Di era ini perkembangan teknologi khususnya media sosial sangat mendominasi kehidupan manusia. Tidak dapat dipungkiri media sosial memberi dampak cukup besar, berdampak positif jika dipergunakan secara bijak dan sebaliknya.
Diantara dampak positifnya adalah mempermudah komunikasi jarak jauh, belajar, bekerja dan lain sebagainya. Adapun dampak negatifnya adalah menjadi salah satu cara untuk “flexing”. Fenomena flexing sebelumnya hanya terjadi di dunia nyata dan tampak, adanya media sosial memberi peluang lebih terhadap fenomena tersebut hingga dapat dipraktekkan melalui dunia maya.
Secara bahasa, kata flexing berasal dari bahasa Inggris informal yang artinya menunjukkan atau memamerkan sesuatu dengan bangga. Kata flexing awalnya digunakan sebagai bahasa gaul oleh pemuda Amerika, frasa ini sering dikaitkan dengan budaya populer, khususnya hip-hop dan budaya jalanan.
Menurut Merriam Webster, flexing berasal dari kata flex yang memiliki arti menunjukkan, mempertontonkan atau mendemostrasikan kepemilikan terhadap sesuatu secara mencolok.
Sedangkan secara istilah, kata flexing digunakan untuk mendefinisikan orang-orang yang gemar memamerkan harta, ibadah, pencapaian dan lain-lain. Dalam konteks Islam flexing sama dengan riya’, hanya saja bahasa yang digunakan berbeda. Fenomena flexing muncul karena adanya rasa ingin tenar sehingga menggunakan cara pamer agar dikenal oleh khalayak.
Di era digital yang semakin mengglobal, media sosial telah menjadi wadah utama bagi individu untuk berbagi pengalaman, kehidupan sehari-hari, dan aktivitas keagamaan.
Kini perilaku pamer (flexing) tidak hanya dilakukan oleh masyarakat secara langsung face to face akan tetapi akhir-akhir ini flexing kerap dilakukan melalui berbagai platform media sosial, seperti Instagram, Fecebook, Twitter, YouTube dan TikTok.
Melalui platform digital tersebut, banyak orang merasa perlu mendapatkan pengakuan dari orang lain melalui likes, komentar, dan jumlah pengikut. Flexing menjadi cara untuk mendapatkan validasi tersebut. Unggahan yang sering menampilkan barang-barang bermerek, liburan eksklusif, atau prestasi besar, mencerminkan budaya konsumsi dan pencitraan diri yang semakin berkembang di era digital.
Tindakan flexing yang berlebihan juga dapat menciptakan kesenjangan sosial. Karena ketika seseorang memamerkan kekayaan atau gaya hidup yang mewah, hal ini menciptakan jalan pemisah antara kelompok masyarakat yang mampu dan yang kurang mampu.
Dampak flexing di media sosial dapat dirasakan baik oleh pelaku maupun audiensnya. Bagi pelaku, kebiasaan memamerkan kekayaan atau gaya hidup mewah seringkali memicu tekanan untuk terus mempertahankan citra tersebut, yang tidak jarang berujung pada perilaku konsumtif, utang, atau pencitraan palsu.
Di sisi lain, audiens yang terus-menerus terpapar unggahan flexing dapat merasa minder, iri, atau tidak puas dengan kehidupan mereka sendiri, yang dapat berujung pada stres atau kecemasan.
Flexing atau pamer cakupannya sangat luas; ibadah, kekayaan, pencapaian dan masih banyak lagi. Perilaku tersebut sudah sangat umum terjadi di masa ini, tak menutup kemungkinan seorang muslim mempraktekkannya.
Kenyataannya, Alqur’an yang merupakan kitab pedoman bagi manusia dan berlaku sepanjang zaman, secara tidak langsung telah menanggapi fenomena tersebut. Walaupun ayat Alqur’an tidak menggunakan diksi flexing, akan tetapi jika meneliti lebih dalam, maknanya merujuk pada fenomena flexing. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ
Artinya: “Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.” (QS. Luqmān [31]:18)
Dalam tafsir al-mishbah karya Quraish Shihab, ayat 18 merupakan nasihat Luqman tentang akhlak dan sopan santun ketika berinteraksi dengan sesama manusia. Beliau menasihati anaknya dengan berkata:
Dan wahai anakku, di samping butir-butir nasihat yang lalu, janganlah juga engkau berkeras memalingkan pipimu yakni mukamu dari manusia siapa pun dia didorong oleh penghinaan dan kesombongan. Tetapi tampilah kepada setiap orang dengan wajah berseri penuh rendah hati.
Dan bila engkau melangkah, janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh, tetapi berjalanlah dengan lemah lembut penuh wibawa. Sesungguhnya Allah tidak menyukai yakni tidak melimpahkan anugerah kasih sayang-Nya kepada orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.