Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) , agama adalah pengatur (sistem) yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan keyakinan serta pengabdian kepada Sang Pencipta Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya.
Agama sendiri adalah pedoman hidup bagi manusia yang meyakininya dan setiap agama mempunyai tatanan tersendiri terkait dengan agama yang dipeluknya, tak terkecuali dalam agama Islam. Agama Islam sendiri mempunyai tatanan yang independen dan bersanad (harus memiliki guru ) untuk mendapatkan pengajaran terkait dengan agama Islam itu sendiri.
Dalam agama Islam zaman dahulu, seorang guru atau dikenal dengan sebutan ustaz, merupakan gelar kehormatan kepada seseorang yang memiliki kemampuan yang mumpuni terkait dengan cabang-cabang ilmu dalam agama Islam yang dikuasai dan dipahami dengan matang.
Gelar ini tidak didapatkan semata-mata melainkan sudah diuji dan mendapatkan sertifikasi dari gurunya yang bersanad hingga ke nabi Muhammad ﷺ , barulah seseorang tersebut mempunyai kelayakan untuk dipanggil ustaz.
Namun pengertian ustaz itu sendiri di masa kini mengalami pemerosotan yang sangat jauh, sebutan ustaz seolah-olah menjadi bahan obral di masyarakat. kita bisa lihat di sosial media, baru-baru ini ada seorang yang katanya ustaz mengaku bisa berbahasa Suryani, padahal menurut mayoritas ulama agama Islam sendiri mengatakan bahwasanya itu adalah Bahasa Arab yang kacau tatanan qoidah dan lafaznya, atau didekat rumah kita sendiri mungkin kita menemukan sebagian orang yang mungkin tidak jelas asal-usulnya, kita tidak tahu dia belajar kepada siapa . Namun tiba-tiba mengklaim bahwasanya dia adalah seorang ustaz dan hal ini sangat fatal.
Kenapa sangat fatal ? Penulis mempunyai pendapat yang didasarkan pada artikel NU online, dikatakan Gus Boby, sanad dalam belajar agama itu penting. Tanpa silsilah dan rujukan keilmuan yang jelas, siapa pun bisa mengajarkan sesuka hati.
Menurut mantan ketua Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Jawa Tengah ini, banyak orang merasa sudah cukup ilmu agamanya hanya bermodal belajar dari internet.
“Kalau dulu orang belajar agama dari kiai, dibela-bela mondok selama bertahun-tahun di pondok pesantren, sekarang orang belajar dari internet. Sementara di internet siapa pun bisa omong. Tak perlu repot-repot mondok, bikin video ceramah agama, dijulukilah ustaz. Ustaz YouTube dan santri mbah Google lagi jadi fenomena baru. Islam di sosial media isinya marah-marah dan menerbar permusuhan,” terang Gus Boby. Sumber: https://nu.or.id/daerah/belajar-agama-tanpa-guru-bisa-konslet-no3Eu
Kefatalan ini apabila diteruskan akan berimbas buruk kepada umat islam yang masih awam, tidak mendapatkan keilmuan yang benar dan orisinil dari oknum ustaz palsu yang tidak memiliki tanggung jawab terkait kapasitas keilmuan yang dimilikinya dan hasil akhir dari perbuatan ini adalah pembodohan massal umat Islam.
Ibaratkan saja kita menyerahkan pembangunan rumah kepada seorang arsitek yang tidak mempunyai kemampuan dan pengalaman yang jelas. Apa yang terjadi ? Sangat jelas rumah itu tidak akan berhasil dengan baik, lama-lama akan hancur karena rancangan yang tidak matang.
Dan ini menjadi polemik yang menjamur di masyarakat, banyaknya keresahan yang timbul terhadap oknum-oknum ustaz palsu ini, mereka yang awam dan tidak paham menerima secara spontan apa yang diucapkan dan diperintahkan oleh mereka sehingga tak jarang perilaku tersebut merugikan umat Islam itu sendiri, seperti beberapa contoh hendaknya kita berhati-hati dengan oknum ustaz atau khatib yang tidak berilmu di Youtube.
Sebagian kaum muslimin mengira mereka adalah ustaz yang berilmu, padahal tidak demikian halnya. Mereka bukan ustaz yang memahami agama yang baik, seperti memahami akidah, tauhid, ilmu-ilmu ushul, bahasa Arab dan sebagainya, atau tidak jelas dari mana mereka menuntut ilmu dan guru-gurunya. Oknum ini mudah menjadi terkenal di zaman ini dengan cara:
- Sering muncul di YouTube.
- Membahas perkara-perkara yang menghebohkan dan menimbulkan kontroversi.
- Berpenampilan dengan penampilan seolah-olah orang berilmu, misalnya gamis dan jubah.
Karena terlanjur dianggap berilmu oleh masyarakat, akhirnya oknum ini sering berfatwa tanpa ilmu. Inilah yang dimaksud dengan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kelak nanti akan banyak “khatib/ustaz” akan tetapi tidak berilmu (maaf, sebagian menyebutnya tukang khutbah) dan kaum muslimin menyangka dia adalah orang yang berilmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila tidak tersisa lagi seorang ulama, maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka memberi fatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” [HR. Bukhari]
Sebagaimana telah disabdakan nabi Muhammad ﷺ tentang perkara ini, penulis mengajak langsung kepada seluruh umat Islam dibelahan dunia manapun, khususnya negeri Indonesia tercinta ini, tidak lain bukan untuk menyalahkan atau memvonis siapapun, tulisan ini juga sebenarnya tidak bermaksud untuk memvonis salah satu pihak namun sebagai kehati-hatian kita sebagai umat Islam dalam memilih panutan untuk membimbing kita menjadi lebih baik dalam mempelajari agama Islam ini sehingga tidak terjadinya singkronisasi pemahaman yang akan diamalkan oleh umat islam itu sendiri.
Penulis sebagai seorang santri ingin mengajak kepada seluruh santri yang nantinya dimasa depan akan meneruskan estafet Keislaman dengan sanad yang sahih sampai kepada nabi Muhammad ﷺ untuk belajar dan memahami dengan sungguh-sungguh, tidak usah terburu-buru untuk tampil di hadapan masyarakat jika merasa ilmu yang kita miliki belum mumpuni dan kita sendiri belum mempunyai persiapan yang matang untuk polemik dan permasalahan yang ada di masyarakat nanti.
Oleh karena itu kita sebagai umat Islam harus cerdas memilih dan memilah seorang yang akan kita jadikan acuan dan rujukan. Caranya bagaimana ? Kita lihat latar belakangnya, kepada siapa orang ini dulu belajar, jikalau perlu apa dulu nama tempat atau pondok pesantren tempat dia belajar ,supaya ilmu yang nantinya kita terima dan dapatkan menjadi terverifikasi dengan jelas.