Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menegaskan bahwasanya kesederhanaan dalam hidup membantu seseorang menjaga hatinya tetap bersih dari cinta dunia yang berlebihan dan mendekatkan diri kepada Allah. Baginya, kesederhanaan bukanlah semata-mata tentang pengurangan, tetapi tentang keseimbangan dan menempatkan dunia sesuai dengan porsinya.
Dunia arsitektur yang ditekuni sebagai hobi lain di luar perkuliahan filsafat, membuat benak berpikir, “adakah korelasi antara gaya bangunan dengan pemikiran filosofis?” Dan apabila ada, adakah spesifikasi korelasi brutalisme dengan metode berpikir dari Al Ghazali? Inilah pencarian interdisipliner antara arsitektur dan pemikiran filsafat timur.
Menjadi pintu yang membuktikan bahwa filsafat sejatinya merupakan induk yang dapat diadaptasi pada setiap ilmu. Termasuk adanya filosofi kesederhanaan dalam kitab Ihya Ulumuddin yang terkandung pada arsitektur bergaya brutalisme, dikaji dari metode berpikir Al Munqidh Min Ad Dhalal karya filsuf Imam Ghazali.
Metode Berpikir dalam Al Munqidh Min Ad Dhalal
Metode berpikir dalam Al-Munqidh min Ad-Dhalal (Penyelamat dari Kesalahan) karya Imam Al-Ghazali mencerminkan perjalanan intelektualnya dalam mengklasifikasi kebenaran. Dalam karya ini, Al-Ghazali menceritakan perjalanan spiritual dan intelektualnya yang penuh dengan keraguan serta pencarian terhadap jalan yang benar, terutama dalam konteks filsafat, teologi, dan tasawuf.
Ghazali teguh dan ketat terhadap segala keilmuan yang beliau pelajari. Banyak mempertanyakan, mengumpulkan sumber dan mencari verifikasi validitas dari keilmuan tersebut. Hal yang dilakukan oleh beliau dan dirangkum pengalamannya pada kitab al munqidh min ad dhalal dapat menjadi acuan untuk selalu memverifikasi validitas, termasuk di arsitektur.
Imam Al-Ghazali dalam Al-Munqidh min Ad-Dhalal menggambarkan perjalanan pencariannya menuju kebenaran dengan cara yang sangat reflektif dan mendalam. Pada awalnya, ia merasa disesatkan oleh berbagai aliran pemikiran yang berkembang di zamannya, baik itu filsafat, kalam, maupun berbagai ajaran agama.
Keraguan mulai tumbuh dalam dirinya, seiring dengan ketidakmampuannya untuk menemukan kepastian yang memuaskan dalam berbagai ilmu yang ia pelajari. Ia menyadari bahwa akal manusia, meskipun memiliki potensi besar, tidak selalu dapat mencapai kebenaran yang absolut.
Dalam kegelisahan ini, ia mulai mencari alternatif yang lebih mendalam untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial maupun teologis yang mengganggu dirinya. Ini merupakan pemikiran stoik islamiyah dari tokoh sufi.
Kebenaran, menurut Al-Ghazali, bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan oleh akal atau logika semata, melainkan sesuatu yang perlu diterima dengan hati yang lapang, melalui wahyu dan pengalaman batin yang membawa seseorang lebih dekat pada Tuhan.
Pencarian kebenaran, bagi Al-Ghazali, adalah perjalanan yang terus berlanjut, diwarnai dengan keraguan, pencarian, dan akhirnya, penyerahan diri kepada kebenaran. Hal itu selaras dengan metode berpikir arsitek dalam mengalkulasikan material dan desain rumah brutalisme yang kerap kali dikatakan sebagai rumah “unfinished” oleh orang konvensional yang tidak memiliki kompetensi desain rumah. Setiap gaya rumah yang dikerjakan dalam proyek pembangunan, selalu memiliki filosofi. Termasuk brutalisme.
Brutalisme Berfilosofi Gemah Ripah Loh Jinawi
Kerap kali dianggap bersinggungan dan berseteru, justru konsep rumah brutalisme yang paling mendekati dengan filosofi gemah ripah loh jinawi. Sebelum menjawab kenapa bisa dikatakan begitu, filosofi ini memiliki keterkaitan dengan apa yang dipaparkan Imam Ghazali dalam kitab Munqidh Min ad Dhalal.
Imam Ghazali menganggap penting sekali keselarasan antara ilmu, iman. Sedangkan gemah ripah lo jinawi dalam filosofi Jawa, menekankan keselarasan antara manusia dengan alam. Kedua prinsip baik dari Munqidh Min Ad Dhalal ataupun gemah ripah loh jinawi adalah selaras. Juga sejalan dengan pendapat Ghazali mengenai kesederhanaan dalam Ihya Ulumuddin.
Gemah ripah loh jinawi artinya wilayah luas yang memiliki masyarakat makmur dan tanah yang subur. Bila dalam tradisi penempatan rumah menurut budaya Tionghoa mengenakan fengshui, maka orang-orang Jawa berfilosofi gemah ripah loh jinawi. Filosofi yang digunakan oleh kerajaan Majapahit untuk menegaskan kedigdayaan. Tentu secara objektif dapat dipertanggungjawabkan pernyataan keselarasan filosofi dengan desain brutalisme yang nyaman, kasual, sederhana, langsung dan berkelanjutan ini.
Penghuni rumah bergaya brutalisme secara tidak langsung rumahnya sudah gemah ripah dengan upaya desain yang meminimalisir ornamen dan dekorasi yang tidak penting guna kemewahan ataupun keindahan yang berarti. Mereka lebih berat dalam memilih material dan kualitas, yang menghasilkan kelapangan bidang rumah dan keluasan bangunan karena minimal dekorasi interior dan fasad rumah yang memenuhi ruang.
Mereka telah loh jinawi dari situ, makmur dengan hidupnya yang lebih banyak ruang yang kosong dan lebih mudah dibersihkan karena tidak banyak sela-sela pada furnitur. Makmur dengan keuangan yang hemat dibelanjakan pada material yang asli tapi awet, dibandingkan dengan perabotan rumah atau ornamen desain yang bersifat konsumtif dan apabila bersifat fast fashion furniture maka akan cepat usang karena desain baru.
Perawatan peralatan rumah juga lebih konsumtif pada finansial daripada hal material. Makmur dengan lantai dan tembok dari beton ekspos yang dingin, relatif mudah dibersihkan, dan merupakan material bangunan dengan sirkulasi udara yang sangat baik untuk rumah.
Pararelisme Munqidh Min ad Dhalal dengan Brutalisme
Dalam Brutalisme, meskipun berasal dari dunia arsitektur, prinsip-prinsipnya juga mencerminkan semangat yang mirip: pencarian otentisitas melalui kesederhanaan. Arsitektur Brutalis, dengan penggunaan material yang kasar dan fungsional, juga bisa dilihat sebagai respons terhadap kebingungan estetika modern yang berfokus pada hiasan dan kemewahan.
Brutalisme menekankan desain yang mentah dan tak terhalang, tanpa mempercantik atau menutupi kekurangan material. Ini seperti halnya al-Ghazali yang tidak menutupi keraguannya, melainkan menanggapinya dengan cara yang lebih jujur dan mendalam. Keduanya juga menunjukkan semangat transisi—al-Ghazali berpindah dari satu aliran ke aliran lain, mengalami pergeseran dalam pandangannya yang lebih dalam dan autentik.
Begitu pula dengan brutalisme, yang menjadi reaksi terhadap gaya arsitektur sebelumnya yang lebih berfokus pada keindahan dekoratif, dengan mencoba menciptakan sesuatu yang lebih sederhana dan lebih realistis sesuai dengan waktu dan kebutuhan modern. Dengan demikian, baik al-Ghazali maupun brutalisme tidak hanya berbicara tentang pencarian dan kejujuran, tetapi juga tentang transisi dari kebingungan dan keraguan menuju pemahaman yang lebih dalam dan autentik, baik dalam bidang spiritual maupun desain—memungkiri hal konvensional.
Brutalisme adalah desain keaslian, tanpa ilusi dan bayang-bayang estetika. Menggunakan beton yang dingin, dengan polesan warna monokrom yang tak menorehkan vibrasi yang berarti, brutalisme menawarkan kenyamanan yang sakral daripada bayang-bayang keindahan, kecantikan dan kemanisan desain yang semu.
Itu menunjukkan bahwa brutalisme adalah refleksi dari pemikiran Al Ghazali, yang menakar segala hal dengan kepastian yang berdasar, dibandingkan bermanja dengan kesemuan. Pasti, walaupun tidak cantik. Realistis, walaupun terkesan seperti unfinished.
Bila dikaitkan pada Islam, arsitektur brutalisme menerapkan prinsip kesederhanaan dalam berkehidupan—termasuk mendesain rumah sebagai tempat tinggal untuk hidup. Brutalisme dipilih oleh mereka yang lebih ingin kualitas rumah, alih-alih pada estetika.
Islam menilai arsitektur berdasarkan fungsinya dalam memenuhi kebutuhan manusia. Rumah brutal yang sering kali menggunakan beton ekspos memiliki daya tahan tinggi dan fungsi yang jelas dengan tampilan yang tidak mengekspos harta benda dengan riya, sehingga dapat menjadi representasi prinsip kemanfaatan dalam Islam.
Selama rumah tersebut memberikan kenyamanan, keamanan, dan memenuhi kebutuhan dasar penghuni, gaya brutalismenya tidak menjadi masalah. Justru efisiensinya dihargai. Islam sendiri tidak melarang pembelian material yang mahal, asal bisa bermanfaat dan tidak digunakan untuk mengundang hasad atau kedengkian, atau karena haus akan pujian. Penggunaan beton ekspos penuh sebagai material rumah bisa meredam itu semua.
Karena menjanjikan kedamaian dengan bahan beton yang relatif lebih dingin alami, alih-alih dipergunakan untuk mendapat pujian dan mengundang kecemburuan sosial sekitar. Lagi-lagi, ini selaras dengan teori Imam Ghazali mengenai keselarasan ilmu dan iman.
Penghuni rumah bergaya brutalisme berilmu dalam pemilihan material, dan beriman dengan cara tidak mengekspos desain rumahnya dengan hingar-bingar kemewahan. Maka juga sesuai dengan kesederhanaan dalam sufisme Al Ghazali yang menekankan zuhud dalam Ihya Ulumuddin untuk menjadi gaya hidup.
Karena kalau bicara kemegahan, desain brutalisme adalah yang tergagah di benak saya. Ia dibangun sedemikian maskulin, untuk menentang hal konvensional atas suatu desain. Falsafah Islam Al Ghazali dan gemah ripah loh jinawi sebagai pepatah sukses menjawab, bukan berarti fasad rumah yang dingin dan kaku, tidak memiliki nilai seni berfilosofi.