Salah satu ilmu yang terkandung di dalam al-Qur’an adalah ilmu lubab (ilmu bagian dalam). Di dalamnya, ilmu lubab ini menjelaskan bahwa ilmu yang paling tinggi derajatnya adalah ilmu makrifatullah (mengenal Allah). Dengan kata lain, inti pokok dari ajaran al-Qur’an adalah mengenalkan kita kepada Allah.
Gus Ulil mengatakan paling tinggi dari makrifatullah adalah ilmu dzati (ilmu tentang dzat Allah). Akan tetapi, mengenal diri termasuk ilmu paling susah. Jangankan mengenal dirinya Allah, mengenal dan memahami dirinya kita sendiri belum tentu bisa.
Itu sebabnya, lanjut Gus Ulil, jika orang sudah mengenal dirinya sendiri, maka secara otomatis dia akan mengenal Tuhannya. Sebuah ungkapan yang sangat masyhur dalam praktisi tasawuf “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”. Jelasnya, pengenalan kepada diri merupakan jalan pengenalan terhadap Tuhan.
Alih-alih bisa mengenal diri kita sendiri, akan tetapi sangat mustahil bisa mengenal dirinya Allah secara keseluruhan. Kenapa demikian? Karena dzat Allah sangat misterius. Itu sebabnya, jika Anda tidak mampu mengenal dzat Allah secara keseluruhan, paling tidak, Anda bisa mengenali tindakan-tindakan-Nya. Bukankan mengenal Allah yang paling enak adalah dengan melalui jalan tindakan-tindakan dan sifat-sifat-Nya?
أعلاها علم الذَّات، ولا يحتملها أكثر الأفهام، ولذلك قيل لهم تفكَّروا في خَلق الله ولا تفكَّروا في ذات الله
Syahdan. Dalam pengamatan dan penalarannya (melihat makrifatullah dari aspek tindakan-Nya) Nabi pernah berkata, “Ya Allah! Aku berlindung dengan pengampunan-Mu dan perlindungan-Mu dari siksaan, serta Aku berlindung melalui ridha-Mu dari murka-Mu, dan Aku berlindung melalui-Mu dari-Mu.”
Hingga akhirnya ketika sampai ke puncak pengetahuan tentang Allah, Nabi pun mengakui akan ketidakmampuannya dan berkata, “Aku tidak bisa menghitung akan pujian-pujian kepada Engkau, karena apapun pujian yang Aku katakan tentang Engkau, maka itu tidak akan memenuhi kemulian Engkau, sebagaimana Engkau memuji terhadap diri Engkau.”
وإلى هذا التدريج يشير تَدَرُّج رسولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في ملاحظته ونَظَرِهِ حيث قال: “أعوذُ بِعَفْوِكَ من عقابك” فهذه ملاحظة الفعل ثم قال وأعوذ برضاك من سخطك وهذه ملاحظة الصفات؛ ثم قال: “وأعوذُ بك منك” وهذه ملاحظة الذات؛ لم يزل يترقَّى إلى القُرب درجةً درجة، ثم عند النهاية اعترف بالعجز فقال: “لا أُحصِي ثناءً عليكَ أنتَ كما أثنَيْتَ على نفسك” فهذا أشرف العلوم
Termasuk bagian ilmu yang paling tinggi adalah ilmu akhirat. Ia adalah ilmu tentang tempat kembalinya seluruh makhluk (diantaranya mengenalkan Allah, jalan menuju Allah, dan ilmu untuk mengetahui ketika sudah sampai kepada Allah).
Bahwa hakikat ilmu akhirat adalah mengenali hubungannya seorang hamba terhadap Allah, baik ketika seorang hamba mencapai makrifat atau gagal mencapai makrifat karena terhalang hijab.
ويتلوه في الشَّرف عِلمُ الآخرة وهو علم المَعَاد كما ذكرناه في الأقسام الثلاثة وهو متصل بعلم المعرفة، وحقيقته معرفة نسبة العبد إلى الله تعالى عند تحقُّقِهِ بالمعرفة، أو مصيرهِ محجوباً بالجهل
Jadi, kata Al-Ghazali, ilmu-ilmu makrifatullah dengan empat dimensi yang meliputi mengetahui dzatnya Allah, sifatnya Allah, tindakan Allah, dan ilmu akhirat sudah muat dalam sebagian kitabku, dan aku tidak menunjukkan sebagian kitab-kitab itu.
Ini menunjukkan bahwa, mungkin sebagian kitab-kitab Al-Ghazali ada yang disembunyikan. Dengan kata lain, Al-Ghazali tidak merilis karyanya ke publik umum oleh sebab tidak semua orang bisa memahaminya. Lebih dari itu, supaya ilmu ini tidak jatuh kepada tangan yang tidak amanah.
وهذه العلوم الأربعة، أعني عِلمَ الذات والصفات والأفعال وعلم المَعاد، أَوْدَعنا من أوائله ومَجامِعِهِ القدرَ الذي رُزِقنا منه، مع قِصَرِ العُمر وكثرة الشَواغل والآفات، وقلة الأَعْوان والرُفقاء، بعضَ التَّصانيف لكنا لم نُظِهره،
حتى ارتَاضَت نفسُهُ واستقامت على سواء السبيل، فلم يبقَ له حظٌ في الدنيا، ولم يبق له طلبٌ إلاّ الحق، ورُزِقَ مع ذلك فطنة وَقَّادة، وقريحةً مُنقادَة، وذكاءً بليغاً، وفهماً صافياً، وحرام على من يقع ذلك الكتاب بيده أن يُظهره إلاَّ على من استَجْمَعَ هذه الصفات فهذه هي مجامع العلم التي تتشعب من القرآن ومراتبه
Artinya, kata Gus Ulil, untuk menerima ilmu-ilmu rahasia seperti ini, maka dibutuhkan hati yang bersih (tazkiyah al-nafs). Ia perlu melakukan perang kepada dirinya sendiri supaya bisa menaklukkan hawa nafsu. Dalam hal ini, jika hawa nafsu sudah menguasai dirinya pada saat mendapatkan pengetahuan, maka hasilnya akan berakibat fatal.