KeislamanNgaji Jawahirul Qur’an

Gus Ulil Ngaji Jawahirul Qur’an: Jejak Kaum Mutakayisun

2 Mins read

Ini adalah bagian yang berbicara tentang manfaat atau kegunaan dari simbol-simbol ini, seperti mutiara, rubi, misik, yaqut, zabarjad, dan sebagainya. Sebenarnya, keuntungan-keuntungan tersebut berada di balik rumus-rumus simbolisasi, jika Anda terus bertanya. Ini adalah ilustrasi cetakan yang dirancang untuk memperkenalkan pengertian-pengertian yang bersifat rohani dan malakut (ghaib), yang dikenalkan melalui istilah-istilah yang dikenal secara formal, sehingga Anda dapat membuka pintu dan menyelam ke dalam makna Alqur’an.

Gus Ulil menjelaskan bahwa karena makna malakut itu ghaib, mereka membutuhkan badan (pakaian) untuk dipahami. Salah satu bentuk badan atau pakaian itu adalah bahasa yang umum dipahami. Karena makna-makna alam malakut terbungkus dalam bahasa, manusia dapat mempelajari dan memahaminya.

Syahdan. Kami (Al-Ghazali) melihat kaum mutakayisun, atau kaum keminter pengetahuan modern, di antara mereka yang menentang alam malakut (yang dianggap sebagai golongan filosof). Akibatnya, bagi mereka, hal-hal yang dzahir itu membingungkan dan muncul penentangan terhadap hal alam malakut, sehingga muncul kontradiksi yang menghancurkan kepercayaan agama mereka.

Selain itu, hal ini menyebabkan kaum mutakayisun tidak memiliki pengetahuan tentang alam akhirat, kehidupan setelah mati, hari penghakiman, dan pengetahuan lainnya. Mereka kehilangan kendalinya atas takwa dan kehilangan kemampuannya untuk menghindari keburukan.

Sederhananya, mereka mengikuti syahwatnya untuk mencari kekayaan, dan tidak ada yang dicari selain pangkat, kekayaan, dan hal-hal yang bersifat sementara. Lebih dar itu, kaum mutakayisun melihat mereka yang wara’ (bijak) sebagai suatu kerendahan dan sinisme.

Menurut penjelasan Gus Ulil, kaum mutakayisun ini tampaknya tetap memegang agama, tetapi sebenarnya mereka telah lepas darinya karena keberanian mereka untuk mengajar dunia. Inilah yang membedakan mereka dari kaum filosof. Sebab, kaum filosof tetap berpegang pada etika dan tidak mampu mengendalikan syahwat mereka.

Baca...  Khairuddin Barbarosa: Penaklukan Tentara Spanyol di Laut Mediterania

Jika kaum mutakayisun melihat seseorang yang wara’ yang memiliki pengetahuan dan kemampuan berlogika (intelektualitas) yang baik, mereka akan menuduh orang tersebut penipu dan mengajak orang lain untuk mengikuti mereka, membuat kaum mutakayisun semakin jauh dari keselamatan. Padahal orang-orang wara’ adalah contoh yang baik untuk memperkuat aqidah orang-orang mukmin.

Tentu saja, semua hal ini disebabkan oleh kemampuan penalaran kaum mutakayisun, yang hanya melihat bagaimana mereka terlihat dari luar. Selain itu, dia tidak mampu membuat perbandingan antara alam fisik dan alam malakut atau berbicara tentang inti-inti secara mendalam.

Kenapa demikian? Karena mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka juga gagal menggunakan intuisinya (dan akhirnya mereka menjadi sama seperti orang yang awam). Selain itu, orang-orang kaum mutakayisun ini tidak ingin disamakan dengan orang awam karena mereka menganggap orang awam bodoh.

Meskipun demikian, orang awam yang berada di posisi rendah ini bukanlah rendah karena mereka memiliki keselamatan—orang awam yang sangat beriman meskipun memiliki sedikit pengetahuan—dibandingkan dengan orang-orang yang sangat berpengetahuan tetapi kurang pengetahuan seperti kaum mutakayisun.

Dan kami tidak menganggap fenomena orang kemintar itu, kata Al-Ghazali, karena sesungguhnya kami pernah terpeleset oleh ekor-ekor kesesatan ini untuk sementara waktu karena kawan-kawan yang jahat (pertemanan yang salah), hingga akhirnya Allah Swt. menyelamatkan kami dari jurang dan jebakan mereka. Segala puji dan nikmat bagi Allah Swt. atas petunjuk dan hidayah yang Dia berikan kepadaku, serta keselamatan dari bahaya. karena Dia dapat melakukan semua hal tersebut.

Pada suatu waktu, Al-Ghazali mengajar sekitar 300 murid, yang saat itu berada di tingkat murid tiga (S3), dan dia mengalami kehilangan kemampuan berbicara. Untuk menghindari hal ini, dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari kehidupan sebelumnya dan mendapat petunjuk keselamatan dari Allah SWT. Karena Allah SWT adalah Dzat yang menang dan luar biasa. Jika Dia telah memberikan rahmat kepada seseorang, maka tidak ada yang dapat menghentikannya untuk mendapatkan keselamatan. Wallahu a’lam bisshawab.

121 posts

About author
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Articles
Related posts
KeislamanTafsir

Takwil Menurut Para Ulama

4 Mins read
Kuliahalislam. Takwil berarti menerangkan, menafsirkan secara alegoris (kiasan), simbolik, maupun rasional. Secera terminologis, kata takwil diambil dari kata Awwala yang bisa berarti…
KeislamanSejarah

Sejarah Perang Sabil Di Aceh

4 Mins read
Kuliahalislam Perang Sabil (Jihad fi Sabil Allah) merupakan perang antara masyarakat Aceh dan penjajah Belanda (1873-1912), yang bagi masyarakat Aceh merupakan perang…
Keislaman

Cahaya Bintang, Cahaya Kenabian: Tafsir Ayat 1-2 Surat An-Najm

6 Mins read
Pembukaaan surah ini diawali dengan sumpah Allah yang sangat memukau. Surah An-Najm sebagaimana surah Aqsam Makiyyah pada umumnya, menekankan sumpah-sumpah Allah SWT…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Berita

SUMU Banyumas Gelar Mentoring Eksklusif: “Grow With AI” untuk Kembangkan Bisnis Berbasis Teknologi yang Islami

Verified by MonsterInsights