Tentang ilhaq al-masa’il binadhairiha. Kalau kita berbicara tentang ilhaq, maka tidak bisa dipisahkan dengan tiga hal. Pertama adalah qiyas, kedua takhrij, ketiga ilmu al-ashbah wa al-nadhair. Namun secara singkat, kita tahu bahwa qiyas itu memiliki empat rukun yaitu, ashan, far’u, hukum asal, dan illat (semua ini sudah maklum).
Pembicaraan yang sangat panjang terkait dengan illat sudah tak asing lagi. Sekalipun tak asing, ada tiga istilah yang hampir mirip-sama pertama, adalah illat, kedua hikmah, ketiga mashlahah. Lalu apa perbedaan antara ketiganya? Bahwa illat adalah sifat yang berfungsi sebagai pengenal bagi suatu hukum, sementara hikmah adalah sesuatu yang ada di balik illat, dan dengan menerapkan hukum dikaitkan dengan illat, maka lahirlah sebuah mashlahah.
Misalnya, orang musafir diperbolehkan melakukan shalat qashar. Illat-nya adalah safar, dan dibalik safar ada hikmah. Lalu apa hikmahnya? Adalah masyaqqah yaitu dibolehkannya qashar bagi musafir dengan illat tersebut (safar). Dengan demikian, maka lahirlah mashlahah yaitu dhaf’u al-masyaqqah. Namun, dalam hal ini, tetap harus dibedakan antara masyaqqah dan dhaf’u al-masyaqqah.
Masyaqqah adalah hikmah yang ada di balik safar, sedangkan dhaf’u al-masyaqqah adalah mashlahah yang lahir dari tartib al-hukm ala al-illat. Dan dengan menerapkan hukum pada illat, maka lahirlah kemudian mashlahah. Sisi lain, kadang kala illat dan hikmah menjadi satu seperti, setiap khamar pasti haram, dan illat-nya adalah memabukkan. Memabukkan selain merupakan illat, ia juga sekaligus hikmah. Karena itu, dengan diharamkannya khamr (alasan isyqat) maka lahirlah mashlahah. Mashlahah-nya adalah al-hifdu al-aql.
Qiyas dan cakupannya
Secara garis besar qiyas terbagi menjadi dua. Pertama qiyas qhoth’i dan kedua qiyas dhanni. Qiyas qhoth’i syaratnya hanya dua yaitu, al-qhat’i fi al-illiyah al-washli fi al-hukmi dan al-qath’ bi annahaa tujadu fi al-far’i. Syarat yang pertama kita yakin bahwa hukum ashal illat-nya adalah itu. Sementara yang kedua kita yakini bahwa, illat bukan hanya ada pada ashal, akan tetapi diyakini juga ada pada ashal.
Dengan demikian seperti ini, kira-kira terwujudnya qiyas qhoth’i di mana? Jawabannya adalah terjadi di dalam tiga hal. Pertama, ketika al-far’u lebih kuat dari pada ashal. Kedua, apabila al-far’u dan ashal setara. Akan tetapi, hal yang demikian biasanya tidak disebut dengan qiyas, melainkan disebut dengan mafhum mukhalafah atau disebut dengan dhalalah al-nass dalam versi Hanafiyah.
Sudah barang tentu yang kita bicarakan ini adalah qiyas juz’i. Dalam hal ini, yang di qiyas-kan adalah hadis-hadis “iya”, sedangkan untuk al-far’u yang di qiyasi adalah hadis-hadis “iya” juga. Kenapa demikian? Karena kadang kala ada yang namanya qiyas kulli yang di qiyas-kan adalah hadis-hadis “iya”, akan tetapi maqis aly-nya adalah adalah sesuatu yang kulli. Misalnya, bolehkah orang yang kerja keras meninggalkan (atau tidak) puasa? Tentu hal yang demikian ini di qiyas-kan dengan musafir, dan tidak bisa menggunakan qiyas kulli.
Lalu bagaimana jika menggunakan qiyas juz’i? Yang jelas sebab, karena bolehnya tidak berpuasa bagi musafir adalah karena, safar itu memiliki illat qashir yang hanya dimiliki oleh musafir tidak dimiliki oleh siapapun. Berhubung orang yang kerja keras bukan musafir, maka tidak boleh (harus berpuasa). Namun, jika melakukan terobosan di balik safar sudah pasti ada masyaqqah. Jadi yang menjadi acuan bukan safar, melainkan hikmah yang ada dibalik illat.
Klasifikasi dan cakupan takhrij
Tentang takhrij. Jika rinci ada tiga macam. Pertama, adalah takhrij al-ushul min al-furu’ (melahirkan kaidah-kaidah ushuliyah dari furu’). Hal ini biasanya dilakukan oleh Hanafiyah. Kita tahu bahwa dalam ushul fiqih ada dua thariqoh. Yaitu thariqotul mutakallimin dan thariqotul Hanafiyah. Thariqotul mutakallimin adalah top down, sedangkan thariqotul Hanafiyah adalah bottom up.
Artinya, dari furu’ ini, maka lahirlah kemudian yang namanya ushul. Contohnya, apakah al-amru itu li at-tarkhhi apakah li al-fauri. Tentang hal ini, Imam Malik sendiri tidak punya pendapat, akan tetapi Ulama Malikiyah mengatakan bahwa al-amru ala al-fauri. Kenapa mereka mengatakan seperti ini? Karena, Imam Malik mengatakan bahwa al-Hajj ala al-fauri (dari al-far’u lahirlah ushul).
Contoh lain, apakah dhalalah-nya lafad am itu qath’iyah apa dhanniyah? Ulama Hanafiyah tidak pernah bilang apa-apa tentang hal ini. Berbeda dengan Ulama Hanafiyah yang mengatakan bahwa, dhalalah-nya lafad am selama belum di takhshis adalah qath’iyah. Karena itu, maka tidak bisa di takhshis dengan dalil-dalil dhanni semacam hadis ahad. Pertanyaanya adalah apa dasarnya?
Ada hadis yang mengatakan artinya “hasil bumi (zakatnya) adalah 1/10”. Sementara ada hadis lain yang mengatakan “sayur-mayur itu tidak ada wajib zakatnya”. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa, hadis yang pertama tidak bisa di takhshis dengan hadits yang kedua. Kenapa demikian? Karena yang pertama adalah am, lafad am, dan dhalalah-nya selama belum di takhshis adalah qath’i (sehingga tidak bisa di takhshis dengan hadis ahad yang bersifat dhanni). inilah contoh takhrijul ushul min al-furu’ (melahirkan kaidah-kaidah ushuliyah dengan mengumpulkan far’u-far’u yang ada disimbolkan dengan sebuah kaidah ushuliyah).
Kedua, adalah takhrij al-furu’ ala al-ushul. Yang jelas hal Ini bentuknya ada dua. Bentuk pertama, ada sebuah masalah, Imam Syafi’i misalnya sudah punya pendapat tentang masalah itu, akan tetapi kita melakukan takhrij untuk sekedar ingin mengetahui ma’khot furu’ itu. Pertanyaanya adalah al-far’u ini berdasarkan kaidah apa?
Misalnya, seperti kebijakan-kebijakan ulama NU. Ulama NU menerima pancasila sebagai dasar negara ini adalah far’u. Mereka menyetujui pencoretan Piagam Jakarta dan seterusnya, serta mau bergabung dengan NASAKOM (inilah far’u-far’u). Dari sini, jika di tanya, kira-kira ushul-nya apa? Atas alasan apa furu’-furu’ ini di bangun?
Bentuk kedua adalah, ada suatu masalah yang kita tidak tahu hukum dari masalah itu karena tidak ada nass dari pada imam. Kita melakukan takhrij untuk apa? Misalnya, kalau di jadikan ushul apa masalahnya, lalu kita memutuskan persoalan dikaitkan dengan ushul yang sudah dibangun oleh para ulama zaman dulu.
Contoh lain misalnya, kita punya konsep ijbar. Konsep ijbar didalam wilayah pernikahan kira-kira patokannya apa? Ada hadis yang mengatakan “perempuan yang sudah janda lebih berhak menyangkut dirinya dari pada walinya”. Kalau kita ambil mafhum mukhalafah-nya, berarti “perempuan yang masih perawan walinya lebih berhak dari pada dirinya”, sehingga lahirlah konsep ijbar.
Sembelihan yang tanpa membaca basmalah, halalkah apa tidak? Ayatnya mengatakan “janganlah kamu makan hewan yang ketika disembelih tidak disebut nama Allah”. Menurut Imam Syafi’i hal itu tetap halal. Sementara Imam Abu Hanifah mengatakan tidak halal. Kenapa Imam Imam Syafi’i mengatakan halal? Karena di takhshis dengan hadis yang mengatakan “sembelihannya orang muslim halal”. Sementara Imam abu hanifah mengatakan haram karena, hadits ini adalah ahad (tidak bisa men-takhshis keumuman ayat yang bersifat qath’i).
Contoh lain juga, apakah al-ashlu al-ta’abbud atau al-ashlu al-ta’lil? Dalam hal ini, ada perbedaan antara Imam Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i mengatakan al-ashlu fi al-hukmi adalah al-ta’abbud. Sementara Abu Hanifah mengatakan al-ashlu fi al-hukmi adalah al-ta’lil.
Karena perbedaan ini, akhirnya terjadi perbedaan banyak dalam persoalan-persoalan furu’. Misalnya, Imam Syafi’i mengatakan bahwa “hanya air saja yang bisa digunakan untuk mensucikan najis”, sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan “barang cair apapun bisa menggantikan air”.
Kemudian juga, takbir Allahu akbar menurut Imam Syafi’i “tidak bisa diganti dengan lafad yang lain” sekalipun memiliki satu arti (karena al-mutaabbad fi al-lafdi). Berbeda dengan se Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa “bisa saja dengan yang lain”. Demikian juga dengan salam (Assalamualaikum) tidak bisa diganti diganti dengan yang lain, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah boleh asalkan satu makna.
Ketiga, takhrij al-furu’ ala al-furu’ (furu’ melahirkan furu’). Berbicara hal ini, maka perlu membahas tentang al-ashbah wa al-nadhair. Sebagian ulama membedakan antara al-ashbah dan al-nadhair. Karena itu, para ulama di dalam melakukan takhrij melalui al-ashbah wa al-nadhair berpedoman kepada wasiat Sayyidina Umar kepada Abu Musa al-Asy’ari ketika beliau berhadapan dengan persoalan hukum.
Beliau berwasiat, kamu harus tahu persoalan-persoalan yang mirip satu sama lain, kemudian lakukanlah qiyas pada saat itu, kemudian pilihlah yang menurut engkau itu lebih dekat kepada kebenaran dan lebih disukai oleh Allah Swt. Dalam hal ini, kita memahami dan melakukan qiyas far’in ala far’in. Oleh karena itu, dalam melakukan takhrij ini, maka tidak bisa dipisahkan dari pada qiyas. Bersambung…