Indonesia merupakan negara yang luas dan kaya akan budaya, bahasa, suku, dan agama. Menurut UU No. 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan beserta objek-objeknya, setidaknya terdapat 1941 macam. Meliputi adat, suku, agama, bahasa, dan masih banyak lagi.
Namun tidak dipungkiri bahwa dari banyaknya perbedaan tersebut akan menimbulkan konflik dan ketegangan yang menyebabkan perpecahan dari sebuah bangsa. Untuk menjaga agar tidak terjadi disentegrasi bangsa, saya akan mencoba menampilkan surat Aay-Syura ayat 38 pandangan Sayyid Qutub tentang pentingnya menjaga keutuhan dalam berkehidupan.
Hal itu dilakukan agar seluruh elemen dalam negeri merasa aman dan nyaman untuk tinggal di dalamnya. Sebelum itu saya akan menjelaskan sedikit biografi Sayyid Qutub dalam kitab tafsirnya yang berjudul Fi Zhilalil Qur’an.
Biografi Sayyid Qutub
Sayyid Qutub Ibrahim lahir pada tahun 1906 di kampung Musyah daerah Egypt, beliau merupakan anak seorang ulama yang bernama Haji Qutub Ibrahim. Kecerdasannya tampak saat menginjak bangku pendidikan, dikarenakan gemar membaca beliau sangat suka bertanya maupun mengemukan pendapat saat di kelas.
Tidak berhenti sampai sana, beliau juga disebut sebagai penulis yang profilik dan berhasil menerbitkan majalah-majalah yang berwawasan di zamannya. Pendidikan yang diampu beliau mulai dari pendidikan Tsanawiyah di Kairo dan melanjutkan pendidikannya di perguran tinggi Tajhiziyah Daar Ulum dan lulus pada tahun 1933 dengan gelar sarjana (Lc).
Kepandaian beliau membawa Qutub untuk bekerja di Kementerian Pendidikan sebagai pengawas pendidikan, dan melanjutkan studinya di Amerika Serikat untuk mempelajari metode barat. Perguruan tinggi yang dijadikan perlabuhan pertama di barat adalah Wilson’s Theacher’s College yang berada di Columbia, Universitas Nothern Colorado, dan Universitas Stanford dengan memperoleh gelar M.A. dalam bidang pendidikan. Tidak hanya di Amerika tetapi beliau juga berkelana mengelilingi negara Eropa yakni Inggris, Italia, dan Swiss.
Penafsirat Surat Asy-Syura 38 Pandangan Sayyid Qutub
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۚ
Artinya: “(juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka;” (Asy-Syūrā [42]:38)
Dalam pandangan Sayyid Qutub kurang lebihnya ada empat poin yang bisa kita ambil dari surat tersebut untuk merefleksikan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara, khususnya umat Islam sebagai mayoritas di negara Indonesia. Poin tersebut yakni;
Mematuhi seruan Allah SWT
Umat muslim seyogyanya mematuhi apa yang difirmankan oleh Allah SWT melalui Alqur’an ataupun sunnah Nabi Muhammah SAW. Mencoba untuk selalu menekan nafsu yang bersarang pada hati setiap muslim. Saat keberadaan nafsu buruk sudah mampu untuk dikuasai, maka umat muslim akan melakukan perbaikan di muka bumi dan tidak merusak fasilitas yang Allah berikan, karena sejatinya manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Allah merincikan dengan memberikan perintah kepada seseorang yang beriman akan keesaan Allah dengan ibadah berikut ini.
Dan mereka mendirikan salat
Dalam agama Islam salat merupakan sendi kedua setelah meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa dan Nabi Muhammad SAW diturunkan sebagai utusan. Salat merupakan bentuk respon yang pertama atas seruan Allah.
Komunikasi antara hamba dan Tuhan adalah Salat. Tidak salah salat diumpamakan seperti kepala dari sebuah badan. Jika seorang muslim khusyu dan benar dalam salatnya, Allah menjanjikan untuk dijauhkan dari dua sumber permasalahan yang dapat menimbulkan kerusakan, yakni fahsya dan munkar.
Jika dua sumber permasalahan sudah berhasil ditutup dengan ibadah salat, maka seseorang tidak akan mungkin melakukan kerusakan atau perselisihan di muka bumi ini. Dari ibadah salat inilah juga bisa diambil aspek kesetaraan, maka ayat selanjutnya berbicara tentang musyawarah sebelum menyajikan sifat berzakat.
Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka
Potongan ayat tersebut menegaskan agar seluruh persoalan diputuskan melalui musyawarah. Seperti yang tertera dalam tafsir Sayyid Qutub bahwa ayat ini merupakan ayat Makkiyah dimana turun sebelum berdiri masa kepemimpinan Islam. Dengan demikian ayat tersebut membicarakan tentang karakter seorang muslim yang suka akan musyawarah dalam menentukan urusan bersama.
Bentuk musyawarah yang ideal bukanlah seperti menuangkan cairan dalam cetakan besi. Tetapi disesuaikan dengan sosio masyarakat atau tatanan yang ada pada lingkungan tersebut. Hal itu tidak terlepas dari keimanan yang tumbuh dalam hati umat muslim untuk mengikuti nash yang telah tertulis. Musyawarah seperti ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW saat membuat sebuah sistem pemerintahan di Madinah yakni Piagam Madinah.
Dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka
Ayat diatas merupakan anjuran kepada kaum muslim untuk menafkahkan sebagian rezekinya terhadap seseorang yang membutuhkan. Perintah menafkahkan harta diberlakukan pada tahun ke-2 Hijrah. Allah telah mengarahkan sejak dini dalam kehidupan masyarakat Islam.
Bahkan, pengarahan untuk infak lahir sejalan dengan munculnya masyarakat Islam di Madinah. Disini umat Islam diajarkan untuk selalu berbagi dari kelebihan harta yang dimilikinya.
Indahnya Islam tidak membatasi seseorang untuk berbagi. Meskipun berbeda suku, budaya, ras, bahkan agama. Sekalipun, tidak ada larangan seorang muslim untuk berbagi (sedekah) kepada mereka. Inilah yang dapat memperkuat rasa persaudaraan berbangsa dan bernegara.