KULIAHALISLAM.COM – Kuntowijoyo dalam Identitas Politik Umat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018) menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terletak di tengah (ummatan wasathan). Ia mengutip firman Allah, “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” (QS Al-Baqarah ayat 143).
Bentuk pertengahan (wasathan) digambarkan bahwa Islam itu mendayung di antara dua karang. Kalau ada pertanyaan, Islam itu dibangun atas apa: pengertian atau perbuatan ?
Ilmu atau amal: jawabannya ialah Islam menggantungkan diri pada kedua-duanya, yang konseptual dan yang riil. Ilmu (iman) harus benar dalam arti terbebas dari syirik dan amal harus ikhlas dalam arti terbebas dari ria.
Dari kacamata ideologi negara, Kuntowijoyo melihat bahwa konsep wasathiyah sangat tepat dan relevan jika diterapkan dalam tataran negara Indonesia. Menurutnya Islam memang tidak berdasarkan kemerdekaan mutlak individu atau kekuasaan mutlak negara.
Ada hak asasi dan kemerdekaan individu tetapi ada pula hak kolektivitas. Itu semua diatur dalam syariah yang seperti rambu-rambu lalu lintas, bertindak sebagai struktur yang menggiring kepada suatu sistem tersendiri yang koheren.
Konsep ummatan wasathan juga nampak dalam kebudayaan Islam. Islam mengambil yang terbaik dari dunia dan yang terbaik pula berupa akhirat. Sebagaimana doa yang biasa di panjatkan kaum muslimin sehari-hari: robbana atina fiddunya Hasanah wafil akhiroti Hasanah, menegaskan bahwa umat Islam diharuskan untuk mencari kebaikan dunia dan akhirat.
Ternyata tidak semua agama dan kepercayaan baik di barat maupun di timur melihat dunia dengan kacamata tertutup dan kesempurnaan hanya dapat dicapai dengan memalingkan diri dari dunia.
Kuntowijoyo bahkan mengutip firman Allah, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran ayat 10).
Jadi Subjek dalam ayat ini adalah umat (Muslim) dan objeknya adalah manusia, (hablum minannas) dan diakhir ayat dikatakan “Beriman kepada Allah” yang berarti transendental (habluminallah). Maka dapat kita pahami, bahwa sikap yang tepat bagi seorang muslim adalah seimbang dalam memposisikan keduanya.
Bahkan dalam berhubungan dengan sesama manusia pun harus dengan sikap Wasathiyah. Perilaku “menyuruh yang makruf” harus beriring dengan “mencegah dari yang mungkar”.
Dalam konteks masa kini “menyuruh kepada yang ma’ruf” dapat berarti, pendidikan moral, percepatan literasi, humanisasi dalam budaya, mobilitas dalam kehidupan sosial, membangun dalam ekonomi, dan akulturasi dalam politik.
Semua itu harus dibarengi dengan mencegah dari yang mungkar, berarti berusaha dengan sungguh-sungguh memberantas kejahatan. Mencegah dari yang mungkar itu, misalnya, larangan penjualan narkoba, pemberantasan korupsi dan kolusi. Dan dapat berarti pula liberasi dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
Oleh : Naufal Abdul Afif