Kuliahalislam.Sebagai salah satu disiplin ilmu, Ushul Fiqih pertama kali disusun oleh Imam Syafi’i abad ke-2 Hijriyah. Namun demikian, sebagai suatu teori yang belum di sistematiskan, metode-metode yang digunakan dalam menetapkan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah sudah terlihat bibitnya sejak zaman Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Oleh sebab itu para ulama Ushul Fiqih menyatakan bahwa ilmu Ushul itu muncul bersamaan dengan fiqih dan diawalinya sejak zaman risalah.
Bibit ini semakin memperlihatkan bentuknya di zaman sahabat Nabi, pada saat ijtihad sudah mulai meluas di kalangan mereka seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud, Ali Bin Abi Thalib dan Umar Bin Khattab. Para sahabat Nabi senantiasa menetapkan hukum yang tidak ada nasinya di dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan kriteria dan batasan-batasan tertentu.
Umpamanya dalam kasus hukuman bagi orang yang meminum Khamr, Ali Bin Abi Thalib mengatakan : ” Jika ia minum ia akan mengigau dan jika ia telah mengigau, dia akan menduduh orang berbuat zina dan menuduh orang berbuat zina adalah didera 80 kali”. Dalam kasus ini terlihat Ali Bin Abi Thalib berusaha mencari inti permasalahan serta dampak dari perbuatan tersebut atau paling tidak dia berusaha menutupi segala kemungkinan negatif yang dapat terjadi. Kemudian hal ini dikenal dengan istilah “Sadd az-Zari’ah”.
Cara-cara yang ditempuh para sahabat dalam menentukan hukum suatu peristiwa tidak ada dalam Al-Qur’an atau sunnah ini, di zaman tabiin semakin berkembang dan meluas.
Hal ini sesuai dengan permasalahan yang semakin banyak terjadi. Perkembangan itu dapat dilihat dari fatwa-fatwa yang dikemukakan oleh Sa’id bin Musayyab di Madinah, Alqamah bin Waqqas al-Lais dan Ibrahim an-Nakh’i di Irak dan Hasan al-Basri di Basra. Mereka adalah ahli hadits dan ahli fikih pada periode tabiin.
Diantara mereka ada yang melihat permasalahan tersebut dari sudut maslahatnya ( sesuatu yang mendatangkan kebaikan). Hal ini dilakukan jika nasnya tidak ada. Adapun yang lain melihatnya dari segi sisi Qias. Oleh sebab itu, berbagai hukum muncul.
Misalnya, kalangan fuqaha Irak melakukan usaha untuk mencari ilah-ilah ( sebab) hukum yang akan digunakan melalui qiyas, kemudian ilah ini dikembangkan dan dibandingkan dengan ilah yang ada pada peristiwa yang perlu dicarikan hukumnya. Dengan demikian muncullah perbedaan-perbedaan cara yang digunakan dalam menginstinbatkan hukum yang nantinya dikenal dengan sebutan Madrasah Irak, Madrasah Madinah dan Madrasah Kufah. Penamaan ini menunjukkan perbedaan cara dan metode Istinbat yang digunakan dalam menggali hukum.
Setelah itu muncullah para imam mujtahid khususnya imam yang 4 yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Pada periode ini metode-metode Ushul fiqih mencapai kesempurnaan yakni masing-masing Imam tersebut menciptakan metode istinbatnya sendiri, yang membedakannya dengan metode-metode imam yang lain.
Para Imam mazhab menyusun metode istinbat dengan urutannya adalah Al-qur’an, sunnah, fatwa para sahabat yang menjadi kesepakatan mereka, memilih fatwa sahabat yang dianggap cocok, pendapat para tabiin, kias dan istihsan dengan cara yang jelas.
Sementara Imam Malik mengemukakan pendapatnya dengan banyak berpegang pada amalan ahli Madinah. Dia juga mengkritik beberapa hadis yang menurutnya bertentangan dengan Al-qur’an.
Pada masa selanjutnya muncullah Imam Syafi’i yang secara khusus menyusun metode-metode tersebut dan membukukannya dengan nama bukunya adalah ar-Risalah, sehingga dia dikenal sebagai orang yang pertama kali membukukan Usul Fiqih. Imam Syafi’i menyusun kitabnya itu berdasarkan Khazanah fiqih yang ditemuinya dari peninggalan para sahabat, tabiin, dan imam-imam mujtahid sebelum dia.
Dia berusaha mempelajari dengan seksama perdebatan yang terjadi antara fuqaha Irak dan fuqaha Madinah. Lalu dia memberi jalan tengah dari kedua pandangan tersebut dan membuat teori-teori yang bersangkutan dengan hal tersebut yang kemudian dikenal dengan nama Ushul Fiqih.
Dalam kitabnya tersebut, Imam Syafi’i menjelaskan pertimbangan yang dilakukan untuk mengetahui mana pendapat yang shahih dan yang tidak shahih. Diharapkan hal tersebut menjadi undang-undang umum yang berlaku dan menjadi pertimbangan dalam mengistibatkan hukum pada setiap generasi. Dalam debat pendapat-pendapat para ulama sebelumnya, Imam Syafi’i telah berusaha melakukannya melalui teori yang dibahas dalam kitabnya Ar-Risalah.
Selanjutnya yang ditulis oleh Imam Syafi’i itu menjadi bahasa yang luas di kalangan ulama. Namun mereka mempunyai pandangan yang berbeda dalam membahas Ushul tersebut. Adapun yang mereka lakukan adalah : pertama ada yang berusaha mensyarah ( menjelaskan) cara panjang lebar terhadap apa yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i tanpa menambah atau mengurangi apa yang telah dijelaskan dalam kitab tersebut. Kedua, ada yang melakukan penambahan dari apa yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i dan bahkan memberikan pendapat yang berlawanan.
Misalnya, kalangan mazhab Hanafi mengakui metode-metode yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i tetapi mereka menambahkan dengan metode Istihsan dan Urf (adat istiadat). Kemudian mazhab Maliki juga menerima teori Imam Syafi’i tetapi mereka menambahkan lagi dengan ijma’ ahli Madinah yang oleh Imam Syafi’i ditentang, istihsan, Maslahah Al Mursalah yang oleh Imam Syafi’i berusaha dibatalkan dan metode Sadd az-Zari’ah.
Pada prinsipnya ahli pokok H ke-4 mazhab tersebut tidak menentang dalil-dalil ditetapkan oleh Imam Syafi’i yakni Al-qur’an dan qiyas, karena hal ini merupakan suatu yang telah disepakati. Namun di sisi lain, ahli fiqih di luar Mazhab Syafi’i menambahkan dalil lain dalam Ushul mereka sebagaimana yang telah digambarkan di atas.
Metode Ushul Fikih
Dalam perjalanan dan perkembangan Ushul fiqih sesudah masa Imam Syafi’i dikenal ada dua metode Ushul Fiqih yang berbeda. Pertama, metode yang sifatnya teoritis. Metode ini berpengaruh oleh Furuk ( hukum keagamaan yang tidak pokok) dan kalangan yang berpatokan pada masalah-masalah Partial. Artinya, metode yang mereka susun sifatnya lebih mengacu pada penerapan hukumnya.
Metode ini dikenal dengan metode Mazhab Syafi’i karena ia dikenal sebagai orang yang pertama melakukan pembahasan yang bersifat teori belaka. Metode Imam Syafi’i ini juga dikenal dengan metode mutakallimin, karena banyak diantara ulama ilmu kalam melakukan pembahasan Ushul dengan metode teoretis ini.
Pembahasan dalam metode Imam Syafi’i dan mutakallimin lebih ditekankan pada penyusunan kaidah-kaidah tanpa terikat dengan pandangan mazhab, bahkan mereka menyusun metode ini dengan mapan tanpa memperhitungkan apakah dapat melayani kebutuhan mazhab mereka atau tidak.
Oleh sebab itu, ada ahli Ushul Mazhab Syafi’i sendiri yang teorinya bertentangan dengan teori yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i.
Misalnya, Imam al-Amidi yang merupakan ahli fiqih dan penganut Mazhab Syafi’i yang mengatakan bahwa Ijma’ Sukuti ( kesepakatan sebagian mujtahid pada suatu masa dalam mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap hukum suatu kejadian, sedangkan sebagian lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut), itu dapat menjadi hujjah. Sementara Imam Syafi’i sendiri tidak menerima Ijma’ Sukuti sebagai hujjah.
Pada pembicaraan tentang Ushul dalam kelompok ini banyak didapati pembahasan-pembahasan yang sifatnya teoritis saja dan tidak membawa pengaruh pada keperluan praktis.
Diantaranya adalah pembahasan tentang asal-usul bahasa, tahsin ( menganggap suatu perbuatan itu baik dan dapat dicapai oleh akal atau tidak), dan taqbih ( menganggap suatu perbuatan itu buruk dapat dicapai dengan akal atau tidak).
Kitab-kitab fiqih yang disusun menurut metode Imam Syafi’i dan mutakallimin antara lain al-Mu’tamad yang ditulis oleh Abi Husain Muhammad bin Ali Al Bashri yang sebelumnya mu’tazilah, al-Burhan yang ditulis oleh Imam Al Juwaini atau yang lebih dikenal dengan Imam Haramain, dan al-Mustafa yang ditulis oleh Imam Abu Hamid Al Ghazali.
Kedua metode mazhab Hanafi yakni metode yang sangat terikat dengan peristiwa-peristiwa Partial. Mereka melakukan pembahasan terhadap kaidah-kaidah Ushul untuk dijadikan pertimbangan atau alat pengukur pendapat-pendapat yang ada dalam mazhab mereka.
Dengan demikian mereka berusaha membenarkan pendapat mazhabnya melalui metode yang mereka susun. Syah Waliullah ( wafat 1762 Masehi), salah seorang pembaharu pemikiran Islam di India pada permulaan abad ke-14 mengatakan bahwa metode yang mereka susun itu bertujuan sebagai pembenaran terhadap putusan-putusan imam-imam mazhab mereka.
Di sinilah letak perbedaan antara metode Mazhab Syafi’i dan metode mazhab Hanafi. Metode Mazhab Syafi’i dibentuk sebagai teori untuk istinbat, tanpa terikat dengan masalah-masalah furuk. Adapun metode mazhab Hanafi dibentuk dalam rangka membenarkan terhadap pendapat-pendapat mazhab mereka.
Kitab Ushul yang ditulis dengan metode mazhab Hanafi antara lain ; Kitab Ushul oleh Ubaidillah bin Husein, Kitab Ushul (al-Jassas), Kitab Ushul (Imam al-Bazdawi) dan Kitab Ushul oleh Asy-Syarakhsi
Dengan demikian, Ushul Fikih yang dikenal sekarang adalah Ushul fiqih dalam dua metode ini. Ada juga beberapa penulis baik kalangan Mazhab Syafi’i maupun mazhab Hanafi yang menulis kitabnya dengan menggabungkan dua metode ini.
Dalam teori, mereka berpegang pada Mazhab Syafi’i. Namun dalam praktiknya mereka mengikuti metode mazhab Hanafi. Ulama yang menggabungkan dua metode tersebut antara lain adalah Imam al-Amidi dalam bukunya al-Ihkam li al-Amidi dari kalangan Mazhab Syafi’i dan Imam Ali Muhammad Al-Bazdawi dari kalangan mazhab Hanafi. Kemudian datang lagi Imam Ahmad bin Ali Sa’ati al-Baghdadi yang menggabungkan Usul al-Bazdawi dengan al-Ihkam li al-Amidi.