Radikalisme dan Sekularisme merupakan fenomena yang sering kali menjadi sorotan dalam diskursus sosial dan politik diberbagai belahan dunia, terutama di negara-negara yang mayoritas beragama islam.
Radikalisme sering kali diartikan sebagai paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara penekanan yang pada akhirnya mengakibatkan kekerasan (Muharam & Shilvirichiyanti, 2022).
Sedangkan Sekularisme menekankan pemisahan antara agama dan negara yang sering kali dianggap ancaman terhadap nilai-nilai keagamaan (Siregar & dkk, 2024).
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana ilmu kalam mempengaruhi persoalan radikalisme dan sekularisme, serta bagaimana ilmu kalam berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan dari kedua fenomena ini.
Dalam konteks ini, ilmu kalam sebagai cabang ilmu keislaman yang membahas tentang akidah dan keyakinan, dapat memberikan pemahaman dan penyelesaian fenomena ini (Fathimah & Kambali, 2024).
Ilmu Kalam yang dikenal sebagai teologi Islam, adalah cabang ilmu yang mengkaji prinsip-prinsip dasar dalam agama Islam dengan pendekatan rasional. Para ulama dalam bidang ini berupaya menjelaskan serta mempertahankan ajaran Islam, khususnya yang berkaitan dengan ketuhanan, kenabian, kehidupan setelah kematian, serta keterkaitan antara iman dan akal (Annisa & dkk, 2025).
Secara etimologis, kata kalam bermakna “pembicaraan”, tetapi bukan dalam artian percakapan sehari-hari, melainkan suatu bentuk diskusi yang didasarkan pada pemikiran logis dan rasional.
Fokus utamanya adalah memperkuat keyakinan umat Islam serta menolak pemahaman yang menyimpang dengan argumentasi logis dan dalil-dalil yang kuat (Fathimah & Kambali, 2024). Fu’at Al-Ahwani mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai disiplin ilmu yang bertujuan memperkokoh akidah agama dengan pendekatan rasional (Hasbi, 2015).
Meskipun Ilmu kalam telah mengalami perkembangan, berbagai tantangan dalam pemikiran kontemporer telah menghadirkan dinamika baru yang turut mempengaruhi perspektif terhadap ilmu tersebut (Annisa & dkk, 2025).
Dalam konteks ini, pemikiran kalam tidak hanya merespon tantangan-tantangan klasik, tetapi juga beradaptasi dengan berbagai isu sosial, politik dan ilmiah yang terus berkembang di era modern.
Tantangan dan persoalan Islam masa kini sangatlah kompleks, di antaranya adalah tantangan radikalisme, sekularisme, kemiskinan dan kesenjangan sosial yang dapat mengancam akidah umat Islam (Fathimah & Kambali, 2024)
Radikalisme merupakan suatu paham yang menginginkan perubahan ekstrem melalui cara kekerasan, sering kali didasarkan pada pemahaman keagamaan yang literal dan eksklusif (Muharam & Shilvirichiyanti, 2022). Radikalisme dalam islam adalah fenomena sosial-politik yang menjadi sorotan di berbagai negara.
Pada dasarnya radikalisme merujuk pada ideologi atau pola pikir ekstrem yang mendorong perubahan mendasar dalam masyarakat dengan cara-cara kekerasan atau di luar prinsip demokrasi. Dalam konteks Islam, radikalisme sering kali muncul akibat pemahaman agama secara ekstrem dan kaku, di mana individu atau kelompok tertentu meyakini bahwa tindakan mereka merupakan bentuk ketaatan yang benar terhadap ajaran agama (Iting, 2025).
Sejarah mencatat bahwa kelompok Khawarij menjadi salah satu contoh bagaimana pemahaman tekstual yang berlebihan terhadap ajaran agama dapat berujung pada tindakan ekstrem (Muharam & Shilvirichiyanti, 2022).
Kelompok radikal sering kali menyalahgunakan konsep jihad sebagai pembenaran untuk melakukan kekerasan, padahal dalam pandangan Ilmu Kalam, jihad lebih ditekankan sebagai perjuangan intelektual dan spiritual.
Oleh karena itu, ilmu Kalam dapat menawarkan pendekatan rasional dan argumentatif yang membantu memahami ajaran Islam secara lebih moderat dan kontekstual, sehingga mencegah penyalahgunaan teks agama untuk kepentingan radikal.
Dalam menghadapi radikalisme, Ilmu Kalam juga menekankan pentingnya metodologi berpikir kritis dan argumentatif dalam menafsirkan ajaran Islam. Kajian-kajian Kalam mengenai konsep takdir, keadilan Tuhan, dan hubungan antara akal dan wahyu dapat menjadi dasar bagi pembentukan pemahaman Islam yang lebih seimbang. Dengan demikian, pendekatan Kalam mampu membentuk kesadaran beragama yang lebih toleran dan menghargai perbedaan.
Sekularisme adalah suatu paham yang berupaya menyingkirkan nilai-nilai agama yang bersumber dari wahyu dalam aspek kehidupan duniawi atau meimsahkan antara agana dan urusan dunia (Ma’sa, 2020).
Paham ini berkembang sebagai respon terhadap dominasi agama dalam berbagai aspek kehidupan di masa lalu, terutama dalam sejarah Eropa yang mengalami ketegangan antara agama dan negara. Sekularisme dapat memicu krisis identitas di kalangan umat Islam, terutama ketika nilai-nilai agama dianggap tidak lagi relevan dalam kehidupan publik atau ketika terjadi ketegangan antara tradisi keagamaan dan modernitas (Busthomi, 2024).
Sekularisme lahir sebagai respons terhadap dominasi agama dalam kehidupan sosial-politik, terutama di Eropa. Dalam konteks Islam, sekularisme sering kali dipandang sebagai ancaman terhadap otoritas agama (Busthomi, 2024).
Namun, Islam tidak mengenal pemisahan mutlak antara agama dan negara sebagaimana yang terjadi di dunia Barat (Fathimah & Kambali, 2024). Islam memandang agama sebagai pedoman kehidupan yang mencakup berbagai aspek, termasuk hukum, sosial, dan etika.
Dampak dari sekularisme yang berlebihan adalah terpinggirkannya nilai-nilai religius dalam kehidupan masyarakat, yang berpotensi menimbulkan ketidakstabilan moral serta melemahkan identitas keislaman (Busthomi, 2024). Pendekatan Kalam dalam menyikapi sekularisme adalah dengan menyeimbangkan antara nilai-nilai agama dan perkembangan zaman.
Dalam hal ini, para teolog Islam menekankan pentingnya pemahaman yang tidak hanya tekstual, tetapi juga kontekstual terhadap ajaran Islam. Islam tidak menolak ilmu pengetahuan dan kemajuan, tetapi menekankan bahwa nilai-nilai moral dan etika harus tetap menjadi landasan dalam kehidupan bermasyarakat.
Ilmu Kalam memiliki peran strategis dalam menghadapi tantangan radikalisme dan sekularisme. Dengan pendekatan rasional dan argumentatif, Kalam dapat menjadi benteng terhadap pemikiran ekstrem (Fathimah & Kambali, 2024).
Selain itu, Kalam juga berfungsi sebagai jembatan dialog antara Islam dan modernitas, sehingga agama tidak terpinggirkan dalam kehidupan sosial, tetapi tetap memberikan kontribusi positif bagi peradaban (Busthomi, 2024).
Sejalan dengan penelitian Abdurrahman (2020), Ilmu Kalam berperan dalam mengatasi ketegangan antara kelompok keagamaan dan kelompok sekuler melalui pendekatan diskursus intelektual yang lebih inklusif dan terbuka terhadap perbedaan pandangan.
Dengan demikian, Kalam tidak hanya berperan dalam mempertahankan nilai-nilai keislaman, tetapi juga dalam membangun jembatan pemahaman antara berbagai kelompok sosial yang berbeda.
Pemikiran Kalam yang berbasis rasional dan teologis dapat menjadi alat untuk menyeimbangkan keberagamaan dengan tuntutan kehidupan modern, sehingga mampu menjawab tantangan radikalisme dan sekularisme secara lebih proporsional.
Radikalisme dan sekularisme merupakan dua tantangan utama dalam kehidupan keagamaan kontemporer. Dengan pendekatan rasional dan argumentatif, ilmu Kalam dapat memberikan solusi yang moderat dan kontekstual terhadap kedua persoalan ini.
Oleh karena itu, penguatan studi Kalam menjadi langkah strategis dalam membangun peradaban Islam yang harmonis dan tetap relevan dengan perkembangan zaman. Selain itu, studi Kalam perlu terus berkembang dengan mempertimbangkan tantangan kontemporer.
Dengan cara ini, ilmu Kalam tidak hanya menjadi kajian akademis, tetapi juga dapat memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan umat Islam dalam menghadapi perubahan zaman dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam yang moderat dan inklusif.