Ketika Quraish Shihab memaknai hijab. Tulisan singkat kali ini mengulas sepenggal tentang pertautan antara tafsir syari’ah dan adat, yang memfokuskan titk berat terhadap fenomena model pakaian wanita di Indonesia.
Era modernitas tidak menyulutkan beberapa sarjana muslim untuk membahas isu-isu Keislaman. Salah satu yang paling diteliti terkait masyarakat muslim tentang hijab perempuan.
Pandangan barat terhadap wanitia muslimah yang mengenakan hijab dianggap mereka terbelakang. Oleh karena itu, kontroversi hijab ini menjadi perhatian di Indonesia, khususnya dilakukan oleh M. Quraish Shihab yang memiliki penafsiran tentang hijab.
Quraish Shihab lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Sosio-intelek Quraish Shihab kental dengan aroma Keislaman dan keluarganya sangat menjunjung tinggi pendidikan.
Orang tua beliau adalah seorang cendekia yang bukan hanya mengajarkan tentang khazanah Keislaman, namun juga keilmuan lainnya seperti politik dan ekonomi/perdagangan.
Jenjang pendidikan Quraish Shihab di mulai dengan mengenyam sekolah dasar, kemudian merantau ke kota Malang, Jawa Timur. Di sana beliau menempuh pendidikan pesantren bernama Dar al-Hadits al-Faqhiyyah dibawah pimpinan ulama Tarim yakni al-Habib ‘Abd al-Qadir bin Ahmad Bilfaqih (w. 1962).
Pimpinan tersebut merupakan orang yang memberikan energi kuat terhadap Quraish Shihab. Selanjutnya Quraish Shihab menyelesaikan studi S1 sampai Doktor di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir. Quraish Shihab menyatakan bahwa hanya Tuhan yang mengetahui makna tepat/pasti dari teks Alqur’an.
Oleh karena itu, terdapat dua makna, yaitu makna hakiki bagi Allah dan makna relative bagi pembaca atau penafsir yang tergantung kepada kultur dan latar belakang intelektual mufassir.
Menurut Quraish Shihab penafsiran tepat dari Alqur’an berdasarkan kepada pengetahuan konteks historis atau dikenal dengan asbabun nuzul.
Beliau memiliki pandangan berbeda dengan al-Suyuthi bahwa wahyu Alqur’an berafiliasi dengan realitas masa Nabi dan sesuai kebutuhan komunitas muslim.
Wanita Muslim Jawa yang salehah memang mengenakan jilbab yang longgar, biasanya terbuat dari kain lembut transparan (kerudung atau kudung) yang meninggalkan bagian leher dan rambut terlihat.
Mengenakan jilbab yang menutupi kepala wanita kecuali wajahnya baru menjadi praktik yang umum di Indonesia pada akhir abad ke-20, menyusul kebangkitan kesadaran Islam dan gerakan Islam di dunia Muslim.
Mengenai pakaian wanita muslim Quraish Shihab menyoroti adat sebagai elemen konstitutif untuk memahami aturan agama.
Quraish Shihab berpendapat bahwa wacana tentang pakaian wanita Islami di zaman modern didorong oleh beberapa faktor: kesadaran beragama Muslim yang tumbuh, mode kontemporer, dan ekspresi politik.
Dia membahas konteks sosial dan budaya di mana Alqur’an diturunkan. Titik berangkatnya adalah bahwa pakaian adalah produk budaya, dan gayanya berkembang dan berubah seiring waktu.
Quraish Shihab berpendapat bahwa jilbab populer di kalangan wanita di zaman Nabi, tetapi praktik berjilbab telah muncul jauh sebelum datangnya Islam, dan umum di antara orang Sassan, Byzantium, dan India.
Dari tulisan singkat di atas sejatinya tidak mengindikasikan bahwa Quraish Shihab dengan argumentasinya mengenai pemakaian hijab/jilbab dianggap salah.
Apabila kita perhatikan lebih mendalam terkait wacana ini, kita dapat juga memahami bahwa hijab tertinggi bukanlah sekedar pakaian yang dikenakan perempuan untuk menutup paras wajahnya.
Namun, lebih dari itu adalah penutupan hijab/jilbab yang berorientasi pada perilaku perempuan. Dapat dikatakan secara tidak sopan bahwa;
Orang yang berhijab tapi mengubar auratnya berupa perilaku jeleknya, maka tidak bermakna apa-apa dibandingkan dengan orang yang selalu menjaga atau memperindah akhlaknya walau tanpa helaian hijab sekalipun.
Walaupun lebih baik dan paling bagusnya ketika perempuan mengenakan hijab, tapi tak luput juga penutup hijab berupa akhlak yang karimah.