Mahakarya insan perfilman Indonesia mulai bertendensi ke arah yang baik. Marlina, adalah salah satu film yang sewindu yang lalu menghiasi layar kaca walaupun belum pernah dijumpai menghuni layar televisi karena kebanyakan acara opera sabun murahan yang tidak edukatif.
Marlina sempat ditayangkan pada Cannes Film Festival dengan tajuk mancanegaranya, Marlina: The Murderer of Four Acts. Pertama kali menonton penuh film Marlina, saya terefleksi kepada Agatha Christie. Kisahnya mengerikan namun juga sangat pantas untuk diapreasiasi.
Film Marlina adalah cerminan atas berbagai isu fundamental: hak asasi perempuan, martabat keluarga, otonomi tubuh, pelacuran moral, ketiadaan keadilan di daerah terpencil, dan bagaimana individu bereaksi ketika dihadapkan pada ancaman eksistensial.
Ia secara tajam mempertanyakan: apakah ada batas moralitas ketika seseorang dipaksa untuk bertahan hidup? Sejauh mana keadilan dapat ditegakkan di luar jalur hukum yang resmi? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat Marlina menjadi sebuah mahakarya yang tidak hanya memikat secara sinematik, tetapi juga menggugah pemikiran filosofis, terutama jika kita meminjam lensa Immanuel Kant untuk menelaahnya.
Film ini bukan untuk mereka yang mencari hiburan ringan, melainkan bagi mereka yang siap untuk direfleksikan dan diajak memikirkan tentang sisi gelap kemanusiaan serta cahaya perlawanan yang dapat muncul dari dalam diri seorang individu.
Setelah meneguk latar belakang film yang mencekam ini, kini saatnya kita membentangkan lensa Immanuel Kant untuk menelisik lapisan-lapisan moral yang tersembunyi di balik setiap adegan Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak. Pemikiran Kant, yang berakar pada rasionalitas dan kewajiban moral, akan menjadi pisau analisis yang tajam untuk memahami dilema etis yang dihadapi Marlina.
Kant tidak melihat moralitas sebagai soal perasaan atau konsekuensi, melainkan sebagai ketaatan pada hukum moral universal yang berasal dari akal budi kita. Dalam hal ini, akal budi yang dipersepsikan Marlina.
Marlina membunuh untuk membela diri. Apakah tindakan ini murni didorong oleh kewajiban untuk mempertahankan hidup dan martabatnya sebagai manusia yang memiliki nilai intrinsik (dignitas), ataukah ada dorongan lain seperti kemarahan atas perlakuan keji yang ia terima? Jika ada unsur emosi atau keinginan untuk membalas dendam, menurut Kant, nilai moral tindakan tersebut bisa berkurang.
Namun, ini memunculkan pertanyaan menarik: dalam situasi ekstrem di mana hidup dan martabat dipertaruhkan, apakah kewajiban untuk bertahan hidup mengalahkan semua pertimbangan lain? Inilah yang akan dikaji dalam upaya destruksi pemikiran deontologis Kant.
Prinsip moral universal Kant akan ditinjau ulang jika ada studi kasus yang seperti Marlina. Mengalami apa yang Marlina alami dalam hidupnya. Riset ini menjadi relevan karena nyatanya masih banyak kekerasan yang menimpa masyarakat Indonesia, perempuan Indonesia di pelosok desa hingga ke penjuru kota. Marlina adalah gugatan, Marlina merupakan perlawanan terhadap pandangan Kant mengenai moral universal.
Melacak Kehendak Baik dalam Jamuan Makan
Marlina, di awal film ditemui oleh pentolan perusuh yang bernama Markus. Perampok kerbau yang datang ke rumah Marlina yang adalah seorang janda peternak. Ia mengatakan akan datang temannya, maka Marlina memasakkan sup ayam untuk sebagai jamuan makan mereka.
Ada satu orang anak buah Markus yang menilik dapur Marlina, Frans. Menanyakan ia masak apa? Lalu ia menjawab memasak sup ayam yang diperintahkan Markus. Disini, tampak Marlina bukanlah orang yang jahat. Maksimnya adalah berfokus kepada siapa yang buruk dan berniat buruk.
Salah satu anak buah Markus ini tidak memiliki indikasi yang buruk atau berniat buruk terhadap Marlina saat itu. Secara etika Kant, apa yang dilakukan Marlina adalah benar. Sebab berfokus kepada siapa yang menyimpang saja, tidak menjahati semua yang “terlibat” dalam aksi perampokan ternak miliknya itu. Walaupun mungkin dalam niat Marlina ada konsekuensi itu, namun sebagai opsi. Tidak saat itu.
Melucuti Motif Pembunuhan
Jamuan makan malam Marlina berjalan sesuai rencana. Sup ayam buatannya berhasil menewaskan perampok ternak yang biadab. Menjadikannya pembunuh berdarah dingin. Lalu, Markus kembali ke rumah itu guna meniduri Marlina.
Tentu sebagai manusia bermartabat, Marlina menolak. Ia hanya seorang janda, bukan berarti pelacur. Markus yang memang merencanakan ini, kemudian menampar dan memaksa Marlina untuk berbuat demikian.
Ditengah penetrasi yang membuai Markus saat Marlina menindihnya, ia lekas memenggal kepala perampok itu dengan brutal menggunakan golok yang terselip pada punggungnya. Kepala Markus yang menggelinding dari kasur, menandai berakhirnya one night stand diantara mereka dengan paripurna.
Maksim di balik tindakan Marlina bisa jadi “Ketika nyawa dan martabatku diancam secara fisik, aku berhak menggunakan kekuatan mematikan untuk membela diri.” Jika maksim ini diuniversalkan, apakah akan menciptakan masyarakat yang lebih rasional dan bermoral?
Kant berargumen bahwa hak untuk mempertahankan diri dari kekerasan yang mengancam jiwa adalah universal dan esensial untuk menjaga tatanan sosial yang menghormati kehidupan. Namun, Kant juga menekankan pentingnya hukum dan sistem peradilan.
Tindakan Marlina yang “main hakim sendiri” adalah respons terhadap kegagalan sistem. Ketika kegagalan itu bersifat sistemik, maka pribadi seperti Marlina secara moral tidak terbantahkan untuk tidak bisa disalahkan.
Mungkin tindakan Marlina tidak bisa dijadikan moral universal, tetapi itikadnya mengangkat martabat, menjunjung moral dan mempertahankan otonomi tubuhnya sebagai perempuan tidak mengingkari prinsip pemikiran Kant karena memihak harkatnya.
Pembunuhan Oleh Teman Marlina
Tindakan kenalan Marlina yang akhirnya memenggal kepala Frans di akhir babak adalah hal yang mengejutkan. Ia kembali membela otonomi tubuh Marlina sebagai manusia, martabat Marlina sebagai janda, dan moralitas Marlina sebagai perempuan.
Bahwa Marlina adalah orang baik, yang berpihak pada hal-hal baik, meski kondisi yang menimpanya terus-menerus tak kunjung membaik. Itikad kebaikan Marlina inilah yang harus ditegakkan dan menjadi moral universal, meski dalam mengupayakan itu, Marlina bergumul dengan dendam dan kebencian.
Ini sesuai dengan moral yang diajarkan Kant. Marlina memiliki good will (kehendak baik) yang berasal dari itikadnya, terlepas konsekuensinya. Bahwa membunuh barangkali lebih baik, daripada bertahan bersama orang jahat dalam sistem hukum negara yang keji tidak berpihak.
Perlu ditekankan bahwa hal ini adalah anomali bagi moral universal. Bagaimana perempuan pelosok desa terpencil berjuang menghadapi kebiadaban yang butuh waktu untuk dilaporkan sebagai pemerkosaan dengan tindak kekerasan seksual karena perlu menyertakan hasil visum.
Maka, guna efisiensi waktu dan jaminan hukum, Marlina memenggal Markus dan Novi temannya, membunuh Frans. Mereka tidak dijamin dilindungi oleh hukum negara, kebobrokan sistem dengan minimnya akses ke kantor polisi dan birokrasi bobrok yang mengharuskan visum sebagai indikator tindak asusila itu, merupakan anomali yang harus juga diperhitungkan dalam prinsip good will Kant, apabila melihat kondisi yang mendesak untuk terus melegitimasi good will dengan bijak, meskipun tidak bajik.
Akhir kata, pemikiran Kant tidak bisa ditularkan secara kaku, bahwa moral universal haruslah yang baik. Tetapi, memahami bahwa moral universal adalah bersifat kontekstual. Hal yang harus dimiliki manusia dalam hidup adalah good will (kehendak yang baik) yang menjadi moral universal.
Dengan orientasi good will, maka serangkaian pembunuhan Marlina dalam empat babak juga berpotensi menjadi moral universal jika memang hal itu perlu dilakukan untuk mencapai good will manusia.