Keislaman

Petualangan Spiritual Al-Ghazali dalam Merumuskan Tujuan Hidup yang Mulia

3 Mins read

Di tengah lautan hukum dan aturan dalam Islam, pernahkah kita bertanya, apa sebenarnya tujuan terdalam dari semua itu? Imam Al-Ghazali, seorang filsuf dan teolog legendaris yang hidup pada abad ke – 11, menghabiskan banyak pemikirannya untuk menjawab pertanyaan mendasar ini. Lebih dari sekadar daftar perintah dan larangan, ia melihat syariat sebagai sebuah sistem yang penuh hikmah, dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan luhur yang menyentuh setiap aspek kemanusiaan. Melalui karya besarnya seperti Al-Mustashfa dan Ihya’ Ulum al-Din, Al-Ghazali merintis jalan untuk memahami ‘Maqashid al-Syariah’, yaitu maksud-maksud Ilahi di balik hukum-hukum tersebut, dengan cara yang sistematis dan menyentuh hati.

Baginya, maqashid adalah pemeliharaan tujuan-tujuan suci syariat. Ia meyakini bahwa inti dari semua hukum yang diturunkan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan nyata bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan ini bukanlah hal yang abstrak, melainkan sesuatu yang dapat dijangkau dan dipelihara. Al-Ghazali lalu dengan jenius menyusun sebuah peta prioritas kemaslahatan ini ke dalam tiga tingkatan yang saling berkaitan, sebuah pengelompokan yang kemudian menjadi fondasi bagi banyak pemikir setelahnya.

Tingkatan pertama adalah kebutuhan pokok atau al-dharuriyyat. Ini adalah fondasi yang tanpanya kehidupan manusia akan kacau balau dan kehilangan makna. Tingkatan kedua adalah kebutuhan sekunder atau al-hajiyyat, yaitu hal-hal yang diperlukan untuk menghilangkan kesulitan dan menjadikan hidup lebih mudah. Sementara tingkatan ketiga adalah kebutuhan pelengkap atau al-tahsiniyyat, yang berfungsi untuk memperindah, menyempurnakan, dan meningkatkan kualitas hidup serta akhlak. Pembagian ini menunjukkan bahwa syariat memperhatikan segala lapisan kebutuhan manusia, dari yang paling mendasar hingga yang menyangkut keindahan dan kesopanan.

Lalu, apa saja yang termasuk dalam fondasi paling primer itu? Al-Ghazali secara tegas merumuskan lima hal yang harus dilindungi: agama (al-din), jiwa (al-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (al-nasl), dan harta (al-mal). Perlindungan terhadap agama menjamin kebebasan spiritual dan keyakinan. Perlindungan jiwa menjunjung tinggi nilai nyawa. Perlindungan akal menjamin kebebasan berpikir dan terhindar dari hal-hal yang merusak pikiran. Perlindungan keturunan menjaga kehormatan dan kelangsungan keluarga. Serta perlindungan harta menjamin hak milik dan keadilan ekonomi. Kelima pilar ini menjadi kompas universal untuk menilai setiap hukum dan kebijakan.

Baca...  Maqasid al-Syari'ah Dari Hukum Talak

Menariknya, bagi Al-Ghazali, memahami maqashid ini tidak boleh lepas dari sumber-sumber wahyu. Ia menekankan bahwa pengetahuan tentang tujuan-tujuan syariat harus bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan konsensus ulama (ijmak). Pendekatan tekstual ini memberinya landasan yang kokoh, menjaga pemahaman maqashid tetap berakar pada otoritas keagamaan dan terhindar dari penafsiran yang terlalu subjektif atau sekuler. Setiap kemaslahatan yang diklaim harus dapat ditelusuri kembali dan didukung oleh dalil-dalil tersebut.

Dari pemahaman ini, Al-Ghazali juga merumuskan kaidah-kaidah praktis. Misalnya, bahwa setiap kemaslahatan harus selaras dengan tujuan syara’. Jika dihadapkan pada dua kemudaratan, maka kita harus memilih yang lebih ringan dampak buruknya. Ia juga membedakan kebutuhan pembuktian: maqashid primer dianggap begitu jelas dan penting sehingga tidak memerlukan dalil khusus, sementara untuk maqashid sekunder dan pelengkap, diperlukan dukungan dalil yang lebih spesifik. Kaidah-kaidah ini menjadi alat yang sangat berharga dalam ijtihad.

Kekhasan Al-Ghazali terletak pada penekanannya yang kuat terhadap dimensi spiritual dan hikmah di balik setiap hukum. Dalam Ihya’ Ulum al-Din, ia dengan puitis menguraikan hikmah di balik ibadah shalat, puasa, zakat, dan haji, menghubungkannya dengan penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah. Baginya, maqashid bukan hanya tentang tata aturan sosial yang baik, tetapi juga tentang transformasi batin individu. Inilah yang membedakan nuansa pemikirannya dengan beberapa tokoh lain.

Ketika kita bandingkan dengan pemikir besar lain seperti Al-Syatibi atau Ibn Taymiyah, kita menemukan persamaan dan perbedaan yang memperkaya. Seperti Al-Ghazali, mereka semua sepakat pada pentagon kehidupan lima maqashid primer dan pentingnya kemaslahatan sebagai inti. Namun, dalam metodologi, Al-Ghazali lebih kuat di pendekatan tekstual (naqli), sementara Al-Syatibi mengembangkan pendekatan induktif (istiqra’i) dengan meneliti banyak hukum untuk menyimpulkan tujuannya. Ibn Taymiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim, lebih memberi porsi besar pada penalaran rasional dan konteks sosial.

Baca...  Ketika Tafsir Menjadi Ruang Bebas: Asy-Syaukani dan Penolakan terhadap Taqlid Mazhab

Ruang lingkup pembahasan Al-Ghazali juga lebih terfokus pada kerangka ilmu ushul fiqh, sementara tokoh seperti Al-Izz bin Abd al-Salam memperluasnya hingga membahas tujuan individu mukallaf dan sarana mencapainya. Namun, kelebihan Al-Ghazali justru pada sistematisasi yang jernih dan pengaruhnya yang luar biasa. Ia berhasil meramu kompleksitas menjadi sebuah struktur hierarki yang mudah dipahami, memberikan dasar kokoh yang kemudian dibangun dan disempurnakan oleh generasi berikutnya, termasuk Al-Razi, Al-Amidi, dan tentu saja, Al-Syatibi.

Meski begitu, seperti semua pemikiran, pendapat Al-Ghazali juga memiliki keterbatasan. Karena lebih mengandalkan pendekatan naqli, eksplorasi terhadap konteks sosial-historis mungkin kurang mendalam dibandingkan pendekatan induktif Al-Syatibi. Pembahasannya juga lebih pada maqashid umum (kulliyah) dan kurang mendetail pada penerapan khusus (juz’iyyah) untuk setiap hukum. Selain itu, ia tidak secara khusus membahas resolusi konflik antar maqashid, sebuah tema yang kemudian banyak dikembangkan oleh ulama pasca dirinya.

Terlepas dari itu, kontribusi Al-Ghazali tak ternilai. Ia telah meletakkan batu pertama pondasi yang kokoh untuk bangunan ilmu maqashid. Ia mengingatkan kita bahwa hukum Islam bukanlah sekumpulan aturan mati, tetapi sistem hidup yang dinamis, penuh hikmah, dan bertujuan mulia untuk memelihara kehidupan yang bermartabat, seimbang, dan bermakna. Pemikirannya menjembatani aspek lahiriah hukum dengan kebutuhan batiniah manusia, antara ketertiban sosial dan penyempurnaan akhlak.

Pada akhirnya, perjalanan pemikiran Al-Ghazali mengajak kita untuk selalu melihat ‘jiwa’ di balik ‘tubuh’ hukum. Di era modern di mana hukum seringkali dipandang kaku dan formal, ajaran Al-Ghazali menawarkan kedalaman dan keluwesan. Ia mengajak kita untuk tidak berhenti pada apa yang dilakukan, tetapi terus menggali mengapa hal itu dilakukan, dan bagaimana hal itu berkontribusi pada perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kita. Dengan cara ini, syariat tetap relevan, manusiawi, dan menjadi cahaya penuntun dalam setiap langkah kehidupan, dari urusan yang paling privat hingga yang paling publik. Warisan Al-Ghazali adalah undangan abadi untuk memahami agama dengan hati sekaligus akal, demi mencapai hakikat kemaslahatan yang sejati.

3 posts

About author
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Keislaman

Transformasi Munasabah Al-Qur'an: Dari Klasik hingga Era Kontemporer

3 Mins read
Ketika kita membaca Al-Qur’an, kita mungkin bertanya-tanya, “Kenapa ayat ini ada di sini?” Alternatifnya, “Apa hubungannya ayat ini dengan ayat sebelumnya?” Sebenarnya,…
Keislaman

Perbedaan Dua Mazhab Besar, Sunni Syiah dalam Memahami Taqiyyah

3 Mins read
Konsep Ajaran Taqiyyah Secara Umum Secara istilah taqiyyah berarti menyembunyikan dan berhati-hati dalam masalah agama di karenakan adanya larangan-larangan dan batasan atas…
Keislaman

Kebebasan yang Terkekang: Kritik atas Fatalisme Jabariyah

2 Mins read
Aliran Jabariyah merupakan salah satu sekte dalam ilmu kalam Islam yang muncul pada abad ke-2 Hijriah. Kata jabara berarti memaksa, sehingga Jabariyah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Perbedaan Dua Mazhab Besar, Sunni Syiah dalam Memahami Taqiyyah

Verified by MonsterInsights