Keislaman

Menyingkap Makna di Balik Wajh Allah: Penafsiran Ayat Antropomorfisme dalam Kitab Mafatih Al-Ghaib

3 Mins read

Bagaimana jika istilah “wajh Allah” ditafsirkan sebagai “wajah” dalam arti fisik seperti wajah makhluk? Pertanyaan semacam ini sering sekali memicu perdebatan dalam kajian Al-Qur’an, terutama ketika kita berhadapan dengan ayat-ayat yang secara lahir tampak menggambarkan Allah seolah-olah punya bentuk atau sifat seperti makhluk-Nya.

Hal tersebut biasa disebut dengan istilah antropomorfisme. Dalam Oxford Dictionary, antropomorfisme diartikan sebagai “The practice of treating gods, animals or objects as if they had human qualities”, (Oxford Learner’s Dictionaries) yakni suatu upaya memperlakukan dewa / Tuhan, hewan, atau benda seolah-olah memiliki sifat manusia.

Para mufasir menggunakan pendekatan yang berbeda untuk membaca ayat-ayat seperti ini, diantaranya tamthil (menyerupakan Allah dengan makhluk), tafwidl (menyerahkan makna secara penuh kepada Allah) serta takwil (memberikan makna kiasan) (Alim 2021).

Dalam tradisi Sunni, khususnya di kalangan Asy’ariyah, pendekatan takwil menjadi salah satu metode yang banyak digunakan. Fakhr al-Din al-Razi termasuk mufasir yang mengikuti pendekatan ini dalam membaca ayat antropomorfisme tersebut.

Sekilas tentang Fakhr al-Din al-Razi dan kitabnya

Nama lengkap Al Razi adalah Muhammmad ibn Umar Ibn Husain Ibn Hasan Ibn Ali al-Taimi al-Bakri at-Thabari al-Razi. Ia dikenal dengan berbagai laqab atau gelar terhormat seperti al-Imam, Fakhr al-Din, al-Razi, hingga Syaikh al-Islam.

Al-Razi lahir di Rayy pada tahun 544 H dan dikenal dengan seorang ulama yang sangat luas wawasannya. Beliau adalah seorang faqih bermadzhab Syafii, sekaligus pemikir teologi beraliran Ash’ariyah (Sunni)(Al-Razi 1981).

Salah satu karya monumentalnya adalah Tafsir al-Kabir, atau lebih populer dengan nama Mafatih al-Ghaib. Kitab tafsir ini terdiri dari delapan jilid tebal dan memiliki gaya penafsiran yang berbeda dari kebanyakan kitab tafsir lainnya.

Baca...  Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Jawaban Al-Ghazali Terhadap Status Orang Yang Bermaksiat

Bukan hanya membahas makna makna ayat secara langsung, Al-Razi seringkali membawa pembaca menjelajah ke berbagai cabang ilmu, diantaranya yaitu ilmu matematika, biologi, filsafat hingga fenomena alam. Karena itu, banyak yang menyebut kitab ini sebagai ensiklopedia terbuka ketimbang sekedar kitab tafsir.(Tarto 2023)

Disamping Al-Razi menguraikan ilmu-ilmu umum, beliau juga membahas persoalan ilmu kalam dan filsafat. Al-Razi memaparkan beberapa argument, lalu membandingkan dan mengkritiknya, khususnya, ketika bertentangan dengan metode Ahlussunnah.

Oleh karena itu, Al Razi membaca ayat-ayat yang berkesan antropomorfisme dengan pendekatan takwil, sebuah metode yang menjadi ciri khas ulama Ash’ariyah dalam menjaga kemurian konsep ketuhanan tanpa menyerupakan dengan makhluk.

Penafsiran Al-Razi atas ayat antropomorfisme

Salah satu contoh ayat antropomorfisme dapat dilihat ketika Al Razi menafsirkan surah Al Baqarah [2]: 115 yang berbunyi:

وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

“Hanya milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 115 ).

Sekilas, ayat ini tampak menyandarkan kepada Allah sifat-sifat yang menyerupai manusia, yakni pada frasa kata “wajh Allah”. Namun, Al-Razi menegaskan bahwa ayat tersebut justru merupakan dalil kuat untuk menolak tajsim / tamthil dan meneguhkan tanzih (penyucian sifat Allah dari hal yang serupa dengan makhluk), sebagaimana pernyataannya:

الْآيَةُ مِنْ أَقْوَى الدَّلَائِلِ عَلَى نَفْيِ التَّجْسِيمِ وَإِثْبَاتِ التَّنْزِيهِ

Al Razi menjelaskan bahwa arah Timur dan Barat, atau selainnya adalah bagian dari ciptaan yang memiliki dimensi panjang, lebar dan kedalaman, serta tersusun dan terbagi-bagi. Sesuatu yang tersusun pasti merupakan makhluk, sedangkan Sang Pencipta tentu ada sebelum ciptaan itu ada. Maka, Allah adalah Sang Pencipta yang ada sebelum adanya ruang, arah, dan seluruh dimensi tersebut.(Al-Razi 1981)

Baca...  Padang Pasir Karbala di Irak

Mengenai frasa وَجْهُ اللّٰهِ, Al Razi beragumentasi bahwa seandainya Allah adalah jism dan memiliki wajah yang bersifat fisik, niscaya wajah itu akan terkhususkan pada satu sisi dan arah tertentu, sedangkan ayat ini menunjukkan dua sisi, maka mustahil bagi Allah memiliki wajah serupa dengan makhluk-Nya. Dalam hal ini, Al-Razi menakwilkan dengan empat bentuk arti:

Pertama, sebagai bentuk Idlafah (penyandaran), seperti kata بَيْتُ الله yang tidak dimaknai secara literal bahwa Allah benar-benar memiliki rumah, tetapi menunjukkan bahwa sesuatu itu milik-Nya atau ditetapkan oleh-Nya sebagai sesuatu yang mulia. Maka, “wajh Allah” bisa dipahami sebagai suatu arah ibadah yang ditetapkan Allah, yakni kiblat, yang bertujuan untuk menunjukkan jalan kemuliaan.

Kedua, sebagai الْقَصْدُ وَالنِّيَّةُ (tujuan dan niat), seperti halnya perkataan seorang penyair أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ ذَنْبًا لَسْتُ أُحْصِيهِ … رَبَّ الْعِبَادِ إِلَيْهِ الْوَجْهُ وَالْعَمَلُ

(Aku Memohon kepada Allah atas dosa yang tak terhitung, Tuhan para hamba, kepadanya wajah (niat) dan amal ditujukan.

Ketiga, sebagai مَرْضَاةُ اللَّهِ (keridaan Allah), seperti halnya dalam ayat lain disebutkan إِنَّما نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ [الْإِنْسَانِ: ٩] يَعْنِي لِرِضْوَانِ اللَّهِِ Kami memberi makan kalian demi Wajah Allah” (Al-Insan [78]: 9) maksudnya yaitu demi meraih Ridla Alla . Keempat, Al Razi menyebutkan bahwa kata wajah tersebut sebagai Silah, sebuah ungkapan penghubung atau kiasan yang menunjukkan arah, tujuan, atau inti dari suatu arah.

Oleh karena itu, Al-Razi menawarkan takwil yang lebih mendalam. Al-Razi menjelaskan bahwa ayat tersebut (فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ) tidak sedang berbicara tentang arah fisik atau lokasi tertentu bagi Allah. Akan tetapi, ayat tersebut mengandung makna kiasan bahwa disanalah kiblat yang menjadi arah ibadah kepada-Nya, atau bisa juga dipahami bahwa yang dimaksud adalah keberadaan rahmat, nikmat, jalan pahala, serta tempat seorang hamba mencari keridlaan-Nya.

Baca...  Ternyata Banyak Ibadah di Malam Nisfu Sya’ban yang Hanya Berdasarkan Tradisi

Dengan demikian, penafsiran al-Razi terhadap ayat antropomorfisme mencerminkan corak Sunni yang tegas dengan menolak adanya penyerupaan dan menjunjung tinggi tanzih.

Melalui cara inilah, al-Razi menjaga ayat agar tetap dapat dipahami dengan benar secara linguistik, serta menjaga kemurnian aqidah sekaligus tetap berpijak pada prisnsip keagungan Tuhan yang Maha Suci dari segala bentuk keserupaan, Waallahu A’lam.

1 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
KeislamanTokoh

Mengenal Al-Biruni Ilmuwan Muslim

2 Mins read
Kuliahalislam.Abul Rayhan al-Biruni (Khawarizmi, Turkmenistan, Zulhijah 362/September 973 M-Ghazna, 3 Rajab 448/13 Desember 1048 M). Ia adalah sarjana muslim terkemuka pada masanya,…
Keislaman

Benturan Dua Mazhab Besar: Bagaimana Muktazilah dan Asy’ariyah Menafsirkan Sifat-sifat Allah dalam QS. Al-Hasyr 59 : 22?

4 Mins read
Pembahasan mengenai sifat-sifat Allah SWT menjadi salah satu diskursus paling menarik dan sensitif dalam khazanah teologi Islam. Setiap mazhab memiliki cara tersendiri…
Keislaman

Antropomorfisme Dalam Kitab Tafsir Al-Kashf Wa Al-Bayan Fi Tafsir Alquran Karya Al-Tsalabi

4 Mins read
Al-Tsa‘labī adalah seorang mufassir besar dari Naisabur bernama Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Tsa‘labī (w. 427 H). Tafsirnya yang berjudul…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Esai

Kontestasi Teologi dalam Penafsiran Sifat Tuhan: Studi atas Sekte-sekte Islam

Verified by MonsterInsights