Filsafat

Persepsi Syiah dalam Shiffin dan Karbala: Filsafat George Berkeley Memandang Sejarah Perang Ahlul Bait

4 Mins read

Hari raya Idul Adha, artinya kian dekat dengan bulan Muharram, yang merupakan bulan tahun baru Islam. Pada hari Asyura yang jatuh pada sepuluh muharram, Syiah memperingati Asyura dengan memperingati syahidnya Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran Karbala.

Pada sepuluh hari pertama bulan Muharram, mereka mengadakan hari duka (ma’tam) dan teatrikal Karbala (tazieh). Peringatan Asyura sebagai kesedihan Karbala diakhiri dengan Arbain setelah masa berkabung selama empat puluh hari terhitung Asyura. Arbain memukul gong berakhirnya masa berkabung untuk Sayyidina Husein, dan pemeluk syiah akan berkumpul untuk ziarah wada’ ke makam Sayyidina Husein yang berlokasi juga di Kota Karbala, Irak.

Karena Ali bin Abi Thalib menjadi tokoh pusat bagi pemeluk ideologi syiah, mereka mempersepsikan sayyidina Ali merupakan khalifah yang paling pantas untuk meneruskan kepemimpinan Rasulullah ﷺ mengingat garis nasabnya sebagai anak angkat, sepupu sekaligus menantu dari nabi.

Ali bin Abi Thalib begitu dimuliakan dan diunggulkan karena kelangsungan nasab yang beliau miliki langsung bersambung satu kakek dengan nabi. Selain karena berasal dari moyang yang sama, keturunan Sayyidina Ali juga mewarisi nasab dari baginda nabi, karena pernikahan beliau dengan Fatimah putri Rasulullah ﷺ, yakni Sayyidina Hasan dan Husein.

Sepeninggal Ali pasca kejadian Shiffin dalam serangan Khawarij, Husein menyusul syahid dalam pengepungan Karbala. Mewarisi sifat ayahnya yang tidak sempurna namun keras kepala dalam menyikapi pemerintahan yang tirani. Selain sayyidina Husein, sang adik dari ibu yang berbeda, Abdullah bin Ali juga syahid dalam tragedi Karbala yang diperintahkan Ubaidillah tersebut.

Kedua kejadian ini merupakan kunci persepsi Syiah yang menjadi landasan bagi ideologi mereka. Baik kepada Husein ataupun terhadap Ali. Syiah terus menggaungkan perang ini melalui persepsi atas ideologinya. Tulisan ini berupaya mengaitkan persepsi syiah dalam kedua peperangan kunci ini dengan filsafat persepsi milik George Berkeley.

Yakni bagaimana syiah menyajikan premis peperangan Sayyidina Ali dan pengepungan Husein bin Ali di Karbala oleh pasukan Bani Umayyah setelah aksi penutupan akses ke sungai Eufrat yang posisinya dekat dengan perkemahan Husein bin Ali bin Abi Thalib oleh pasukan musuh dipimpin Umar bin Saad atas perintah Ubaudillah bin Ziyad dapat menjadi persepsi untuk membangun suatu ideologi Islam.

Baca...  Netralitas Ilmu dalam Filsafat Ilmu

Perang Shiffin: Syiah, Khawarij, Ali dan Muawiyah

Peperangan yang berkecamuk pada tahun 37 hijriah atau 657 Masehi bukan peperangan biasa; melainkan perang yang membawa serta ideologi dalam genggaman para syuhada. Perang diinisiasi karena Ali bin Abi Thalib dinilai lalai dalam memperjuangkan hak Utsman bin Affan yang dibunuh dan dituduh korupsi dan nepotisme selama menjabat khalifah sebagai pemimpin tertinggi persemakmuran.

Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syam yang merupakan kerabat dari Utsman bin Affan kemudian menggunakan tuntutan balas dendam atas Utsman sebagai alasan konkret untuk menolak pembaiatan Ali. Hal ini telah memicu peperangan sebelumnya.

Ali terlebih dahulu diperangi oleh kerabat dan sahabat Nabi, yakni Aisyah Radiyallahuanha yang merupakan istri Nabi, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang merupakan sahabat Nabi, Abdullah bin Zubair yang merupakan putra Zubair dan Marwan bin Al Hakkam yang merupakan kerabat Utsman bin Affan yang kelak menjadi khalifah.

Pada pertempuran Shiffin itu, terjadi peristiwa hasil atribase (tahkim) yang ditentang kelompok dalam barisan Ali lalu mereka memisahkan diri dan menjadi sama sekali tidak mau berpihak terhadap Ali, mereka kemudian dikenal dengan nama kelompok ideologi Khawarij yang adalah bentuk jamak dari kata Kharaja yang berarti keluar (dari Ali).

Syiah kemudian mempersepsikan bahwa Shiffin menjadi titik balik di mana Ali bin Abi Thalib sedemikian dikhianati, baik oleh pihak kerabat Utsman maupun dari pihak keluarga dan kerabat Nabi. Muhammad bin Abu Bakar, yang merupakan saudara seayah Aisyah Radiyallahuanha, di barisan Ali bin Abi Thalib dalam peperangan Jamal yang dilakukan Aisyah diatas unta.

Perang inilah yang menjadi kunci utama syiah dalam posisi politik Ali yang menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai pusat keimaman syiah. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi antarsaudara. Persepsi Aisyah Radhiyallahuanha dengan saudara seayahnya, Muhammad bin Abu Bakar.

Baca...  Gagasan Integrasi-Interkoneksi M. Amin Abdullah

Di mana Muhammad mempersepsikan Ali benar sebagai pemimpin yang tidak boleh diperangi, dan Aisyah Radiyallahuanha yang berpersepsi bahwa Ali telah melalaikan kewajibannya sebagai pemimpin, yakni menjamin hak integritas khalifah Utsman bin Affan.

Adagium Berkeley yang terkenal, “esse est percipi” (ada adalah dipersepsi), menjadi kunci untuk memahami bagaimana peristiwa historis ini tidak hanya dicatat, melainkan juga “diciptakan” sebagai realitas yang fundamental dalam keimanan kelompok ideologi Syiah.

Menurut Berkeley dalam A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710), keberadaan suatu objek atau peristiwa tidak lepas dari persepsi oleh pikiran. Tidak ada materi independen yang ada di luar kesadaran yang mempersepsikannya.

Mengacu pada Perang Shiffin, bagi Syiah, “kebenaran” Ali bin Abi Thalib dan “kezaliman” yang menimpanya bukanlah sekadar klaim faktual yang terpisah dari subjek pengamat, melainkan sebuah realitas yang secara substansial “ada” karena ia dipersepsikan secara mendalam oleh mereka.

Persepsi kolektif bahwa Ali adalah pemimpin yang sah, yang paling berhak dan merupakan manifestasi kebenaran ilahi, membentuk sebuah realitas mental yang tak tergoyahkan. Konsekuensi dari Perang Shiffin, seperti pengkhianatan dalam arbitrase dan pembangkangan Khawarij, “menjadi” sebuah pengkhianatan yang nyata karena ia dihayati dan dialami sebagai pengkhianatan dalam kesadaran kolektif Syiah.

Realitas peristiwa ini bagi mereka bukan sekadar kronologi, melainkan sebuah pengalaman yang hidup, sebuah kebenaran yang terinternalisasi. Sedangkan dalam tradisi Sunni, duka terhadap Ali abadi tanpa harus menilai buruk terhadap Khalifah sebelum Ali yang juga sahabat Nabi.

Jika syiah hanya mempersepsi bahwa kematian Ali di tangan Khawarij itu merupakan ketidakadilan yang batil, maka pada kelompok Sunni menganggap kematian Ali setara dengan kematian Utsman oleh pemberontak yang mendemonstrasi kepemimpinannya, atau dengan pembunuhan Umar yang ditikam oleh orang Yahudi yang telah diizinkan menetap di Madinah tanpa harus memeluk Islam. Intinya, akhir hidup para Khalifah dinilai sama menyedihkannya. Ini menunjukkan bahwa perbedaan persepsi akan melahirkan ideologi yang bisa berbeda pula.

Baca...  Peran Filsafat Modern di Masa Kini

Seyyed Hossein Nasr dalam “Shi’ism: Doctrines, Thought, and Spirituality” (1988) menekankan dimensi esoterik dan spiritual dalam pemahaman Syiah. Ia berpendapat bahwa kepemimpinan Ali dan para Imam adalah tentang “walayah” (kewalian atau otoritas spiritual) yang diturunkan secara ilahi, bukan sekadar kekuasaan politik.

Oleh karena itu, konflik seperti Shiffin dilihat bukan hanya sebagai perebutan kekuasaan, tetapi sebagai penyimpangan dari tatanan spiritual yang benar. Ketaatan kepada Ali dan para Imam adalah ketaatan kepada kebenaran ilahi itu sendiri bagi mereka.

Kesyahidan Husein dalam Perang Karbala

Bila ditinjau dari pemikran filsafat Berkeley bahwa sesuatu tercipta dari persepsi, maka syiah mempersepsikan kedukaan mendalam atas wafat Husein bin Ali bin Abi Thalib (Imam Husein dalam tradisi syiah) dengan serangkaian upacara peringatan seperti ma’tam dan tazieh untuk mengenang beliau.

Dalam tradisi ideologi Islam seperti sunni, hal ini tidak diabadikan secara khusus, tetapi diperingati dengan puasa Asyura yang dimana juga sekaligus memperingati hari diselamatkannya Nabi Musa dan pengikutnya oleh Allah dari serangan pembunuhan dari Firaun di Laut Merah.

Tepat pada hari Asyura kemudian Nabi Musa menganjurkan Bani Israil pengikutrnya untuk berpuasa sebagai bentuk syukur atas keselamatan yang Allah berikan yang kemudian terjaga hingga saat ini di tradisi ideologi sunni, karena mengikuti Nabi Musa.

Persepsi yang demikian dibentuk syiah sebab rasa sedih berkepanjangan atas kepergian Sayyidina Husein, yang bisa jadi kesedihan yang tak berkesudahan ini tidak dimaui Allah. Sehingga, puasa di hari Asyura bagi Sunni bukan berarti melalaikan Husein, tetapi juga menjaga tradisi yang pernah dilakukan oleh Nabi Isa Alaihissalam.

Ternyata, tradisi-tradisi keagamaan pun ada karena persepsi kita. Maka, persepsikanlah segala sesuatunya bukan hanya dengan baik, melainkan juga dengan bijak. Maka demikianlah tragedi besar Syiah bila ditinjau dari filsafat persepsi.

7 posts

About author
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Ampel
Articles
Related posts
FilsafatPendidikan

Masa Depan Pendidikan Islam Indonesia dari Problematika Pendidikan Islam

5 Mins read
Pendidikan Agama Islam selain sebagai sebuah disiplin ilmu dalam bidang pendidikan juga merupakan peran bagi tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri. Karena penekanan…
Filsafat

Netralitas Ilmu dalam Filsafat Ilmu

21 Mins read
Nur Fadilah1, Aisyah Afifah Rahma2 Abstrak Dalam tulisan ini akan membahas secara sederhana mengenai bagaimana cara menguji netralitas ilmu pengetahuan dalam filsafat…
Filsafat

Marlina Pembunuh dalam Empat Babak: Melacak Good Will Immanuel Kant Pada Tindakan Tokoh Marlina

4 Mins read
Mahakarya insan perfilman Indonesia mulai bertendensi ke arah yang baik. Marlina, adalah salah satu film yang sewindu yang lalu menghiasi layar kaca…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Tokoh

Mengenal Kisah Sulaiman bin Yasar : Tabi’in Tampan Rupawan Serupa Nabi Yusuf AS

Verified by MonsterInsights