Kuliahalislam.Roh (ar-ruh =Angin, napas). Hakikat dari manusia yang dengannya manusia dapat hidup dan mengetahui segala sesuatu. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah meniupkan Roh kedalam tubuh Nabi Adam alaihissalam untuk menghidupkannya (Q.S 32:9) dan demikian juga ke dalam rahim Sayyidah Maryam binti Imran ketika mengandung Nabi Isa Alaihissalam (Q.S 66:12).
Roh adalah zat murni yang tinggi, hidup dan hakikatnya berbeda dengan tubuh. Tubuh dapat diketahui dengan panca indra, sedangkan roh menyelusup ke dalam tubuh sebagaimana menyelusupnya air ke dalam bunga, tidak larut dan tidak terpecah-pecah untuk memberi kehidupan pada tubuh selama tubuh itu mampu menerimanya.
Mac-Donald ( orientalis) menyamakan Roh dengan jiwa meskipun dalam Al-Qur’an juga diartikan dengan Malaikat dan wahyu. Adapun Muhammad Husein Thabathaba’i (Ulama Tafsir) mengartikan jiwa tersebut dengan “Aku”. Ketika seseorang membicarakannya, dia mengatakan “aku” yang menunjukkan bahwa “aku” itu bukan tubuh dan bukan pula komponen-komponennya.
Jiwa bukan materi karena tidak mengalami perubahan dan tidak terbagi-bagi. Dalam Al-Qur’an, kata “an-Nafs” diartikan dengan jiwa, seperti kata-kata “an-Nafs al-Mutma’imah ( jiwa yang tentram; Q.S 89:27). Itu berarti kata Roh mempunyai pengertian yang sama dengan An-Nafs, perbedaannya terletak pada penggunaannya misalnya dalam ayat “Yasalunaka ‘an ar-ruh qul ar-ruh min amri Rabbi (Mereka akan menanyaimu tentang Roh, maka katakanlah bahwa Roh itu urusan Tuhanmu) dan Ya Ayyatuha an-nafsu al-mutma’innah irji’i ila Rabbika radiatan mardiyah ( wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu).
Imam Abu Hamid Al Ghazali (450 H-505 H/1058 M-1111 M), sebagaimana Ibnu Sina (370 H-428 H/980-1037 M), membagi jiwa atas tiga macam yaitu jiwa nabati (an-nafs an-nabatiyah), jiwa hewani (an-nafs al-hayawaniyah) dan jiwa Insani (an-nafs al-Insaniyah). Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alam yang hidup dari segi makanan, tumbuh dan berkembang.
Jiwa hewani adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan yang ada Iradat (Kehendak). Jiwa Insani adalah kesempurnaan awal bagi benda yang hidup dari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.
Jiwa Insani inilah yang dinamakan Roh, sebagaimana para filosof Islam menyamakannya dengan an-Nafs an-Natiqah ( jiwa manusia). Sebelum masuk atau berhubungan dengan tubuh disebut Roh, sedangkan setelah masuk ke dalam tubuh dinamakan Nafs yang mempunyai daya (al-‘aql) yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan dan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak.
Imam Al-Ghazali mengartikan an-Nafs berdasarkan arti khusus dan arti umum. Dalam arti khusus, an-Nafs merupakan sumber akhlak yang tercela dan harus diperangi. Dalam arti umum, an-Nafs adalah suatu Jauhar yang merupakan hakikat manusia yang oleh para ahli filsafat Islam disebut dengan an-Nafs an-Natiqah. Selanjutnya Imam Al Ghazali menambahkan bahwa kalbu, roh dan an-nafs Al-Mutama’innah merupakan nama-nama lain dari an-nafs an-natiqah yang hidup, aktif dan mengetahui.
Dalam filsafat Islam dan tasawuf Islam, di samping istilah an-nafs dan Roh, juga ditemukan istilah al-Qalb (kalbu), dan al-‘aql (akal). 4 istilah tersebut mempunyai hubungan yang erat sekali. Perbedaannya terletak pada penggunaan arti. Para sufi mengartikan an-Nafs sebagai sumber moral yang tercela sedangkan Roh adalah sumber kehidupan dan sumber moral yang baik.
Roh juga sesuatu yang halus bersih dan bebas dari pengaruh hawa nafsu yang merupakan rahasia Allah yang hanya bisa diketahui oleh manusia tertentu setelah Allah memberikan Kasyf ( gambar yang terbayang) kepadanya. Al-Qalb atau kalbu diartikan sebagai wadah untuk memakai, suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang bersifat Ilahiah.
Ini dimungkinkan jika hati telah bersih sepertinya dari hawa nafsu melalui pola hidup yang zuhud, warak, dan dzikir secara terus-menerus. Dengan demikian ilmu dunia atau ilmu Ilahi akan memancarkan cahayanya ke dalam hati, sehingga kalbu menjadi wadah untuk makrifat tersebut.
Adapun al-‘Aql atau akal diartikan sebagai alat untuk mengetahui ilmu yang diamati dari panca indra atau dari hal-hal yang zahir (lahir). Karena itu, tingkatannya berada di bawah tingkatan al-Qalb. Ahli Sufi juga membedakan arti an-Nafs dengan Roh dari segi fungsinya. An-Nafs berkarakter Insani sedangkan Roh lebih berkarakter Ilahi. Keduanya saling berpacu untuk menguasai hati karena kemenangan bisa diperoleh silih berganti pula tergantung kekuatan fungsi masing-masing.
Al-Qalb juga mempunyai dua arti. Pertama, berarti jantung yang terletak pada bagian dalam dada kiri manusia dan juga binatang. Ini yang disebut dengan Roh hewani. Kedua, berarti Roh Insani yang menjalankan segala amanah Allah yang diberikan kepadanya. Roh Insani- Insani inilah yang mula-mula mengakui keesaan Tuhan ketika Allah bertanya : “Bukankah Aku ini Tuhanmu ? Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”, (Q.S 7:172). Yang membenarkan inilah yang menurut Muhammad Husein Thabathaba’i dengan ” aku” tersebut.
Roh juga dibagi oleh Imam Al Ghazali dalam dua macam. Pertama, berarti Roh hewani yakni Jauhar yang halus yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti menghubungkan cahaya yang melimpah ke seluruh ruangan.
Kedua, berarti Nafs Natiqah yaitu sesuatu yang memungkinkan manusia mengetahui segala hakikat yang ada. Dalam hal ini Imam Al Ghazali sebagaimana juga Mahmud Syaltut, menyamakan Roh dengan al-Qalb. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya : “Katakanlah, bahwa Roh itu urusan Tuhanku”, (Q.S 17:85).
Al-‘Aql (akal) juga diberi dua pengertian oleh Imam Al-Ghazali. Pertama, berarti ilmu tentang hakikat sesuatu. Dengan demikian akal merupakan sifat ilmu yang terletak di dalam hati. Karena itu akal kadang-kadang disebut ilmu. Hal ini wajar karena ilmu itu hasil dari akal. Kedua, berarti yang mengetahui ilmu-ilmu segala yang ada. Di sini akal berarti sama dengan kalbu tetapi tidak sama pada kalbu yang berarti Roh, mengingat ilmu merupakan sesuatu yang sifatnya kebetulan.
Al-Qusyairi tambahkan lagi bawa alat untuk memperoleh makrifat itu disebut dengan Sirr (rahasia). Al-Qalb berfungsi mengetahui sifat-sifat Tuhan sedangkan Roh berfungsi untuk mencintai Tuhan; Sirr lebih halus daripada Roh dan Roh lebih halus daripada al-Qalb. Al-‘Aql tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya.
Adapun al-Qalb bisa mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, al-Qalb bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Kelihatannya Sirr bertempat pada Roh dan Roh bertempat pada al-Qalb. Sirr dapat menerima cahaya dari Tuhan bila al-Qalb dan Roh bersih sebersih-bersihnya. Waktu itulah Tuhan menurunkan makrifat-Nya kepada kaum Sufi dan yang dilihat oleh mereka seolah-olah hanya Tuhan.

