Salah satu ayat yang menarik perhatian para ulama’, khususnya pada mazhab Mu’tazilah dan Sunni ketika memahami konsep ketuhanan, yakni pada QS. Thaha [20] ayat 5. Sebelum masuk kedalam pokok pembahasan, alangkah baiknya terlebih dahulu untuk sedikit mengenal tokoh mufassir serta mengetahui latar belakang kepenulisan dari kedua kitab tafsir tersebut.
Pertama, tafsir al-Kasyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil yang ditulis oleh Abu al-Qasim Mahmud bin Umar al-Khowarizmy al-Zamakhsyari. Ia dikenal sebagai ulama Mu’tazilah ahli tafsir, bahasa, dan sastrawan besar, yang lahir pada 27 Rajab 467 H di Zamakhsyar dan wafat pada tahun 538 H di daerah Jurjaniah, Khuwarizm. Tafsir al-Kasyaf tersebut merupakan karya terbesarnya yang ditulis selama 30 bulan, ketika ia tinggal di Makkah.
Alasan al-Zamakhsyari menulis tafsir al-kasyaf ini adalah karena permintaan dari al-Fi’ah al-Najiyah al-Adliyah, yang dimaksud adalah kelompok Mu’tazilah, sebagaimana yang telah ditulis pada bagian mukadimah; “mereka menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan mereka meminta saya supaya mengungkapkan hakikat makna Al-Qur‘an dan semua kisah yang ada didalamnya, termasuk dari segi penakwilannya.”
Kedua, tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin li ma Tadhommanahu min al-Sunnah wa ayi al-Furqan, tetapi biasa dikenal dengan nama tafsir al-Qurthubi, merupakan salah satu kitab tafsir induk yang ada dalam khazanah tafsir, yang ditulis oleh Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Anshori al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi. Dikenal sebagai ulama Sunni yang saleh, wara, bertakwa kepada Allah, berpengetahuan dan zuhud.
Berbeda dengan al-Zamakhsyari, imam al-Qurthubi menulis tafsir ini semata-mata didasari atas dorongan dari hatinya, bukan permintaan dari seorang tokoh ataupun lewat mimpi, sebagaimana yang ditulis dalam mukadimah tafsir.
Selanjutnya, masuk kepada pembahasan mengenai bagaimana kedua mufassir tersebut memaknai kata istawā yang ada didalam QS. Thaha [20]: 5:
ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ
Artinya: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.
Al-Zamakhsyari, dalam tafsir al-Kasyaf menjelaskan secara jelas bahwa makna kata istawā secara bahasa adalah tempat tidur untuk seorang raja atau yang terkait dengannya. Tetapi penggunaan pada ayat ini menurutnya hanya sebagai kinayah (perumpamaan).
Seperti halnya ketika seseorang berkata “fulan berada diatas singgasana”, ini bukan berarti fulan benar-benar duduk di singgasana, tetapi penggunaan istilah tersebut bertujuan untuk menunjukkan kebesaran dan kepemimpinan.
Dengan kata lain, istawā disini lebih kepada gambaran simbol kekuasaan Allah, yang tidak harus dimaknai secara harfiah.
Dapat dilihat didalam pernyataannya:
الاستواء على العرش وهو سرير الملك مما يردف الملك ، جعلوه كناية عن الملك فقالوا : استوى فلان على العرش يريدون ملك وإن لم يقعد على السرير البتة ، وقالوه أيضاً لشهرته في ذلك المعنى ومساواته ملك في مؤدّاه
Artinya: Istiwa ‘ala al-‘Arsy merupakan singgasana raja dan apa yang terkait dengannya, dijadikannya setara dengan raja. Sebagaimana ketika orang-orang berkata: si fulan duduk di atas singgasana, maksudnya mereka menginginkannya raja (menjadi raja), dan sebenarnya si fulan sama sekali tidak duduk di atas singgasana itu, makna lain kata tersebut ialah kepopuleran dan persamaan dengan raja dalam memimpin.
Jadi, penafsiran al-Zamakhsyari terkait kata istawā adalah sebagai kinayah, yang mana kata tersebut digunakan oleh Allah sebagai bentuk penggambaran kebesaran-Nya serta kekuasaan-Nya yang mutlak.
Bahkan penggunaan kinayah juga sebagai penggambaran kepada makhluk-Nya tentang kepemimpinan Allah yang tidak perlu diragukan lagi. Kemudian berlanjut kepada penafsiran imam al-Qurthubi yang beraliran sunni.
Dalam menafsirkan kata istawā ini, al-Qurthubi mengutip pendapat Abu Hasan al-Asy’ari, bahwa Allah bersemayam didalam Arsy tetapi berbeda pengertian seperti halnya bersemayam yang dilakukan oleh manusia. Oleh al-Qurthubi, ayat ini dimaknai secara dhahir tetapi bentuknya diyakini tidak sama seperti yang manusia lakukan, dan hal tersebut hanya Allah yang dapat mengetahui.
Al-Qurthubi juga mengutip dari perkataan imam Malik: bersemayamnya Allah itu adalah hal yang diketahui, akan tetapi bagaimana cara Allah bersemayam itu yang tidak kita ketahui. Sedangkan mempertanyakan bagaimana cara Allah bersemayam itu menurutnya termasuk bid’ah. Ummu Salamah juga berkata demikian.
Pandangan al-Qurthubi mengenai kata istawā pada ayat ini berbeda dengan al-Zamakhsyari. Al-Qurthubi, dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, mengungkapkan bahwa Allah memang disebut istawā (bersemayam) diatas Arsy, tetapi cara bersemayam-Nya tidak seperti manusia, duduk, berdiri atau posisi fisik lain seperti yang dilakukan manusia.
Cukup dengan menerima kata “bersemayam” sesuai bunyi ayat, tetapi tidak sampai membayangkan bagaimana bentuk dan posisinya. Hakikat (kenyataan) hanya Allah yang tahu.
Pendekatan ini menghindari anggapan bahwa Allah serupa dengan makhluk, tetapi tetap berpegang pada teks al-Qur’an. Al-Qurthubi dalam penafsirannya memahami secara tekstual, tetapi menekankan bahwa sifat istawā yang disandarkan kepada Allah ini tidak sama dengan makhluk-Nya.
Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an ini bertujuan menjaga prinsip keyakinan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang luhur tanpa menyerupai makhluk. Pendekatan ini juga menunjukkan bentuk kehati-hatian untuk tidak menggambarkan atau menafsirkan secara rinci sifat-sifat Allah.
Pada intinya, kedua mufassir tersebut sepakat bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk yang diciptakan, akan tetapi metode yang dipakai berbeda. Al-Zamakhsyari menekankan kepada pendekatan yang bersifat kiasan untuk menegaskan kekuasaan Allah.
Sedangkan al-Qurthubi, lebih cenderung kepada penerimaan makna secara tekstual dengan memakai sikap tawaqquf (menyerahkan hakikatnya kepada Allah). Hal ini mencerminkan perbedaan metodologi dalam penafsiran.