Di tengah arus globalisasi dan ledakan informasi, umat Islam menghadapi dua tantangan besar yang tampak berlawanan namun sejatinya sama-sama menggerus esensi Islam yang rahmatan lil ‘alamin: radikalisme dan sekularisme.
Di satu sisi, radikalisme menjerumuskan ke dalam kekerasan atas nama iman. Di sisi lain, sekularisme mencoba menyingkirkan agama dari ruang publik. Dalam situasi inilah, Ilmu Kalam yang kerap dianggap klasik dan usang justru kembali menemukan relevansinya.
Lebih dari sekadar warisan intelektual, Ilmu Kalam adalah jembatan antara wahyu dan akal, antara iman dan realitas. Ia hadir sebagai panduan yang meneguhkan keyakinan sekaligus membuka ruang berpikir, agar umat tidak terjebak dalam ekstremisme atau kehilangan arah di tengah modernitas (Nasr, 2006).
Radikalisme sering kali lahir dari frustrasi sosial, keterasingan, dan pemahaman agama yang sempit. Dalam kekosongan makna, sebagian orang menjadikan agama bukan sebagai jalan damai, melainkan pembenaran untuk kekerasan.
Ayat-ayat suci dipahami tanpa kerangka etika, jihad disalahartikan sebagai agresi, dan perbedaan dianggap sebagai ancaman. Gejala ini bisa dilihat dari meningkatnya ujaran kebencian di media sosial yang mengatasnamakan agama, hingga kasus-kasus rekrutmen kelompok radikal di kalangan generasi muda melalui tafsir menyimpang terhadap konsep jihad (Hasyim, 2015).
Sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali, akal adalah cahaya dari Tuhan yang membantu manusia memahami syariat. Semangat Kalam merefleksikan ajaran ini—membentengi umat dari sikap taklid buta dan menjadikan akidah sebagai hasil perenungan mendalam (Al-Ghazali, 2000).
Ilmu Kalam hadir untuk melawan cara berpikir sempit ini. Ia mengajarkan bahwa iman bukan hanya diyakini, tapi juga harus direnungkan dan dimaknai secara mendalam. Kalam membuka ruang dialog, menolak absolutisme tafsir, dan menegaskan bahwa Islam dibangun di atas kasih sayang, keadilan, dan penghargaan terhadap akal (Rahman, 1982).
Sekularisme modern menempatkan agama sebagai urusan pribadi yang tidak relevan dalam ranah publik. Akibatnya, nilai-nilai spiritual terancam kehilangan pijakan dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Contohnya tampak dalam kebijakan publik yang makin mengabaikan nilai-nilai spiritual dan terlalu berorientasi pada pendekatan teknokratis semata (Saeed, 2013).
Namun Kalam justru menunjukkan sebaliknya. Sebagai ilmu yang menyatukan wahyu dan rasio, Kalam menegaskan bahwa Islam tidak bertentangan dengan modernitas. Sebaliknya, ia justru menawarkan fondasi etis dan moral bagi peradaban. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ketika prinsip Islam dipahami secara utuh, agama tidak lagi menjadi alat pemaksaan, melainkan sumber nilai yang memperkaya ruang publik.
Di era post-truth, polarisasi, dan disinformasi, Kalam bukan sekadar kajian teologis. Ia adalah tameng intelektual sekaligus kompas spiritual. Perannya sangat penting dalam membentuk umat yang cerdas secara nalar dan kokoh secara batin. Ilmu Kalam memiliki peran strategis dalam memperkuat iman melalui pendekatan akal sehat.
Dengan mendasarkan keyakinan pada nalar yang jernih dan kontekstual, kalam membentuk keimanan yang kokoh sehingga umat tidak mudah disesatkan oleh ajaran menyimpang. Ini sejalan dengan visi al-Farabi dan Ibn Rushd tentang perlunya sintesis antara wahyu dan akal (Fakhry, 2004).
Selain itu, Kalam juga berperan dalam memulihkan peran agama dalam kehidupan sosial. Dengan menolak sekularisasi mutlak, Kalam membuktikan bahwa agama masih sangat relevan untuk menjawab problematika sosial, politik, dan etika kontemporer. Ia menjadikan agama bukan hanya sebagai ajaran spiritual, tetapi sebagai basis moral publik.
Kalam juga mendorong kepemimpinan yang berorientasi pada hikmah. Pemimpin yang berpijak pada prinsip Kalam bukan hanya berpikir strategis, tetapi juga memiliki kebijaksanaan spiritual. Ia mampu membuat keputusan yang adil dan beradab, menimbang antara maslahat dan syariat dengan pertimbangan akal sehat dan nilai-nilai keislaman.
Dalam ketegangan antara agama dan modernitas, Kalam menawarkan jalan tengah yang harmonis. Ia menjadi jembatan antara teks dan konteks, antara syariat dan maslahat, antara dogma dan dialog. Inilah kekuatan Kalam sebagai ilmu yang tidak hanya menjawab tantangan teoretis, tetapi juga mampu membumi dalam praktik kehidupan.
Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia memiliki tanggung jawab intelektual dan moral untuk menjadikan Kalam sebagai bagian dari diskursus publik. Islam Indonesia yang berwatak damai dan toleran dapat menjadi model aktualisasi Kalam yang membumi namun tercerahkan.
Menghidupkan Kalam bukanlah tugas segelintir akademisi, melainkan misi kolektif seluruh umat. Ia bisa tumbuh subur di masjid, ruang kelas, media sosial, hingga kebijakan publik. Kalam tidak hadir untuk menghakimi, tetapi untuk menerangi jalan hidup umat dengan cahaya hikmah.
Di saat dunia mencari keseimbangan baru antara iman dan nalar, antara spiritualitas dan kemajuan, Kalam seharusnya berbicara lebih lantang. Ia tidak hanya menjadi jawaban atas kegelisahan masa lalu, tetapi juga menjadi pondasi bagi masa depan Islam yang damai, inklusif, dan tercerahkan.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. (2000). The Incoherence of the Philosophers (T. J. Winter, Trans.). Islamic Texts Society.
Fakhry, M. (2004). A History of Islamic Philosophy (3rd ed. Columbia University Press.
Hasyim, S. (2015). State and Religion: Considering Indonesian Islam as Model of Democratisation for the Muslim World. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 5(1), 1–24 https://doi.org/10.18326/ijims.v5i1.1-24.
Nasr, S. H. (2006). Islamic Secience: An Ilustrated Study. World Wisdom, Inc.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press.
Saeed, A. (2013). Islam and the Challenge of Modernity. In T. Winter (Ed.), The Cambridge Companion to Classical Islamic Theology. Cambridge University Press.