KULIAHALISLAM.COM – Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai ciri khas tersendiri yang berbeda dengan negara hukum yang diterapkan di berbagai negara. Hanya saja, untuk asas umum seperti pemisahan atau pembagian kekuasaan masih dijadikan landasan dalam pembentukan negara hukum di Indonesia. Penerapan pembagian kekuasaan di Indonesia terdiri dari dua bagian, yaitu pembagian kekuasaan secara horizontal dan pembagian kekuasaan secara vertikal. Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan menurut fungsi lembaga tertentu (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), sedangkan pembagian kekuasaan vertikal adalah pembagian kekuasaan menurut tingkatannya, yaitu pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintah.
Kekuasaan merupakan dimensi kehidupan yang sensitif. Dalam kajian barat, pemahaman represif tentang kekuasaan memandangnya sebagai refleksi dari sifat keinginan manusia untuk mempengaruhi orang lain sehingga berkecenderungan untuk menyalahgunakan. Kekuasaan yang dilaksanakan tanpa batas pasti menimbulkan penyelewengan alias korupsi. Oleh karena itu diperlukan batas yang tegas tentang berapa lama dan bagaimana kekuasaan harus di implementasikan.
Bahwasannya dalam kehidupan manusia pada masyarakat terdapat dua faktor penting yang harus berjalan beriringan secara bersama-sama, kedua faktor tersebut adalah hukum dan kekuasaan. Hukum mempunyai sanksi yang tegas dan nyata, sehingga agar hukum dapat dilaksanakan dalam pencatatan ketentuan-ketentuannya hukum memerlukan kekuasaan sehingga hukum berbeda dengan kaidah sosial lainnya, akan tetapi agar kekuasaan dalam pelaksanaannya tidak disalahgunakan maka diperlukan hukum. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka hukum dengan kekuasaan tidak dapat dipisahkan melainkan hanya dapat dibedakan saja dan oleh karenanya hukum memerlukan kekuasaan dalam pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan agar tidak disalahgunakan dalam pelaksanaannya harus ditentukan batas-batasnya oleh hukum atau dalam ungkapan populer dapat dikatakan hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sebaliknya kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan.
Bagi Foucault, kekuasaan bukanlah sebuah ontologi melainkan sebuah strategi. Kekuasaan bekerja dari bawah ke atas, bukan sebaliknya; Kekuasaan tidak terpusat pada satu orang atau sekelompok orang tetapi bentuknya tersebar dan ada dimana-mana. Kekuasaan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari melalui wacana. Kekuasaan berkaitan dengan pengetahuan karena pengetahuan tidak ada jika kekuasaan tidak ada. Sebaliknya, tidak akan ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Otoritas (kemampuan membuat orang lain mematuhi suatu perintah tertentu) adalah sebuah aspek lain yang harus ada di sisi kekuasaan. Dan menurut SF. Marbun, kekuasaan tidak ada artinya apabila tidak disertai dengan otoritas. Hanya dengan otoritaslah suatu pemerintahan dapat diterima dan mampu bertahan lama.
Korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang sama. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu gerbang” korupsi. Demikian inti pernyataan Lord Acton, profesor sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup pada abad ke-19. Dengan pepatahnya yang terkenal ia menyatakan: “Power cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut” (power cenderung korup, dan kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut). Ada dalil yang mengatakan bahwa korupsi mengikuti sifat kekuasaan. Jika kekuasaan bersifat sentralis, maka korupsi juga bersifat sentralis. Semakin terpusatnya kekuasaan maka semakin besar pula korupsi yang terjadi di pusat kekuasaan tersebut. Tipe ini ditemukan pada masa orde baru. Sebaliknya jika yang terjadi adalah otonomi, seperti otonomi daerah, maka korupsi pun ikut terjadi seiring dengan otonomi tersebut. Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, maka korupsi juga berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan.
Meraih Kekuasaan
Betapa banyak yang memburu tahta kuasa itu padahal jabatan publik untuk kemaslahatan publik, namun mereka meraihnya dengan niat tekad kepentingan pribadi, kroni dan golongan sendiri lalu mengabaikan menindas warga masyarakat yang memilih dan mendukung nya.
Betapa banyak yang memburu tahta di singgasana kuasa itu untuk mendapat akses kekayaan, fasilitas dan penunjang lainnya, dengan dalih hasil tekad kerja keras, keringat dan darah perjuangan padahal itu sarana pengabdian, komitmen dedikasi, legasi, dan memberdayakan warga masyarakat yang memilih dan mendukung nya.
Betapa banyak yang merasa sudah berjuang kerja keras siang malam, pagi siang sore tak mengenal panas dan debu hanya untuk meraih mendapat dan merebut tahta kekuasaan itu, dengan turun blusukan, kampanye dan meraih hati suara dan dukungan warga, padahal itu semua hanya posisi sementara, jalan amal ibadah mewujudkan kebajikan dan keadilan.
Setelah semua itu diraihnya didapatkan, maka akhirnya melupakan mengabaikan, menindas rendahkan bahkan memperalat, memeras, dan mengorbankan nasib martabat hidup warga masyarakat seluruhnya, jadi fakir miskin, lemah terlantar, tidak berdaya, tidak bisa berbuat berantakan karuan.
Karena hasrat, pandangan dan orientasi manusia yang berbeda-beda, jadi semakin menambah dinamika gejolak yang terjadi di bidang politik ekonomi pendidikan budaya, bisnis dan lainnya. Segala sumber daya dikerahkan hanya untuk meraih orientasi itu semua, sebagai nilai nambah, wawasan dan bumbu-bumbu dalam aktivitas kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa.
Watak Tirani Kekuasaan
Karakter penyelenggara negara, pemegang jabatan di lembaga birokrasi pemerintahan, pejabat-pejabat publik dan politisi-politisi bekerja dilingkungan pemerintah dan masyarakat cenderung berwatak diktator, despotik, tiranik populis dalam menjalankan kekuasaan, cenderung menyalahgunakan kekuasaan, bertindak sewenang-wenang, semena-mena dan membentengi akses kekuasaan dan merampok fasilitas keuangan dan serta menjarah sumberdaya aset negara.
Juga, pejabat-pejabat publik dan politisi-politisi yang tersebut cenderung berwatak diktator brutalitas dan tiranik populis, dalam menjalankan kekuasaan, kerapkali menyebar ketakutan, kebohongan, dan dan manipulasi secara terstruktur sistematis dan massif terhadap warga masyarakat sipil, menyebarkan tipu daya manipulasi kebijakan sehingga warga nampak acuh tak acuh, bingung terlena bahkan senantiasa bertindak diktator tiranik populis untuk melanggengkan kekuasaan bagi sekelompok politik dinasti/kroni keluarga. Kebijakan yang merusak rendahkan martabat warga masyarakat.
Para politisi-politisi tiranik cenderung menggunakan instrumen demokrasi sebagai jalan meraih kekuasaan tetapi berkelakuan diktator tiranik setelah mendapat dan menyelenggarakan kekuasaan pemerintah.
Dalam menjalankan kekuasaan, awal mula pemimpin pemimpin menampilkan wajah sederhana polos, menebar janji dan iming-iming dan blusukan merakyat, menampilkan diri sebagai pemimpin politik yang bersih, tidak punya beban masa lalu, tidak punya riwayat cacat hukum, namun setelah meraih kekuasaan, pemimpin politik tersebut bertindak bagai seorang raja yang gagah digdaya, perkasa dihadapan warga. Dengan kata lain, sistem atau mekanisme demokratis hanya dijadikan sebagai sarana untuk meraih kekuasaan, tetapi diabaikan dan dibuang setelah politisi-politisi sudah mendapatkan tahta kekuasaan.
Selain itu, kelakuan pejabat-pejabat publik yang berwatak diktator brutalitas penindas, otoriter sewenang-wenang dan semena-mena tersebut menyelenggarakan roda birokrasi kekuasaan pemerintah, berdasarkan selera subjektif, menegakkan hukum secara despotik tiranik menyasar, membidik dan bahkan membunuh setiap lawan-lawan atau musuh politik yang bersebrangan dengan rezim. Hukum dijadikan sebagai alat senjata politik kekuasaan, hukum dijadikan sebagai alat sandera politik. Hukum dijadikan sebagai senjata menghukum lawan politik, hukum dijadikan sebagai alat sandera antar politisi-politisi untuk menguasai kekuasaan. Hukum dijadikan sebagai tameng imunitas atas perbuatan sewenang-wenang rezim, lalu dijadikan panah misterius bagi setiap tokoh-tokoh politik, intelektual dan cendekiawan kritis serta warga masyarakat yang aktif aspiratif menuntut hak-hak sosial politik dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.
Hukum bicara norma, etika dan moralitas kebajikan, kedamaian keadilan dan keadaban. Bukanlah semata-mata yang tertulis dalam lembar undang undang dan aturan baku kaku. Hukum bukan dilakukan secara semena-mena sesuai selera atau kehendak nafsu syahwat kelompok nya. Hukum bukan dilaksanakan secara membabi-buta, serampangan dan merusak rendahkan martabat seseorang.
Hukum akan nampak baik, adil dan bijaksana, jika setiap penyelenggara berlaku sesuai ketentuan yang berlaku, integritas, kepastian dan kebajikan. Hukum akan nampak semakin bagus, mantap dan tegak lurus, jika setiap pihak-pihak percaya, penuh integritas dan lapang jiwaraga dalam melihat dan menyelesaikan perkara. Hukum akan nampak adil, bijaksana dan bahagia lagi gembira, ditangan penyelenggara yang berakal sehat bersih, berhati nurani jernih, dan bertindak tulus gembira kepada semua warga negara.
Bukanlah hanya berteriak membela hukum, orang-orang (klien), karena sinar silau uang, atau berlindung dibalik ketek dan jubah kekuasaan yang ber-uang, tumpul mulus dihadapan penguasa digdaya, tetapi tajam bulus dihadapan warga-warga masyarakat jelata yang ta berdaya. Bukanlah dengan cara-cara memaksakan kehendak, mengancam atau menindas, bergerak melampaui batas kewenangan. Bukanlah tumpul ke kawan sendiri, tetapi tajam ke lawan politiknya. Bukanlah diam bisu ke kawan sendiri, tetapi berkoar-koar ke lawan politiknya. Bukanlah yang sembunyi tangan ke kawan sendiri, tetapi tangan menunjuk tunjuk ke lawan politiknya. Ibarat suatu pepatah yang mengatakan bahwa, “Gajah diseberang laut nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak. Pagar buruk orang lain sangat nampak, pagar buruk dihalaman sendiri tak nampak”.
Kekuasaan Dalam Islam
Kekuasaan itu sesungguhnya milik Allah. Kepada siapa kekuasaan itu dipergilirkan. Dan tidak ada yg bisa melawan itu. Maka jika ada orang yg merasa bahwa kekuasaan itu kekal dan segala gala nya maka tunggu saja Allah akan menghinakannya.
قُلِ اللّٰهُمَّ مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَاۤءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاۤءُۖ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاۤءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاۤءُۗ بِيَدِكَ الْخَيْرُ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Wahai Allah, Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Merujuk Ali Imran ayat 26, di atas bahwa, menjelaskan, kekuasaan di dunia saat ini tengah di pergilirkan oleh Yang Maha Kuasa. fenomena pergiliran kekuasaan ini telah terjadi bahkan sejak jauh sebelum era modern saat ini, di mana negara-negara adidaya barat yang dominan berkuasa. “Sesungguhnya kekuasaan itu sepenuhnya milik Allah, Allah Maha Kuasa lalu sebagian dari kekuasaan Allah itu diberikan kepada manusia. Tentu sebagian kecil dan sangat kecil sekali. Maka manusia diberikan kekuasaan oleh Allah untuk memakmurkan bumi ini sebagai khalifatullah fil ardh,” ungkapnya.
Karena apapun yang dipegang manusia, termasuk kekuasaan adalah pinjaman maka Allah SWT pasti akan mengambilnya kembali. Bahwa, kekuasaan yang dimiliki oleh manusia bukan sebuah kemuliaan, melainkan bagian dari ajaran akidah. Maka jika kekuasaan diamanahkan kepada seseorang atau suatu bangsa, sudah seyogyanya menjalankan kekuasaan itu dengan sebaiknya. Oleh karena itu, bahwa kekuasaan itu tidak akan dijabat selama-lamanya, kekuasaan akan di pergilirkan secara periodik berdasarkan mekanisme setiap wilayah daerah.