Era digital yang semakin maju dengan segala inovasi dan penemuannya ternyata mempunyai pengaruh pada fenomena sosial dalam masyarakat. Daripada menjalani kehidupan nyata yang sebenarnya, masyarakatnya lebih mementingkan kehidupan di media sosial atau yang lebih dikenal dengan dunia maya.
Mudahnya akses internet dan luasnya jangkauan informasi di media sosial menjadikan seseorang itu gampang terkenal. Masyarakat rela melakukan banyak hal agar dapat tampil dengan baik di dunia maya dan mengejar popularitas. inilah yang menyebabkan munculnya fenomena flexing.
Flexing adalah kata slang dari Amerika yang mempunyai arti suka menampilkan diri dengan menunjukkan kekayaan atau kekayaan seseorang. Sederhananya, flexing adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan tujuan pamer di dunia nyata ataupun dunia maya (media sosial).
Pamer identik dengan kesombongan yang mana itu adalah perbuatan yang tercela. Dalam surah QS. Luqman ayat 18-19, Al-Qur’an menyampaikan larangan berbuat sombong melalui nasihat Luqman kepada anaknya.
وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِی ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالࣲ فَخُور 18 وَٱقۡصِدۡ فِی مَشۡیِكَ وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَاتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِیْرِ ١9
“Dan janganlah engkau memalingkan pipimu dari manusia dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah dalam berjalanmu dan lunakkan suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”
Surah Luqman ayat 18-19 memuat bagian nasihat mengenai akhlak. Dalam ayat tersebut, memuat larangan yang jelas untuk menghindari sikap angkuh dengan uraian nasihat untuk tidak memalingkan pipi (wajah) dari manusia karena sombong atau untuk menghina orang lain dan memuat anjuran untuk berperilaku sederhana mulai dari cara berjalan hingga cara berbicara.
Gaya hidup flexing dapat terjadi karena faktor internal dan eksternal. Dalam faktor internal, gaya hidup flexing dibentuk oleh sikap yang ditanam dalam diri. Sikap ini dapat diartikan sebagai sudut pandang pelaku yang tidak lepas dari pengalaman dan pengetahuan seseorang juga pemahaman atas konsep diri dan penerimaan.
Faktor eksternal pembentuk gaya hidup flexing meliputi keluarga yang menjadi pembentukan karakter pertama, kelompok masyarakat, juga kelas sosial. [1]
Dalam salah satu artikel majalan Psycology Today yang dikutip dalam Jurnal Dialogis Ilmu Ushuluddin, mengatakan bahwa, “Anda sah sah saja bercerita tentang pencapaian anda, karean hal tersebut dapat menjadi afirmasi diri yang dapat mendatangkan inspirasi bagi orang lain dan dan mewujudkan rasa percaya diri.”
Namun, muncul macam-macam kritik dan kontroversi. Sejumlah orang memandang bahwa flexing sebagai upaya untuk membanggakan diri, mencari pengakuan, dan pencitraan diri.[2]
Dalam sudut pandang psikologis, pelaku flexing cenderung mempunyai tujuan untuk menunjukkan eksistensi mereka dalam struktur sosial dan menegaskan status sosial mereka yang jika tidak mampu untuk menunjukkan hal-hal yang dianggap “wah” akan merasa tidak pantas dan kepercayaan diri akan menurun. Hal tersebut ditunjukkan dalam sikap mereka yang melakukan swafoto di mobil mewah, perjalanan pesawat, memposting makanan mahal.
Flexing juga berdampak dalam segi ekonomi. Pengeluaran yang berlebihan untuk memamerkan kemewahan dapat meningkatkan sifat konsumsif yang mengarah pada risiko kebangkrutan. Gaya hidup yang mahal demi gengsi dapat menyebabkan tekanan pada diri sendiri juga keluarga.[3]
Selain mencerminkan strata sosial, simbolisme, dan pembentukan martabat sosial. Masyarakat mengonsumsi suatu barang yang tidak hanya memiliki manfaat secara fungsional, tetapi juga mengandung makna didalamnya untuk mengekspresikan status sosial mereka di masyarakat. [4]
Sering kali ketidakpuasan atas apa yang dimiliki, kesenjangan sosial yang begitu nyata dan juga kebahagiaan yang semu akan dimiliki oleh pelaku flexing.
Flexing ibadah dapat menciptakan kesan yang berbeda-beda tergantung niat dibaliknya. Beberapa orang mungkin ingin memotivasi atau menginspirasi orang, sementara beberapa orang lainnya ingin memamerkan atau sekadar ingin validasi atas pencapaian atau spiritual meraka.
Flexing dalam hal ibadah seperti memposting swafoto sedang melaksanakan ibadah, bersedekah, mengikuti kajian, amalan tertentu, dan sebagainya sering kali mendapat sorotan negatif dan akan timbul pernyataan “Ibadah itu diem-diem aja, ibadah kok diposting. Biar keliatan religius gitu??” dan kalimat semacamnya. Namun, jika ditelaah lebih dalam, ada beberapa potensi manfaat yang didapat pada fenomena ini.
Potensi manfaat flexing dalam ibadah adalah:
- Inspirasi bagi orang lain
Melihat orang lain beribadah dapat menjadi motivasi bagi yang lain untuk lebih giat beribadah dan dengan itu akan timbul kesadaran beragama.
- Diskusi dan refleksi
Postingan tentang ibadah akan memicu hadirnya diskusi dan juga refleksi dari makna ibadah itu sendiri.
- Evaluasi diri
Adanya postingan tersebut, terjadi interaksi dan sangat memungkinkan akan mendapatkan komentar agar dapat mengevaluasi kualitas ibadah yang dilakukan.
Perlu diingat, bahwa manfaat diatas hanya akan diraih apabila seseorang itu mempunyai niat yang benar, cara yang tepat, dan mempunyai kesadaran bahwa kualitas ibadah harus lebih diutamakan daripada kuantitas postingan.
[1] Syafruddin Pohan, Putri Munawwarah, And July Susanty Br Sinuraya, ‘Fenomen Flexing Di Media Sosial Dalam Menaikkan Popularitas Diri Sebagai Gaya Hidup’, Jurnal Ilmu Komunikasi Dan Media Sosial (JKOMDIS) 3, No. 2 (14 June 2023): 491–92, Https://Doi.Org/10.47233/Jkomdis.V3i2.851.
[2] Ira Yunita Pohan, Mohamad Mualim, And Muhammad Ghifari, ‘Pandangan Al-Quran Tentang Fenomena Flexing Dalam Ibadah’, KACA (Karunia Cahaya Allah): Jurnal Dialogis Ilmu Ushuluddin 14, No. 2 (25 August 2024): 263, Https://Doi.Org/10.36781/Kaca.V14i2.723.
[3] Jawade Hafidz Arsyad, ‘Fenomena Flexing Di Media Sosial Dalam Aspek Hukum Pidana’, Jurnal Cakrawala Informasi 2, no. 1 (30 June 2022): 105, https://doi.org/10.54066/jci.v2i1.158.
[4] Pohan, Mualim, And Ghifari, ‘Pandangan Al-Quran Tentang Fenomena Flexing Dalam Ibadah’, 262.