(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam) |
KULIAHALISLAM.COM – Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk (pluralistic society) suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama. Oleh karena itu, pluralisme dan multikulturalisme dapat memberikan implikasi bahwa setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama dalam komunitasnya. Realitas yang tidak dapat dipungkiri adalah keragaman yang lahir dari suku, budaya, bahasa dan agama yang terus dipaksakan dalam pemahaman yang tidak sejalan, golongan minoritas dan mayoritas, strata ekonomi dan sosial yang berbeda pandangan (point of view) sebagai masalah dan mengandung potensi konflik. Oleh karena itu, agar pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia berjalan dengan baik, maka masyarakat Indonesia harus mengembangkan nilai-nilai multikultularisme baik dalam suku, agama, bahasa dan agama. Apabila pluralisme dan multikulturalisme dapat diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, maka negara Indonesia akan menjadi masyarakat madani dan lahir sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Dalam negara Indonesia, wacana tentang civil society atau masyarakat sipil bermula pada sekitar akhir dekade 1990-an. Hal itu merupakan respons terhadap wacana yang sama yang juga sedang hangat diperbincangkan secara global sejak sekitar pertengahan dekade yang sama. Namun demikian, di Indonesia pada awalnya wacana bahkan perdebatan tentang civil society terbatas pada kalangan intelektual, akademisi kampus dan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Dalam berbagai diskursus akademik dan non-akademik tentang civil society, isu pertama berkaitan dengan padanan atau terjemahan mana yang tepat bagi konsep itu untuk konteks Indonesia. Ada pihak yang memilih mempertahankan istilah bahasa Inggris civil society, ada juga yang menawarkan terjemahan ‘masyarakat sipil’,‘masyarakat kewargaan’,‘masyarakat warga’, dan ‘masyarakat madani’. Medan diskursif kedua berkaitan dengan pemahaman dan pemaknaan terhadap konsep civil society dan kompatibilitas penerapannya dalam konteks masyarakat Indonesia.
Civil society sebagai konsep lama yang kemudian dikenal lebih ‘islami’dengan istilah Masyarakat Madani menjadi penting untuk dijadikan sebuah usulan perubahan. Masyarakat madani merupakan bentuk masyarakat yang ideal yang dicita-citakan semua bangsa. Bangunan masyarakat madani membutuhkan berbagai material yang kokoh dan tangguh yang berlandaskan pada pondasi agama. Kunci bangunan tersebut adalah Pendidikan Islam. Pendidikan Islam sebagai upaya mencetak generasi unggul yang Islami, yang nantinya akan mempersatukan diri membentuk masyarakat yang religius, bermoral, memiliki kualitas tinggi dan kreatif dalam membangun peradaban.
Masyarakat madani (civil society) seringkali diposisikan sebagai pola kehidupan masyarakat yang ideal. Dari aspek historis, para pemikir Islam biasanya merujuk kondisi civil society seperti ini pada kondisi masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah Muhammad Ṣallallāh ‘alayh wa Sallam. Idealitas konsep masyarakat madani tidak lain didorong oleh berbagai macam aspek yang ditonjolkan di antaranya adalah bahwa pola kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegaranya senantiasa mengacu pada supremasi hukum, hak-hak asasi manusia, serta menghargai perbedaan dengan segala bentuknya (pluralisme). Tentu bukan hal yang mudah untuk mewujudkan masyarakat ideal sebagaimana konsep masyarakat madani sedemikian rupa. Diperlukan upaya yang serius, kontinyu dan konsisten dari beragam pihak dan aspek, salah satunya yang krusial adalah dari aspek pendidikan sipil (civic education). Persoalan-persoalan inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan berikut.
Peran Masyarakat Madani
Masyarakat Madani menginginkan tegaknya demokrasi, keadilan hukum dan ekonomi yang Islami dalam berbagai sisi kehidupan. Sosialisme sebagai suatu faham baru yang muncul sebagai akibat dari ketidak adilan oleh pihak pemerintah dan pemihakan kalangan agamawan terhadap penguasa. Dalam hal kepemilikan, Sosialisme yang komunistis itu tidak memberi warga negara hak atas hak milik pribadi, sebaliknya Islam memberikan peluang besar kepada setiap pribadi untuk mempunyai hak milik hingga kepada masalah kewarisan sesuai dengan kemampuan masing–masing pribadi muslim untuk dapat memiliki harta kekayaan, itupun tidaklah semata–mata diperuntukkan bagi pemiliknya namun didalam sejumlah harta yang dimiliki seseorang itu ada bahagian hak dari kaum miskin yang harus ditunaikan dalam zakat. Konsep masyarakat madani (Islam) digunakan sebagai alternatif untuk mewujudkan good government yang dapat diartikan menciptakan suatu masyarakat yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada puncaknya akan terciptalah masyarakat adil dan makmur.
Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dam memaknai kehidupannya. Masyarakat madani sebagi sebuah masyrakat yang terbuka, egaliter, dan toleran atas landasan nilai-nilai setika-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (Maarif, 2004). Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami awal munculnya masyarakat madani, pengertian dan arti masyarakat madani, ciri-ciri dan konsep masyarakat madani, serta masyarakat madani dalam islam dan masyarakat madani di Indonesia.
Masyarakat madani Indonesia mengacu kepada konsep masyarakat madaniyah yang dikembangkan oleh Rasulullah, yakni masyarakat yang memiliki keadaban demokrasi, bertakwa kepada Allah SWT, yang seimbang antara dimensi fikir (iptek) dan dimensi dzikir (imtaq), dan mampu menyelaraskan dimensi Abdun, sebagai makhluk Allah yang tanpa daya dan dimensi Khalifah, sebagai pemimpin di muka bumi. Sehingga melahirkan sosok manusia yang dalam istilah al-Quran disebut sebagai Ulul Albab. Berangkat dari terbentuknya pribadi-pribadi yang Ulul Albab tersebut maka akan terbentuk sebuah komunitas yang dikenal dengan masyarakat madani Indonesia.
Masyarakat Madani Dalam Islam
Islam melahirkan konsep sempurna dengan menampilkan lima jaminan dasar yang diberikan agama kepada warga masyarakat, baik secara perorangan ataupun kelompok. Pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan fisik di luar ketentuan hukum. Kedua, keselamatan keya-kinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama. Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan. Keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum. Kelima, keselamatan profesi (intelektual). Kelima jaminan dasar tersebut menampilkan universalitas pandangan hidup atau visi transformatis sosial keagamaan yang utuh. Pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat yang berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap toleransi adalah unsur-unsur utama kemanusiaan. Namun, hal itu sekedar menyajikan kerangka teoritik. Sehingga, harus diikuti dengan upaya pengorganisasian dan penerapannya di lingkungan sosial secara empiris.
Masyarakat madani dibentuk dengan landasan motivasi dan etos keagamaan. masyarakat madani menunjukkan lingkungan masyarakat yang beradab, berbudi luhur, berakhlak mulia, egalitarianisme dan menghargai seseorang berdasarkan prestasi kerja. Dan menegakkan hukum, toleransi, pluralistik, berkeadilan sosial dan menghidupkan demokrasi dalam wadah musyawarah. Masyarakat madani berbeda dengan civil society yang lahir dari konteks sosial masyarakat Barat kontemporer, yaitu dari gerakan perlawanan rakyat guna melepaskan diri dari rezim-rezim penindas dan otoriter serta tidak ada hubungannya dengan akhlak atau budi pekerti luhur dan agama. Intelektual muslm konptemporer berusaha untuk memformulasikan nilai-nilai agama dalam masyarakat madani sebagai landasan operasional dalam bersikap dan bertindak setiap individu dalam kehidupan masyarakat.
Masyarakat sipil merupakan wacana yang sedang dikembangkan di era reformasi saat ini. Untuk dapat menempatkan wacana tersebut pada konteks yang tepat, kita harus mengetahui sejarah perkembangan konsep masyarakat sipil, prinsip-prinsip yang harus dijunjung di dalamnya, dan hambatan-hambatan dalam mewujudkan masyarakat sipil di Indonesia. Masyarakat sipil setara dengan konsep masyarakat sipil (civil society) yang lahir di Barat pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu. Sebelumnya, pada zaman Yunani Kuno, kata society civilis digunakan oleh Cicero, namun memiliki arti yang sama dengan negara. Konsep masyarakat sipil berupaya mencegah lahirnya pemerintahan otoriter, dengan menciptakan masyarakat yang kuat berhadapan dengan negara. Konsep masyarakat madani dianut oleh umat Islam dengan pendekatan projecting back theory, yaitu memandang sejarah awal Islam sebagai tolok ukurnya, dan bila tidak ditemukan maka dicari pada sumber-sumber normatif al-Qur’an dan al-Qur’an. al-Hadits. Civil society menjadi civil society, yaitu masyarakat yang diciptakan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah. Ciri-ciri kehidupan ideal pada masa Nabi dianggap sebagai masyarakat proto-modern. Kehidupan ideal pada masa Nabi juga menjadi model bagi John Locke, Mostequieu, dan Rousseau dalam menata konsep masyarakat sipil.
Kesimpulan
Masyarakat Sipil merupakan sebuah konsep sosial dan politik yang menempatkan Islam dan Negara dalam keadaan saling membutuhkan, yaitu; Islam sebagai pedoman moral dalam pengelolaan negara di satu sisi, dan negara sebagai landasan nilai-nilai Islam di sisi lain. Konsepsi ini mengacu pada nilai substansial yang mewakili kecenderungan masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW dan khilafah yang mencakup lima pilar utama, yaitu; tauhid, humanisme, musyawarah, keadilan, dan persaudaraan.
Istilah masyarakat sipil sebagai terjemahan dari istilah masyarakat sipil didasarkan pada konsep kota ilahi, kota beradab, atau masyarakat perkotaan. Selain itu, pengertian masyarakat sipil didasarkan pada konsep al-mujtama’al-madani yang diperkenalkan oleh ulama asal Singapura, Naquib Al-Attas yang mengemukakan secara ta’rīfi, bahwa masyarakat sipil merupakan konsep suatu negara yang ideal. masyarakat yang mengandung dua komponen besar yaitu masyarakat perkotaan dan masyarakat beradab.