(Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam) |
KULIAHALISLAM.COM – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia telah dilaksanakan secara serentak sebanyak 3 (lima) kali yakni pada tahun 2015, 2017, dan 2018, 2020 dan berlanjut tahun 2024. Secara filosofis, pilkada serentak dilaksanakan untuk mengefisiensikan anggaran, menekan pelanggaran dan kecurangan (electoral malpractices) serta meminimalisir gejala sosial-politik dari adanya pilkada yang sebelumnya dilaksanakan secara terpisah berdasarkan periode akhir masa jabatan setiap kepala daerah.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak menjadi arena baru bagi rakyat Indonesia. Bukan hanya pada persoalan berbeda waktu pelaksanaan, sistem pelaksanaan, prosedur dan mekanisme pemilihannya, tetapi juga tetapi juga soal, yang oleh Brian C. Smith dan Robert Dahl katakan adalah untuk menciptakan local accountability, political equity dan local responsiveness. Pilkada serentak karenanya berupaya membangun demokratisasi di tingkat lokal agar terimplementasikan dengan baik, tak hanya terkait pada tingkat partisipasi, tetapi juga relasi kuasa yang dibangun, yang bersumber dari pelaksanaan azas kedaulatan rakyat. Selain itu, hasil pilkada juga harus mampu menghantarkan masyarakat pada kondisi sosial, politik dan ekonomi yang lebih baik.
Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat yang sangat dinamis Dinamika penyelenggaraan Pilkada tersebut dapat dipetakan dalam empat hal: Pertama, legitimasi penyelanggaraan Pada sisi ini tidak hanya berkaitan dengan dasar hukum penyelenggaraan Pilkada melainkan juga tentang peletakkan rezim Pilkada dalam perspektif Peraturan Perundang-undangan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 97/PUU-XI/2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 55/PUU-XVII/2019. Tidak hanya itu, legitimasi ini juga berkaitan dengan pemberlakuan Pilkada Asimetris Kedua, kelembagaan Persoalan kelembagaan disini meliputi lembaga penyelenggara dan lembaga peradilan dalam hal terjadi pelanggaran, sengketa, tindak pidana dan perselisihan selama penyelenggaraan Pilkada Ketiga, kompetisi Dinamika kompetisi dapat difokuskan pada waktu penyelenggaraan baik penyelenggaraan dalam keadaan normal, hukum darurat negara dan penundaan demi Pilkada serentak nasional Kompetisi Pilkada juga berkaitan dengan masa kampanye, debat dan hak pilih warga negara Keempat, legitimasi kekuasaan Legitimasi kekuasaan berkaitan dengan rentang waktu jabatan kepala daerah dapat dijabat oleh seseorang mulai dari pelantikan, masa jabatan, pemberhentian hingga Pergantian Antar Waktu.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di daerah. Hal ini merupakan bagian dari perkembangan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang mengalami berbagai perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah prinsip otonomi yang berarti keleluasaan untuk mengatur daerahnya sendiri pada setiap daerah. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah.
Isi Krusial Pilkada
Pilkada telah memberikan ruang bagi munculnya tokoh-tokoh lokal dalam memimpin bangsa ini. Melalui pilkada langsung sejumlah tokoh pemimpin lokal hadir dengan membawa agenda perubahan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Ada sejumlah pemimpin lokal yang berhasil menciptakan prestasi menggembirakan. Sebut saja Risma di Surabaya, Nurdin Abdullah di Bantaeng, Ridwan Kamil di Kota Bandung, Ahok DKI Jakarta dan seterusnya. Kepala daerah yang disebutkan tersebut merupakan pemimpin yang lahir dari ‘rahim’ masyarakat bawah. Namun, berdasarkan proses kontestasi pilkada kerapkali memakan korban akibat praktek demokrasi secara sewenang-wenang, penyalahgunaan kekuasaan melalui intervensi birokrasi, penyimpangan dan diskriminasi aturan terhadap pasangan calon, dan tindakan manipulasi data pemilih, abuse of authority, money politics, black campaing, dan tindakan lainnya yang mengarah pada tujuan akhir dari Pilkada tersebut. Namun, muncul faktor-faktor krusial yang menentukan kesuksesan dan kemajuan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah serentak tersebut, adalah antara lain;
1). Kegagalan Kaderisasi
Gagal dan mandeknya kaderisasi parpol. Pada umumnya parpol di negeri ini bukan hanya tidak menjadikan kaderisasi sebagai basis rekrutmen politik, tetapi juga kaderisasinya sendiri tidak berjalan. Akibatnya, sebagian partai lebih memilih jalan pintas dan pragmatis, yakni menunggu permohonan rekomendasi dari figur publik yang ingin maju dalam pilkada. Parpol tidak bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya, sehingga para elite parpol akhirnya hanya “memperjualbelikan” otoritas sebagai pemberi rekomendasi bagi setiap paslon yang hendak berkompetisi dalam pilkada. Ini tentu sebuah ironi di tengah begitu tingginya ekspektasi publik atas peningkatan kualitas demokrasi kita.(Syamsuddin Haris, 2018).
Fenomena lain yang tertangkap cukup kuat di balik hiruk-pikuk Pilkada adalah kecenderungan sebagian partai politik mempromosikan figur di luar kader mereka sendiri. Tokoh-tokoh nonkader ini cukup beragam, mulai dari tentara, polisi, petahana dari parpol berbeda, birokrat, hingga tokoh agama dan artis. Sekadar contoh, PDI Perjuangan sekurang-kurang mengusung empat purnawirawan jenderal sebagai cagub dan cawagub (di Jabar, Maluku, Kaltim), baik yang berasal dari TNI maupun Polri, sedangkan Gerindra setidak-tidaknya mencalonkan tiga orang purnawirawan jenderal TNI untuk cagub dan cawagub, yakni di Jabar, Sumut, dan Sulsel.
2). Mahar yang Semakin Mahal
Maraknya paslon tunggal dalam pilkada tampaknya juga terkait dengan semakin tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan kandidat jika ingin diusung oleh parpol atau koalisi parpol. Pada saat yang sama, paslon petahana yang memiliki elektabilitas tinggi dan/atau mempunyai dukungan dana yang besar, memborong dukungan partai agar peluang menang, lantaran paslon tunggal, menjadi lebih besar lagi.
Salah satu persoalan besar di balik skema pilkada secara langsung yang digelar sejak 2005 adalah sistem pencalonan pilkada yang masih tersentralisasi di pimpinan pusat partai di Jakarta. Semua kandidat alias paslon yang diusung oleh suatu parpol di daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota, harus memperoleh surat rekomendasi pimpinan pusat partai, serta ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jendral partai. KPU di semua tingkat akan menolak paslon yang diusung suatu partai jika belum disertai surat rekomendasi tersebut.
Dampak dari proses kandidasi seperti ini adalah munculnya ketergantungan pengurus wilayah dan cabang partai kepada pengurus pusat. Lebih jauh lagi, ketergantungan pengurus daerah yang tinggi terhadap pengurus pusat melahirkan peluang jual-beli dukungan, restu, dan tentu saja surat rekomendasi, atau populer dengan sebutan “rekom”. Akhirnya rekom inilah yang diburu oleh para pengurus daerah dan tokoh-tokoh yang berminat maju sebagai kandidat dalam pilkada. Sudah bisa diduga pula, puluhan dan bahkan mungkin ratusan kantong uang tunai berpindah tangan dari orang daerah ke “oknum” pengurus atau pimpinan partai di Jakarta. Fenomena ini melahirkan istilah “mahar politik”, yakni semacam ongkos politik bagi paslon jika ingin memperoleh rekomendasi dari partai untuk berlaga di pilkada.(Syamsuddin Haris, Kompas 2018).
Memang benar bahwa menjadi bupati, walikota, gubernur, atau anggota legislatif merupakan hak politik setiap warga negara. Juga benar bahwa parameter tertinggi dalam pemilu yang bersifat universal adalah kepercayaan konstituen atau publik kepada kandidat. Masyarakat pemilih atau publiklah yang pada akhirnya menilai siapa yang layak dan tidak layak untuk dipilih sebagai wakil ataupun pemimpin mereka. Namun demikian, jelas tidak benar pula jika dikatakan bahwa tidak diperlukan pengaturan terkait syarat-syarat bagi para kandidat pejabat publik mengingat tanggung jawab mereka yang begitu besar. Menjadi pejabat publik bukan sekadar merebut dukungan pemilih dan memenangkan pemilu, termasuk Pilkada, melainkan juga mengelola pemerintahan secara efektif, transparan, dan akuntabel.
Dengan demikian, demokrasi Pilkada pun tidak sekadar menjadi ajang pertaruhan kepentingan mereka tidak layak menjadi calon kepala dan wakil kepala daerah. Demokrasi Pilkada bagaimana pun telah menjadi bagian dari perkembangan demokrasi lokal di negeri ini. Oleh karenanya pembenahan atas segenap prosesnya tetap harus dilakukan agar demokrasi Pilkada pada akhirnya berkontribusi bagi peningkatan efektifitas pemerintahan, pelayanan publik, serta keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Akhirnya, pemilihan kepala daerah atau pilkada adalah sarana untuk mengevaluasi, memilih, dan menilai kedaulatan pemerintah daerah melalui proses pemilihan sebagai penegakkan kedaulatan rakyat.