Sudah mafhum bahwa menurut ulama Asy’ariyah sifat-sifat Tuhan qadim. Sebagaimana Dzat-Nya Tuhan qadim, maka sifat-Nya juga qadim; keduanya abadi. Seluruh sifat-sifat Tuhan dari dulu sudah ada, bukan termasuk sifat yang muncul belakangan sebagaimana pendapat Muktazilah dan orang-orang Karramiyah (pengikut Imam Muhammad bin Karram Al-Sijistani).
Mereka berpendapat bahwa sebagian sifat-sifat Tuhan ada yang tidak qadim (tapi hadis) seperti sifat iradah, ilmu, dan kalam. Namun demikian, Al Ghazali menyangkal argumentasi mereka.
Misalnya, sifat iradah menurut sebagian kelompok Muktazilah dan orang-orang Karramiyah adalah hadis. Kenapa mengatakan hadis? Sebab, iradah bermakna Tuhan Maha Berkehendak. Tentu saja kehendak adalah sesuatu yang datang dan akan pergi.
Dalam konteks manusia sebagai analogi, misalnya Anda pada suatu saat menginginkan ini dan besoknya tidak berkeinginan, begitu seterusnya. Ia timbul dan tenggelam lagi. Ketika ada Handphone yang baru maka otomatis Anda menginginkan akan hal itu.
Ketika Anda berkeinginan untuk makan pecel, maka sudah pasti Anda akan berjalan untuk mencari pecel. Nah, demikian juga situasinya seperti itu dalam konteks Tuhan ketika Tuhan ingin menciptakan alama, maka Tuhan berkehendak untuk menciptakan alam.
Rupanya, usaha orang Karramiyah untuk menghindari kritik dan sangkalan dari kelompok Asy’ariyah yang di wakili Al Ghazali tentang pendapatnya yang mengatakan bahwa iradah itu hadis, ia berkata: “Oh tidak! Yang hadis itu bukan irada-Nya Tuhan, melainkan ketika Tuhan ingin menciptakan sesuatu, maka Tuhan menciptakan kemampuan untuk mengadakan sesuatu dalam diri-Nya.”
Sudah jelas, bahwa yang hadis bukan iradah, karena iradah-Nya sudah dari dulu adanya, melainkan kemampuan untuk menciptakannya. Tentu berbeda dengan kalangan Asy’ariyah yang mengatakan bahwa iradah-Nya Tuhan itu qadim, tidak mungkin hadis. Karena jika hadis, otomatis Tuhan ketempatan dan terlekati sesuatu yang hadits, maka Tuhan juga hadits.
Sekali lagi, kata orang Karramiyah, yang hadis bukan iradah-Nya, akan tetapi yang hadis adalah kemampuan untuk mengadakan sesuatu di dalam diri-Nya. Misalnya, ketika Tuhan menghendaki sesuatu (alam raya) maka Tuhan sudah menciptakan kemampuan dalam diri-Nya untuk menciptakan alam raya.
Jadi, tidak ujuk-ujuk langsung ada. Sebab ada proses yang harus dilewati terlebih dahulu. Ketika iradah mau bekerja, maka Tuhan menciptakan power atau daya untuk mengadakan (ijad) alam raya.
Kendatipun iradah-Nya tidak hadits, kata Al-Ghazali, maka tetap saja ijad-Nya hadits. Sebab, semula tidak ada ijad (daya untuk mencipta) pada diri Tuhan, lalu sekarang menjadi ada. Namun orang Karramiyah menyangkal lagi, “Oh bukan ijad, karena ijad di sini artinya bukan kemampuan mengadakan secara umum, melainkan ijad di sini Tuhan mengucapkan kun (adalah engkau).”
Kata Al-Ghazali, kun ini (menurut tafsiran Karramiyah berupa suara) sangat tidak masuk akal. Tidak mungkin Tuhan pada diri-Nya terdapat suara, karena jika Tuhan bersuara maka tak ubahnya seperti manusia. Kedua, kata kun adalah sesuatu yang muncul belakangan (hadits).
Dalam Ilmu Kalam dikatakan, bahwa sesuatu yang hadits untuk ber-ada, maka membutuhkan sesuatu hadits yang lain untuk mengadakannya. Misalnya, manusia yang semula tidak ada lalu menjadi ada, dalam hal ini untuk ber-ada, Anda masih butuh pelantara orang tua untuk melahirkannya. Begitu seterusnya.
Pertanyaannya, apakah untuk mengadakan kun ini harus membutuhkan kun yang lain atau tidak? Supaya Tuhan mengatakan kun, apakah Tuhan perlu mengatakan kun yang sebelumnya dan seterusnya? Jika misalnya kun ini tidak membutuhkan kun yang sebelumnya (berhenti di situ), lalu kenapa tidak langsung Tuhan menciptakan alam begitu saja tanpa ada kun? Berapa kali Tuhan mengatakan kun pada masing-masing ciptaan-Nya?
Kata Al-Ghazali, orang-orang yang pemikirannya seperti ini mestinya tidak ikut debat-mendebat, ada baiknya ia selalu berdoa kepada Tuhan supaya akalnya ditambahi dan diperkuat supaya ketika berdebat nanti tidak “ngasal”.
Tak berhenti di sini, kemustahilannya juga, jika Tuhan mengatakan kun seperti yang kamu katakan ketika menciptakan alam, ketika alam raya diajak berbicara oleh Tuhan apakah alam itu sudah ada apa tidak? Jika belum ada mana mungkin diajak bicara? Namun jika sudah ada kenapa diajak bicara dan kenapa harus mengatakan kun kepada sesuatu yang sudah ada? Jika sudah ada kenapa disuruh ada?
Kata Gus Ulil, pandangan Karramiyah ini sangat tidak masuk akal. Kenapa demikian? Karena pada hakikatnya adalah sifat iradah tidak mungkin hadits seperti yang dikatakan oleh Muktazilah dan Karramiyah. Bahwa sifat iradah adalah qadim sebagaimana Dzat Tuhan. Memang sifat iradah qadim, namun ia bisa berhubungan dengan sesuatu yang hadits, akan tetapi tidak menjadikannya iradah menjadi hadits.
Lalu kenapa iradah-Nya Tuhan qadim? Tak seperti pandangan orang Muktazilah yang mengatakan bahwa iradah itu hadits. Muktazilah melihat bahwa, yang namanya kehendak pasti ada objeknya. Misalnya, Tuhan ingin menciptakan alam (alam munculnya belakangan), tidak abadi dan tidak dari dulu ada. Ketika Tuhan ingin menghendaki alam dan alam itu hadits, maka kehendak itu juga ikut hadits.
Sementara Asy’ariyah melihatnya, iradah itu seperti sesuatu yang sudah ada sejak awal. Dalam konteks manusia, Anda mempunyai kemampuan mental (al-Qudrah al-Nafsiyah) untuk menghendaki sesuatu, dan kemampuan ini sudah ada pada manusia dari awal, dan bahkan sejak masih janin. Misalnya ketika lapar maka sudah pasti ingin menyusu.
Memang, kata Gus Ulil, kadang kala kehendak ini jika tidak diaktifkan, ia seperti sesuatu yang dormen. Misalnya pagi hari bingung mau ngapain, namun tidak berarti Anda tak mempunyai kehendak, sebab kehendak sudah ada, hanya saja tidak diaktifkan. Demikian juga dengan Tuhan yang kehendaknya sudah ada sejak dulu, hanya saja ketika Tuhan ingin menghendaki sesuatu maka kehendak ini aktif.
Dari sini jelas, lanjut Gus Ulil, mengatakan sifat-sifat Tuhan qadim jauh lebih masuk akal daripada mengatakan Dzat-Nya Tuhan qadim dan sifat-Nya sebagian hadits. Qadim Dzat-Nya dan sifat-Nya (Asy’ariyah lebih masuk akal ketimbang Muktazilah). Wallahu a’lam bisshawab.
1 Comment