Sumber gambar : annas Indonesia |
KULIAHALISLAM.COM – Dewasa ini muncul narasi yang menyatakan “Jadi muslim yang baik tidak harus kearab-araban, dalam artian tidak perlu menjadi seperti orang Arab atau mengikuti budaya Arab” atau narasi yang menyebutkan bahwa “Kalau mau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya nusantara yang kaya raya ini.”
Narasi-narasi seperti hal tersebut di atas yang sangat disayangkan adalah keluar dari sejumlah tokoh Intelektual muslim. Islam yang kearab-araban sering dianggap sebagai penyebab kemunduran negeri-negeri mayoritas muslim saat ini, intoleransi, primitif atau bahkan menjadi sumber radikalisme.
Bagaimana sesungguhnya Islam yang kearab-araban itu ? Apakah Islam yang kearab-araban itu adalah muslim yang menggunakan jilbab, cadar, celana cingkrang, berjanggut, berpakaian seperti orang Arab, berbicara berbahasa Arab dan rajin beribadah ? jika dikatakan “iya” maka perbanyaklah mengucap istighfar mungkin Tuhan telah hilang dari hati mu.
Mozarabs Pernah di Gemari
Jika kita lihat secara historis, Islam yang kearab-araban menjadi suatu fenomena yang digemari di Timur dan Barat. Pada saat itu para pejuang risalah Islam, salah satunya Thariq bin Ziyad semoga Allah senantiasa meridainya, berhasil menancapkan bendera Tauhid di tanah Eropa sehingga berdiri Daulah Islam Andalusia di kota Cordova, Spanyol, dan Granada.
Akibat kedatangan muslim di Eropa, Eropa yang berabad-abad mengalami fase kegelapan yang hebat menjadi bangsa yang beradab. Bangsa Eropa yang selama ini hanya tahu sihir menyihir, perang antara suku (lihat Karen Armstrong, Sejarah Tuhan), ketika datang Islam, mereka belajar tentang berbagai ilmu pengetahuan dari Ulama Islam seperti Ibnu Rusyd, Imam Al Qurthubi, dan lainnya.
Ketika itu, orang Barat bangga jika memakai identitas Islam yang kearab-araban karena majunya peradaban Islam yang datang dari Arab. Gejala ini dikenal dalam sejarah dengan istilah Mozarabs atau Arabisers.
Pada saat terjadinya Mozarabs atau Arabisers, orang Kristen gemar membaca puisi dan roman-roman Arab, mereka mempelajari teologi dan filsafat Arab, bukan untuk menyangkal atau membuktikan kesalahannya melainkan untuk membangun budaya Arab yang anggun dan correct (benar), kemana orang-orang yang membaca komentar-komentar latin tentang Kitab Injil atau yang mempelajari Gospel serta Rasul-Rasul.
Karen Armstrong, Ph.D yang merupakan komentator agama terbaik di dunia dalam karyanya Muhammad, A Biography of the Prophet menyebutkan kaum Kristen, Yahudi dan Mozarabic bekerjasama dalam sebuah penerjemahan yang besar, membawa pelajaran tentang dunia Islam ke Barat dan merestorasi kebijaksanaan klasik dan kuno yang telah hilang pada abad kegelapan kembali ke Eropa.
Artinya disini adalah Islam kearab-araban (Mozarabic) pernah menjadi fenomena yang dicintai orang yang di luar Islam karena tinta emas sejarah membuktikan Islam kearab-araban berhutang budi atas kemajuaan bangsa Barat pada saat ini.
Otoritarianisme di Negeri Mayoritas Islam
Celaka sekali jika Islam kearab-araban dianggap penyebab kemunduran peradaban Islam padahal bisa jadi penyebabnya adalah otoritarianisme para penguasa dan ketidak netralan para Ulama atau Intelektual muslim terhadap kekuasaanlah yang menjadi runtuhnya kejayaan peradaban Islam, hal ini berdasarkan Tesis Ahmet T. Kuru (Guru besar Politik di Universitas San Diego State) berjudul Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan.
Prof Ahmet T. Kuru, Ph.D merupakan ilmuwan politik di Universitas San Diego State. Ia menulis Tesis (Desertasi) berjudul Islam Authoritarianisme and Underdevelopment di Universitas Washington.
Tesis Ahmet T. Kuru telah dijual bebas di Indonesia. Tesisnya sangat terkenal karena ia menyatakan bahwa penyebab mundurnya masyarakat Islam karena adanya Pemimpin Otoriter yang merusak demokrasi di hampir terjadi di semua negara mayoritas muslim.
Hal ini diperburuk ketika matinya Intelektualitas muslim disebabkan para Ulama dan intelektual muslim yang seharusnya independen tetapi saat ini mereka berada di birokrasi pemerintahan. Imam Al Ghazali mengingatkan dalam Ihya Ulumuddin agar para Ulama dan intelektual muslim menjauhi penguasa yang buruk dan korupsi.
Sayangnya umat muslim hanya menyalahkan Kolonislisme Barat dan ajaran Islam, kritikan Imam Al Ghazali terhadap Filsafat, tanpa menyadari ternyata penyebab mundurnya Umat Muslim adalah karena Otoritarianisme dan matinya kenetralan para Ulama/Intelektual dan masyarakat muslim banyak yang anti Intelektual.
Sikap yang hanya menyalahkan Islam kearab-araban merupakan kebijakan Mustafa Kemal Atatürk yang berupaya menghapus identitas Arab dari dunia Islam khususnya Turki sehingga cita-cita bangkitnya masyarakat muslim sesuai nafs Islam sulit terealisasikan.
Adian Husaini, Ph.D (Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia) dalam tulisannya Islam Liberal menyatakan bahwa “Tahun 1933 keluar keputusan pemerintah Turki yang menyatakan azan dalam bahasa Arab merupakan pelanggaran”.
Gerakkan Sekuler
Pelajaran bahasa Arab dan Persia dihapuskan, berpakaian kearab-araban dan tarbus dilarang. Tujuannya adalah agar pemikiran sekuler dapat berjalan tanpa ada halangan sehingga kekuasaan yang otoritarianisme, anti demokrasi, perbudakan modern berjalan.
Jadi, Islam dan Arab tidak dapat didokotomi karena risalah Islam yang dibawakan Nabi Muhammad Salam Sallallahu Alaihi Wassallam, atas petunjuk wahyu Ilahi diturunkan di negeri Arab dan pada saat itu orang Arablah yang pertama berhasil menerima tanggung jawab risalah Islam itu.
Kemudian Alquran juga berbahasa Arab, bahkan para Nabi dan Rasul semua berbangsa Arab bahkan Nabi Adam dan Sayyidah Hawa disatukan di jazirah Arab dan memiliki putera puteri juga berbangsa Arab.
Berarti kita semua pun awalnya bangsa Arab hanya saja kata Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, perbedaan jasmani, bahasa karena faktor alam atau lingkungan.
Orang yang anti kearab-araban berarti anti dengan peradaban sebab dengan Islam kearab-araban, dunia yang gelap menjadi terang dan ia juga anti kemanusiaan sebab Allah menciptakan manusia dari Nabi dan Rasul yang berbangsa Arab.
Kalau mau berbudaya lokal selama sesuai syariat Islam maka silahkan, yang mau budaya Arab pun jangan dibenci, karena perbedaan budaya itu adalah rahmat Tuhan bagi manusia.
Jangan sampai isu bahaya Islam kearab-araban ini hanya dijadikan alat-alat politik semata untuk mempertahankan kekuasaannya seperti yang dilakukan Mustafa Kemal atau karena ada penyakit di dalam hatinya.
Demikian tulisan ini, tulisan ini tidak bermaksud menyindir pihak manapun namun tuisan ini hanya sebagai saling mengingatkan. Jika ada pertanyaan, saran dan kritikan silahkan tuliskan pada kolom komentar.