Artikel

Kata Kita: Catatan Tentang Fikih

1 Mins read

Eksistensi fikih sebagai produk budaya harusnya dimaknai secara profan bukan secara sakral. Sehingga profanitasnya memberikan peluang kepada generasi berikutnya untuk melakukan rekonfigurasi bahkan redefinisi sesuai dengan kondisi kekinian dan kemoderenan. Pada aras yang sama, persoalan yang terjadi dalam masyarakat terus berkembang dinamis dan aktual, sementara fikih hanya bersifat statis.

Dalam sejarah tasyri’ pernah terjadi keangkuhan fikih sebagai produk hukum yang tidak bisa diotak-atik. Bahkan, fikih dianggap sebagai produk final yang shalih likulli zaman wal makan. Padahal fikih hanya merupakan produk para yuris klasik yang sangat bersifat temporal dan lokalistik wilayah Arab.

Ironisnya lagi, dalam catatan sejarah tasyri’, fikih juga sering dijadikan sebagai alat legitimasi sebuah kekuasaan politik. Bahkan pemaksaan terhadap pemberlakuan mono mazhab juga pernah terjadi dalam era dinasti Umayyah dan Abbasiyah (An-Nasu ala dini mulukihim).

Secara metodologis, keotoriteran fikih akan semakin pongah ketika produk fikih-nya lahir dari konfigurasi epistemologi bayani yang tekstual. Pada aras yang lain, keotoriteran fikih juga akan semakin terdekonstruksi kepongahannya ketika epistemologi yang digunakan adalah epistemologi burhani yang belakangan menjadi corak dan karakter epistemologi kontemporer.

Syahdan, pola pikir yang dibangun dengan hubungan spiral-sirkular akan menciptakan suasana intelektualismule yang kondusif dalam pemikiran hukum Islam. Sebagai produk interpretasi manusia, hukum Islam bukanlah hukum Tuhan itu sendiri, namun hukum yang terbentuk dari proses ijtihad yang dilakukan oleh orang muslim.

Tentu sangat tidak bijaksana jika ada kalangan yang menyatakan bahwa hanya produk penafsirannyalah yang paling benar. Dengan demikian, pola pikir yang dibangun atas dasar inklusifisme, seperti hubungan spiral-sirkural, harus giat dipromosikan sehingga tidak ada lagi pemahaman yang dibangun dari dogmatisme dan fanatisme pengetahuan.

Baca...  Benarkah Nabi Muhammad SAW Wafat Diracun Zainab Binti Al Harits ?

Corak inklusifisme dalam hukum Islam menjadi berwarna ketika ia mengkristal dalam metodologi pemikiran hukum Islam yang memadukan antara epistemologi tekstual dan kontekstual, epistemologi legal-formal dan subtansial dalam satu kesatuan yang utuh dan terpadu. Epistemologi tersebut kemudian dikenal dengan nalar bayani, burhani, dan nalar irfani. Wallahu a’lam bisshawaab.

2553 posts

About author
Kuliah Al Islam - Mencerdaskan dan Mencerahkan
Articles
Related posts
Artikel

Inovasi Produk Bernyit: Dorong Ekonomi Hijau dan Kemandirian Masyarakat Desa Jeruk Sok-Sok Bondowoso

6 Mins read
Inovasi Produk Bernyit: Dorong Ekonomi Hijau dan Kemandirian Masyarakat Desa Jeruk Sok-Sok Bondowoso Ketua Tim Pengusul: Hosaini, S.Pd.I., M.Pd. Prodi Kependidikan Islam…
Artikel

Pilihan Nama Bayi Perempuan Islami yang Bermakna dan Mudah Diingat

3 Mins read
Memilih nama bayi perempuan islami merupakan momen penting bagi para orang tua yang ingin memberikan identitas terbaik untuk buah hati mereka. Nama…
ArtikelBerita

Upacara Sumpah Pemuda : Kader PDNA Lamongan, Bacakan Naskah Sumpah Pemuda

1 Mins read
KULIAHALISLAM – Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Lamongan (PDNA) ikut menghadiri Upacara Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97 Tahun 2025. Upacara yang dipimpin langsung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights