Keislaman

Ilusi Waktu: Tafsir Jiwa Antara Jarak Hari Ini dan Hari Kemarin

3 Mins read

Apakah yang disebut “kemarin”?
Mengapa ia begitu kuat dalam ingatan, begitu dekat dalam rasa, dan begitu dalam mencengkeram kesadaran kita?

Kita sering berkata, “Rasanya baru kemarin.”
Padahal yang kita maksud telah berlalu satu tahun, lima tahun, sepuluh tahun, bahkan lima puluh tahun yang lalu. Anak-anak yang dulu kita timang kini telah beranjak dewasa. Gelak tawa masa kecil, kebahagiaan remaja, pernikahan pertama, kepergian orang tua semuanya masih terasa baru, masih begitu hidup, seolah baru saja terjadi kemarin.

Mengapa ia begitu kuat dalam ingatan, begitu dekat dalam rasa, dan begitu dalam mencengkeram kesadaran kita?

“Kemarin” secara bahasa hanyalah penunjuk waktu hari sebelum hari ini. Namun dalam dimensi jiwa, kemarin bukan sekadar waktu yang telah lewat, ia adalah ruang batin yang penuh muatan makna: kebahagiaan, kehilangan, penyesalan, harapan yang pernah tumbuh, dan kenangan yang menetap.

Kemarin hidup dalam ingatan, karena manusia bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga makhluk historis dan spiritual. Ia menyimpan dan menafsir peristiwa, bukan hanya mencatatnya. Maka peristiwa yang secara kronologis telah lama berlalu, bisa tetap hadir seolah baru saja terjadi karena emosi dan makna yang ditinggalkannya belum pernah selesai kita hadapi.

“Zaman tidak pernah berubah, hanya hati kita yang menua bersamanya.”
– Ali bin Abi Thalib

Kemarin menyimpan senyum ibu yang mengusap kepala kita, suara ayah yang membangunkan subuh, wajah teman yang sudah tiada, atau kata-kata yang tak sempat kita ucapkan. Hal-hal itu tertanam bukan karena lamanya waktu, tapi karena dalamnya perasaan.

Itulah sebabnya, kemarin tidak sekadar tempat bagi memori, tapi juga cermin bagi identitas. Kita adalah akumulasi dari kemarin-kemarin yang telah kita lewati. Setiap keputusan hari ini adalah hasil dari pelajaran yang disadari atau tidak datang dari “kemarin”.

Baca...  Menyingkap Makna QS. At-Takwir Ayat 29 dalam Perspektif Syiah dan Mu’tazilah

Secara psikologis, fenomena ini dikenal sebagai temporal compression di mana rentang waktu yang panjang terasa singkat saat diingat kembali, terutama ketika pengalaman itu penuh emosi atau makna. Dalam tradisi Islam, ini bersambung dengan konsep ad-dunya mazra’atul akhirah bahwa dunia adalah ladang, dan semua yang ditanam “kemarin” akan dipanen “nanti”.

“Sesungguhnya kalian tidur di malam hari dan bangun di pagi hari, dan kalian hidup dalam perjalanan menuju kematian.”
– Hasan al-Bashri


Kemarin, dalam makna terdalamnya, adalah isyarat: bahwa waktu bukanlah musuh, melainkan penyampai amanah. Ia tidak mencuri kebahagiaan kita, ia hanya mengingatkan bahwa semua kebahagiaan itu sementara. Dan karenanya, sangat berharga.

كَأَنَّ مَا مَضَى لَمْ يَكُنْ، وَمَا بَقِيَ لا يُعْلَمُ، وَالْوَقْتُ بَيْنَ ذَلِكَ غَارِقٌ فِي السَّهْوِ وَالْغَفْلَةِ


“Seakan-akan yang telah berlalu tidak pernah terjadi, dan yang akan datang tak pasti, sementara waktu yang ada tenggelam dalam kelalaian dan lupa.”
– Imam Abu Hamid Al-Ghazali

Seakan-akan yang telah berlalu tidak pernah terjadi, manusia kerap berjalan dalam hidup tanpa membawa pelajaran dari masa lalu, seolah pengalaman, luka, tawa, dan air mata sebelumnya hanyalah bayang-bayang tanpa makna. Padahal setiap detik yang telah dilewati adalah jejak yang semestinya membentuk kesadaran hari ini. Lalu, masa depan dipandang dengan ragu, samar dan tak pasti, sering kali hanya menjadi ruang angan yang tak disiapkan dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, waktu yang ada detik ini, nafas ini justru tenggelam dalam kelalaian dan lupa; dilalaikan oleh rutinitas tanpa makna, dibunuh oleh penundaan, dan diabaikan oleh hati yang tidak hadir. Maka hidup pun berlalu begitu saja, tanpa bekas amal yang dalam, tanpa makna yang utuh.

Baca...  Gus Ulil: Andaikan Ulama Menanamkan Ilmu Hanya Karena Allah SWT

Inilah keajaiban waktu: ia berjalan lambat namun terasa cepat, ia mencatat segalanya namun menyisakan samar, ia tak kembali namun selalu hadir. Dan kita, manusia, makhluk yang terbawa arusnya kadang terlalu lekat pada masa lalu, terlalu khawatir pada masa depan, dan lupa bernapas dalam keheningan kini.

Apakah ini bentuk penyesalan?
Mungkin. Tapi lebih dari itu, ini adalah isyarat kesadaran, bahwa waktu bukan sekadar angka dan kalender. Ia adalah perjalanan jiwa. Rasa “baru kemarin” muncul karena dalam batin kita, jiwa tidak mengenal batas detik dan jam. Ia hidup dalam keabadian rasa. Dan saat kelak kita dibangkitkan dari kematian, bisa jadi seluruh hidup di dunia ini akan kita katakan:

“قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنۢ بَعَثَنَا مِن مَّرْقَدِنَا ۜ هَـٰذَا مَا وَعَدَ ٱلرَّحْمَـٰنُ وَصَدَقَ ٱلْمُرْسَلُونَ”

“Mereka berkata, ‘Celakalah kami! Siapa yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah yang dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih, dan benarlah para rasul itu.'”
(QS. Yasin: 52)

Lalu, sikap apa yang mesti kita ambil?

Bukan sekadar larut dalam nostalgia, bukan pula tenggelam dalam ratapan. Tapi menjadikan “kemarin” sebagai cermin, menjadikan “hari ini” sebagai amanah, dan mempersiapkan “esok” sebagai janji pertemuan dengan Allah.

Wahai waktu, engkau bukan sekadar detak jam
Engkau adalah gema jiwa yang mencatat diam

Anak-anak tumbuh, ibu menua, ayah berpulang
Tapi rasa mereka tinggal, hangat dan tenang

Aku bukan meratap masa lalu
Tapi menyapa makna yang sempat berlalu

Jika semua terasa seperti kemarin
Maka hari ini harus hidup tak main-main.

Semoga tulisan ini menjadi pengingat lembut bagi jiwa-jiwa yang mencari makna. Bukan untuk membuat kita sedih karena masa lalu telah pergi, tetapi untuk membuat kita penuh kesadaran dalam setiap hembusan nafas kini. Karena bisa jadi esok… adalah hari ketika waktu berhenti.

6 posts

About author
Guru Tahfidz SD Islam Al Azhar 46 Grand Depok City, Mahasiswa S1 Fakultas Ushuluddin Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas PTIQ Jakarta.
Articles
Related posts
KeislamanNgaji Ihya’ Ulumuddin

Gus Ulil Ngaji Ihya' Ulumuddin: Mencela Harta dan Sikap Kikir

4 Mins read
Harta adalah salah satu unsur terpenting di dunia. Menurut Al-Ghazali, dunia adalah segala hal yang terjadi sebelum kita meninggal. “Dunia” adalah “sesuatu…
Keislaman

Analisis Praktik Kesederhanaan Mahar Oleh Masyarakat Muslim Tinjauan Hadis Nabi

17 Mins read
Abstrak Meningkatnya permintaan mahar dalam praktik pernikahan Muslim di masa sekarang ini memunculkan kekhawatiran terhadap pergeseran makna substantif mahar dalam Islam. Mahar…
KeislamanKisah

Ruang Aman dari Allah: Narasi Kesembuhan Jiwa Nabi Musa

5 Mins read
Setiap manusia pasti memiliki luka batin yang mengendap di dalam dirinya. Luka di masa lalu, trauma yang selalu sama rasa sakitnya dari…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
FilsafatKeislaman

Radikalisme dan Sekularisme dalam Perspektif Ilmu Kalam

Verified by MonsterInsights