Sudah jelas bahwa sifat kikir ini bertingkat-tingkat, dan tingkat yang paling tinggi menunjukkan ketidakmampuan untuk memenuhi kewajibannya, seperti mengeluarkan zakat, memberikan nafkah kepada keluarganya, atau mengadakan jamuan untuk tamu.
Saat Abu Hurairah bertanya kepada Bani Lihyan, Rasulullah Saw. bertanya, “Siapakah pemimpin kalian?” dan mereka menjawab, “Jad bin Qaiz.” Lalu ditanya lagi, “Manakah yang lebih pelit dari Amr ibn Al-Jamu, dia atau Jad bin Qaiz?”
Dalam riwayat lain, Bani Lihyan menjawab, “Pemimpin mereka adalah Jad bin Qaiz.” Ketika ditanya, “Apa alasan mereka menjadikan Jad bin Qaiz sebagai pemimpin?” Dia menjawab, “Pemimpin mereka itu kaya dan mereka mencurigai bahwa pemimpin mereka itu pelit.” Kemudian Rasulullah Saw. berkata, “Penyakit apa yang lebih parah dari penyakit pelit? Karena itu dia bukanlah pemimpin.” Bani Lihyan bertanya, “Siapa pemimpin kami kalau begitu?” “Ibn Al-Barok.” Jawab Rasulullah.
Diriwayatkan oleh Sayyidina Ali, Rasulullah Saw. bersabda: “Bahwa orang yang pelit atau bakhil tidak disukai oleh Allah Swt.”
Diriwayatkan oleh Abbu Hurairah Ra. Rasulullah Saw. bersabda: “Orang yang bodoh tetapi dermawan lebih disukai oleh Allah Swt. daripada ahli ibadah tetapi pelit.”
Riwayat yang lain, Rasulullah Saw. bersabda: “Di dalam hati hamba yang beriman tidak mungkin iman dan pelit hadir bersamaan.”
Riwayat lain, Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak bisa berkumpul di dalam diri seorang mukmin dua akhlak yaitu sifat pelit dan tabiat jelek.”
Riwayat lain, Rasulullah Saw. bersabda: “Seorang beriman itu tidak seyogyanya pelit dan penakut.”
Riwayat lain, Rasulullah Saw. bersabda: “Ada diantara kalian yang berkata “orang yang pelit lebih bisa dimaklumi daripada orang yang dzalim”. Tahukah kalian tidak ada yang lebih dzalim daripada orang yang pelit dan Allah Swt. tidak akan memasukkan orang pelit ke dalam surga.”
Dalam sebuah hadits panjang, Rasulullah Saw. bertanya, “Apa dosamu?” Ketika dia melihat seorang pria bergantungan di tirai ka’bah dan berkata, “Demi kehormatan ka’bah ini, ya Allah Swt., mohon agar aku diampuni.” “Coba ceritakan,” katanya. “Dosaku ini terlalu besar, tak mungkin kuceritakan,” Jawabnya.
Rasulullah Saw. bertanya lagi, “Lebih besar mana dosamu daripada bumi dan seluruh lapisannya?” Dia menjawab, “Lebih besar dosaku.” Kemudian ditanya lagi, “Lebih besar mana dari gunung-gunung?” Dia menjawab, “Lebih besar dosaku.” Kemudian ditanya lagi, “Lebih besar mana dari lautan-lautan?” Dia menjawab, “Lebih besar dosaku.” Ditanya lagi, “Kenapa tidak kau beritahu saya saja?”
Terakhir, pria itu menjawab, “Wahai nabi! Sesungguhnya aku orang yang kaya dan orang yang datang padaku kulihat seperti peminta-minta yang datang dengan obor hendak membakarku.” “Menjauhlah dariku jangan sampai api pelitmu juga mengenaiku dan jika engkau berdiri di pojok rukun iman dan maqom Ibrahim, kemudian shalat selama sejuta tahun dan menangis hingga air matamu menjadi sungai-sungai yang mengairi pepohonan, lalu engkau wafat sebagai orang pelit, maka Allah Swt. Akan menyungkurkan dirimu ke dalam neraka,” jawab Rasulullah Saw. Apakah Anda tahu bahwa pelit adalah kekafiran sejati?
Gus Ulil mengatakan bahwa pelit dan kekafiran ini tidak berkaitan dengan aqidah; itu berkaitan dengan tidak mau bersyukur atas nikmat yang diberikan atau bertindak kafir. Secara tidak langsung, tentu saja ini sesuai dengan firman Allah Swt. Dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 7:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّـكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim [14]: 7).
Rasulullah Saw. bersabda, “Celakalah engkau! Tidakkah engkau tahu firman Allah Swt. Yaitu sesungguhnya sifat pelit itu muncul dari dalam (akhlak, bagian dari hati). Dan barangsiapa yang jiwanya terlindungi dari sifat pelit maka mereka adalah orang-orang yang beruntung.”
Syahdan. Betapapun, sifat kikir adalah sifat yang tidak terpuji dan sangat dibenci oleh Allah Swt. Bukankah Al-Qur’an sudah menegaskannya:
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَاۤ اٰتٰٮهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ هُوَ خَيْـرًا لَّهُمْ ۗ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۗ سَيُطَوَّقُوْنَ مَا بَخِلُوْا بِهٖ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ وَلِلّٰهِ مِيْرَاثُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Artinya: “Dan jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat. Milik Allah-lah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran [3]: 180.
ٱلَّذِيْنَ يَـبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ مَاۤ اٰتٰٮهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ وَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًا
Artinya: “(yaitu) orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 37). Wallahu a’lam bisshawaab.