Bagaimana Ilmu Kalam Menghadapi Radikalisme dan Sekulerisme ?
Radikalisme dan sekularisme adalah dua kutub ekstrem yang membahayakan keseimbangan sosial dan spiritual masyarakat. Radikalisme merusak keseimbangan sosial sebab dogmatisme dan kekerasan, merenggut wibawa tatanan sosial dengan mengatasnamakan ajaran agama yang dianut tanpa pemaknaan secara kontekstual.
Sedangkan sekularisme cenderung menyingkirkan peran agama dari tatanan sosial, yang berpotensi “menghancurkan” nilai-nilai moral dan etika yang bersumber dari spiritualitas.
Kalam, atau teologi Islam, menawarkan resistensi intelektual intelektual dalam kalam ini sebagai tindakan memperkuat aqidah. Dalam tataran epistemologis, kalam menawarkan sebuah keseimbangan rasional rasionalitas dan martabat keberagamaan.
Ilmu kalam memiliki peran penting dalam menghadapi radikalisme. Sebab, kelompok radikal cenderung memahami teks agama secara sempit dan menolak pandangan lain.
Mereka sering memanfaatkan teks dan emosi untuk memengaruhi massa, bukan dengan penjelasan yang logis seperti dalam kalam. Ilmu kalam mengajarkan cara berpikir kritis dan rasional dalam memahami ajaran agama.
Dengan membahas konsep tentang Tuhan, kenabian, dan kehidupan setelah mati, kalam membuka pemahaman yang lebih luas dan mendalam. Kalam juga membantah pandangan mutlak kaum radikal dan menekankan bahwa agama sejati bersumber dari pengetahuan dan keberanian untuk memahami makna secara mendalam.
Pada akhirnya, kalam menunjukkan bahwa tujuan agama adalah membawa kasih sayang dan kebaikan bagi semua, bukan kekerasan dan paksaan.
Di sisi lain, kalam juga bertindak sebagai benteng terhadap sekularisme. Sekularisme ekstremitas sering mengatakan bahwa agama hanyalah subyek pribadi dan tidak relevan dalam urusan publik, ilmu pengetahuan, atau filsafat.
Argumen ini mendorong sebagian orang menjauhkan agama dari kehidupan sosial dan mengabaikan norma moral dalam masyarakat. Untuk mengatasi hal ini, para pemikir kalam merumuskan pendekatan yang menegaskan kembali relevansi abadi agama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial manusia.
Melalui argumen tentang Tuhan, penciptaan, dan wahyu, kalam menunjukkan bahwa agama memiliki dasar rasional. Kalam berdialog dengan filsafat dan sains untuk menegaskan bahwa dimensi spiritual dan material adalah bagian utuh dari realitas. Nilai-nilai agama seperti keadilan, kasih sayang, dan integritas tetap penting dalam membentuk masyarakat yang beretika.
Namun, tentu saja, peran kalam sebagai resistensi juga tidak luput dari tantangan. Karena argumen kalam sering kali rumit dan membutuhkan pengetahuan mendalam yang belum tentu dimiliki masyarakat umum, para pemikir kalam perlu menyederhanakan penyampaiannya agar lebih komunikatif dan mudah dipahami tanpa kehilangan kedalamannya.
Para pendidik dan lembaga pendidikan juga harus memperkuat pendidikan kalam yang inklusif, baik di dalam maupun di luar sekolah. Ulama dan pemikir kalam juga harus aktif berdialog di ruang publik untuk menghadapi tantangan radikalisme dan sekularisme.
Pada akhirnya, kalam bukanlah sekadar metodologi berpikir; ia masih merupakan disiplin ilmu. Namun, itu adalah argumentasi yang bermoral. Argumentasi yang masuk akal, melibatkan, dan turun ke lembah kekesalan kemanusiaan; itu menentang radikalis yang merusak dan sekularisme terbalik.
Di era yang semakin rumit dan terbelah, menghidupkan kembali semangat dialog menjadi suatu hal yang penting untuk menciptakan masyarakat yang moderat, beradab, dan adil.