Sumber gambar : dokumen penulis |
اخرج من اوصاف بشريتك عن كل وصف مناقض لعبوديتك لتكون لنداء الحق مجيبا ومن حضرته قريبا
Keluarkanlah sifat-sifat kemanusiaan yang bertentangan dengan kehambaanmu agar kau mudah menyambut panggilan Allah dan dekat dengan-Nya. Syekh Ibnu Atha’illah.
KULIAHALISLAM.COM – Sahabatku, menurut Syekh Abdullah Asy-Syarqawi maksud dari hikmah ini adalah bahwa kita harus keluarkan sifat-sifat kemanusiaan yang tercela dari dalam hati kita dengan riyadhah dan mujahadah. Seperti sifat:
Riya (suka pamer dan ingin pujian orang), takabur (merasa diri paling baik, suci dan sombong), ujub (suka membanggakan diri dan kelompoknya), hasad (iri hati dan dengki), bakhil (kikir dan pelit), hubbud dunya (terpedaya harta, tahta, jabatan, cinta keluarga berlebihan hingga lupa Rabb-nya), hubbud jaah (gila kemewahan dunia melupakan Rabb-nya), thama’ (ingin menguasai semua dan rakus), ghadlab (pemarah atau tempramental), su’udzon (buruk sangka), dendam, putus asa (frustasi), was-was, lalai dll.
Jauhkan dirimu dari sifat-sifat yang bertentangan dengan predikatmu sendiri sebagai hamba agar engkau mudah menjawab seruan Al-Haq. Ketika engkau berhasil mengeluarkan sifat-sifat burukmu, lalu menyisakan sifat-sifat baik, tawadhu, khusyuk dihadapan-Nya, mengagungkan-Nya, menjaga hukum-hukum-Nya, takut kepada-Nya, ikhlas dalam menyembah-Nya, maka di saat datang seruan padamu “Wahai hambaku,” maka engkau pun akan menjawab “Aku datang kepada-Mu, Tuhan.”
Engkau pun akan tulus dan ikhlas menjawab seruan sifat-sifat yang bertentangan itu telah hilang. Kau pun akan dekat dengan-Nya sehingga Dia akan menjagamu dari dosa (mahfuzh) dan memudahkan segala amalmu yang kelak akan kau nikmati hasilnya.
Ada perbedaan makna antara Mahfuzh (terjaga) dari dosa dengan lafal Ma’shum (terlindungi dari dosa). Mahfuzh itu diberikan Allah kepada para wali, sedangkan Ma’shum hanya diberikan kepada Rasul-Nya.
Bedanya adalah Ma’shum sama sekali tidak pernah menyentuh dosa, sedangkan Mahfuzh terkadang melakukan kesalahan dan kekeliruan, tapi tidak selamanya demikian. Saat keliru, seseorang yang telah Mahfuzh akan langsung bertobat.
Ketahuilah bahwa di mata ahli tarekat, menjauhi sifat buruk dan memiliki sifat mulia merupakan hakikat dan tujuan dari suluk. Hal itu tidak akan bisa diraih kecuali orang itu diberi taufik dan bimbingan Allah untuk mengenali dirinya sendiri dan mengetahui sifat sifat buruknya. Sebab, siapa yang mudah mengenali dirinya dan sifat buruknya, ia akan waspada dan berusaha menghindari sifat sifat itu.
Sifat ghilin atau penyakit hati ini terkait erat hubunganya dengan sifat pendusta atau munafik sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah:10 dan Al-A’raf:179).
Orang-orang pendusta atau munafik sejatinya menderita penyakit dalam jiwanya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah yang berbunyi: “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu dan mereka mendapat adzab yang pedih karena mereka berdusta” (QS. Al-Baqarah:10).
Dalam tafsir dijelaskan dalam ayat itu tentang keburukan dusta atau sikap berpura-pura (munafik) dan akibatnya adalah termasuk penyakit jiwa.
Para pendusta dan orang-orang munafik ini mereka mempunyai hati, mata dan telinga akan tetapi tidak digunakan memahami, melihat dan mendengar tanda-tanda akan ayat-ayat Allah.
Sebagaimana firman Allah dalam (QS. Al-A’raf:179) sbb: “Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (seruan ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai...”
Akal pikiran mereka bertambah lemah untuk menanggapi kebenaran agama dan memahaminya, bahkan panca indra mereka tidak mampu menangkap obyek dengan benar. Cahaya terang menjadi gelap dimata mereka dan malah menjadikan penyakit dihati mereka.
“Yaa Muqallibal Qulub Tsabbit Qalbi ‘Ala Dinnik…”
Penulis : Abu Nawas Posmo
Editor : Adis