai yang tinggi dengan kesabarannya menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya.

Baca...  Sejarah Tafsir Al-Qur'an: Perkembangan dan Pendekatannya

Maka dari itu, Allah SWT sendirilah yang mecanangkan puasa ini untuk meningkatkan kualitas seorang hamba. Pada kalimat terakhir ayat tentang puasa mengisyaratkan hal tersebut, la’allakum tattaquun, agar seorang hamba menyandang gelar takwa. Puasa, menurut Ghazali, hanya dapat dilakukan oleh orang bertakwa, yang ikhlas, dan yang sabar.

Kedua, puasa menjadi hukuman atau siksaan bagi musuh-musuh Allah SWT. Jika disederhanakan, puasa ini adalah satu-satunya ibadah yang nampak terang-terangan menantang setan. Sebab setan, ucap Ghazali, memilih jalan hawa nafsu, dimana hawa nafsu dapat tumbuh subur dengan bantuan makan dan minum yang tidak terkendali. Oleh karenanya, Rasulullah SAW bersabda:

إن الشيطان ليجري من ابن آدم مجرى الدم ، فضيقوا مجاريه بالجوع

“Sesungguhnya setan itu masuk ke dalam tubuh anak Adam mengikuti aliran darahnya. Oleh karenanya, sempitkanlah jalan itu dengan kelaparan (berpuasa).”

Jika dibandingkan misalnya, dengan salat. Salat itu sifat ibadahnya implisit karena berurusan dengan batin, namun praktiknya zhahir. Salat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, ini merupakan perkara batin yang tidak tampak.

Berbeda dengan seorang yang menahan dahaganya dan nafsunya secara jelas. Jika dalam pengendalian nafsu kita ia berhasil, maka sudah dipastikan ia berhasil pula menaklukkan musuh Allah—yang mana musuh kita juga—, yaitu setan. Dan jika ia berhasil menaklukkan setan, maka sudah dipastikan ia berhasil menolong agama Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolong kalian, dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS Muhammad [47]: 7)

Klasifikasi Orang yang Berpuasa

Imam Al-Ghazali mengklasifikasi orang yang berpuasa pada tiga tingkatan, yaitu: puasa orang yang awam (‘awam), puasa orang yang khusus (khawash), dan puasa orang yang spesial (khawashul-khawash). Inilah yang disebut sebagai rahasia puasa karena banyak sekali kaum muslimin yang tidak sadar pada tingkatan puasanya itu.

Baca...  Niat Puasa Ramadhan dan Tata Cara Menjalankannya dengan Benar

Puasa orang yang awam adalah puasa pada umumnya orang-orang. Menahan lapar dan dahaga, serta nafsu kemaluan dari berhubungan suami istri ketika masuk waktu shubuh hingga maghrib. Puasa ini menitik beratkan pada hal-hal ini.

Al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang melakukan puasa pada tingkat ini tidak akan terbatasi dari kemaksiatan. Inilah yang disebut dengan puasa hanya dapat lapar dan dahaga saja. Pada level ini, orang yang berpuasa sukar untuk naik pada level kedekatan dengan Allah SWT.

Ada pula tingkatan puasa orang khusus. Artinya, ia tidak hanya menahan lapar, dahaga, dan berhubungan seksual saja, melainkan juga segala hal-hal yang mengandung di dalamnya nilai-nilai kebatilan. Ia menjaga penghilatan, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan semua anggota tubuh dari kemudharatan.

Karenanya, orang yang berada pada puasa tingkat ini memiliki kesadaran untuk selalu menahan keinginan-keinginan lahiriah yang berupa anggota-anggota badan dari kenikmatan-kenikmatannya. Tujuannya adalah untuk mencapai keterangan dan ketenangan batin.

Al-Ghazali menerangkan ada enam amalan untuk seorang mencapai puasa pada tingkat khusus:

  1. Menjaga pandangan dari perbuatan yang keji dan mungkar. Rasulullah SAW bersabda: “Pandangan yang liar laksana anak panah beracun dari anak-anak panah milik iblis yang terkutuk.”
  2. Menjaga lidah dari perkataan sia-sia, tercela, dusta, perkataan kotor dan keji, memfitnah, mengumpat, dan menebar kebencian.
  3. Menjaga telinga dari mendengar segala sesuatu yang diharamkan. Seperti berita hoaks, fitnah, adu domba, dan sebagainya.
  4. Menjaga tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan tercela
  5. Mencegah berlebihan dari makan ketika berbuka puasa
  6. Memelihara qalbu agar tetap khusyu’ kepada Allah Swt melalui sikap takut dan berharap, juga dengan sabar dan doa.

Dan ada pula puasa pada tingkatan yang spesial, yaitu puasa yang tertinggi nilai dan tingkatannya. Orang inilah yang telah mampu menjaga qalbu nya dari segala kemaksiatan dan kemudharatan. Akal dan hatinya semua ditujukan untuk menggapai ridha Allah semata. Sedangkan pandangannya terhadap dunia, hanya merupakan tempat untuk beramal shalih, karena hakikatnya ia mengetahui, bahwa kenikmatan sejati ada pada pertemuan dengan Allah SWT kelak. Sebagaimana sabda Nabi SAW:

Baca...  Mengungkap Misteri Ilmiah: Memperlihatkan Pesona Ilmiah dalam Alquran

للصائم فرحتان، فرحة عند فطره وفرحة عند لقاء ربه

“Bagi orang yang berpuasa terdapat dua kebahagiaan: Kebahagian ketika berbuka puasa, dan kebahagian ketika berjumpa langsung dengan Rabb-Nya.”

Puasa pada tingkat ini, sebut Ghazali, adalah puasanya para Rasul dan Nabi, Shiddiqun, dan Muqarrabin. Kita memang tidak bisa menggapai puasa pada tingkat ini, tetapi alangkah indahnya bila kita selalu berusaha untuk menggapai taraf tersebut. Semoga Ramadan tahun ini bisa membawa kita untuk lebih dekat dengan Allah SWT. Aaamiin yarobbaal alaminnn.

2 posts

About author
Mahasiswa
Articles
Related posts
KeislamanNgaji Jawahirul Qur’an

Gus Ulil Ngaji Jawahirul Qur’an: Mengarungi Samudera Ketuhanan

2 Mins read
Salah satu ilmu yang terkandung di dalam al-Qur’an adalah ilmu lubab (ilmu bagian dalam). Di dalamnya, ilmu lubab ini menjelaskan bahwa ilmu…
KeislamanNgaji Ihya’ Ulumuddin

Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Mencela dan Membenci Sifat-sifat Kikir

3 Mins read
Sudah jelas bahwa sifat kikir ini bertingkat-tingkat, dan tingkat yang paling tinggi menunjukkan ketidakmampuan untuk memenuhi kewajibannya, seperti mengeluarkan zakat, memberikan nafkah…
KeislamanNgaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad: Memahami Hubungan Kausalitas

2 Mins read
Jika ada dua hal terjadi secara bersamaan, maka itu tidak berarti yang satu menjadi penyebab yang lain. Misalnya, ada matahari terbit lalu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Hakikat Sakinah Dalam Al-Qur'an

Verified by MonsterInsights