Bukan dekadar tepukan, filosofi dan ajaran mulia dibalik tepuk sakinah. Fenomena “Tepuk Sakinah” yang populer dalam bimbingan perkawinan di Indonesia mungkin terlihat sederhana—hanya sebuah yel-yel dengan gerakan tepukan tangan. Namun, di balik rima dan ritmenya yang ringan, tersimpan sebuah filosofi agung dan ajaran mulia tentang lima pilar utama yang harus dibangun oleh setiap pasangan untuk mencapai keluarga sakinah (damai, tentram).
“Tepuk Sakinah” dirancang sebagai alat bantu memori (mnemonik) yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan substantif dalam waktu singkat, mengubah bimbingan yang kaku menjadi lebih interaktif dan mudah diingat, terutama oleh generasi muda. Sebagaimana disampaikan oleh Akademisi IPB University, bentuknya yang ringan dan mudah diingat membantu memperkuat memori akan nilai-nilai rumah tangga yang penting.
Esensi dari Tepuk Sakinah adalah kesadaran bahwa pernikahan adalah perjalanan spiritual yang membutuhkan komitmen mendalam dan usaha yang berkelanjutan. Lima kunci keluarga sakinah dalam yel-yel ini merangkum nilai-nilai fundamental pernikahan dalam Islam.
- Berpasangan (Zawaj)
Kata pertama, Berpasangan (Zawaj), adalah fondasi dasar. Ia menegaskan bahwa pernikahan adalah penyatuan dua insan yang saling melengkapi dan berjalan dalam satu visi.
Makna dan Dalil:
Makna: Merujuk pada konsep Zawaj (berpasangan), yaitu ikatan sah yang menjadi pintu gerbang terbentuknya rumah tangga. Konsep ini mengakui bahwa manusia diciptakan berpasangan untuk saling mengisi.
Dalil Terkait (Q.S. Ar-Rum: 21):
Allah berfirman,
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ٢١
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang ber1fikir.”
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan tujuan berpasangan (azwaj), yaitu untuk mencapai sakinah (ketenangan), yang diiringi oleh mawaddah (cinta yang membara) dan rahmah (kasih sayang yang bersifat jangka panjang dan saling membantu).
- Janji Kokoh (Mitsaqan Ghalidzan)
Kata kedua, Janji Kokoh (Mitsaqan Ghalidzan), mengangkat martabat pernikahan dari sekadar kontrak sosial menjadi perjanjian suci.
Makna dan Dalil:
Makna: Mengacu pada Mitsaqan Ghalidzan, yang berarti perjanjian yang kokoh, kuat, atau agung. Dalam Al-Qur’an, istilah ini digunakan untuk perjanjian terberat, yaitu antara Allah dengan para nabi (Ulul Azmi) dan antara Allah dengan Bani Israil, dan juga dalam ikatan pernikahan.
Dalil Terkait (Q.S. An-Nisa: 21):
Allah berfirman,
وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا ٢١
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali (mahar), padahal sebahagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalidzan).”
Pernikahan adalah janji suci kepada Allah. Hal ini menuntut kesetiaan, tanggung jawab, dan keteguhan hati. DR. Ma’mun Murod Al-Barbasy (Dosen Uhamka) menekankan bahwa karena disebut Mitsaqan Ghalidza, pernikahan bukanlah perjanjian yang bisa dimain-mainkan atau diakhiri tanpa alasan yang dibenarkan syariat.
- Saling Cinta, Saling Hormat, Saling Jaga (Mu’asyarah Bil Ma’ruf)
Baris ini adalah jantung dari interaksi harian, merangkum prinsip Mu’asyarah Bil Ma’ruf.
Makna dan Dalil:
Makna: Mu’asyarah Bil Ma’ruf adalah hidup berdampingan dengan cara yang baik, patut, dan sesuai norma agama serta sosial. “Saling Cinta, Saling Hormat, Saling Jaga” adalah indikator konkret dari Mu’asyarah Bil Ma’ruf.
Saling Cinta & Hormat: Melibatkan kelembutan, komunikasi yang baik, dan pengakuan atas hak dan kedudukan pasangan.
Saling Jaga: Berarti melindungi kehormatan, rahasia, dan harta pasangan, serta saling mendukung dalam kebaikan (keshalihan).
Dalil Terkait (Q.S. An-Nisa: 19):
Allah berfirman,
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۚ
“Dan bergaullah dengan mereka (istri-istrimu) secara patut (bil ma’ruf).”
Mu’asyarah bil Ma’ruf adalah konsep kesalingan antara suami dan istri untuk menghadirkan setiap perbuatan baik dalam rumah tangga ketika berinteraksi dan berkomunikasi. Suami dan istri seperti pakaian (libas), yang saling melindungi, menghangatkan, dan menghiasi (Q.S. Al-Baqarah: 187).
- Saling Ridho (Taradhin)
Kata Saling Ridho (Taradhin) adalah penutup dari prinsip Mu’asyarah Bil Ma’ruf dan kunci untuk menerima kekurangan.
Makna dan Dalil:
Makna: Taradhin berarti saling rida, saling ikhlas, dan saling menerima. Ini merupakan tingkat tertinggi dalam kerukunan rumah tangga, di mana setiap pihak merasa nyaman dan rela menerima pasangannya apa adanya, termasuk kelebihan dan kekurangannya.
Dalil Terkait (An-Nisa: 29):
Meskipun kata ‘an taradhin dalam Al-Qur’an (Q.S. An-Nisa: 29) sering dikaitkan dengan prinsip dasar dalam transaksi jual-beli, ulama juga mengaitkannya sebagai prinsip penting dalam interaksi rumah tangga, yaitu dasar kerelaan dan keikhlasan. Hal ini sejalan dengan anjuran bersabar terhadap pasangan, sebab kebaikan yang banyak bisa jadi terdapat pada hal yang tidak kita sukai (Q.S. An-Nisa: 19).
- Musyawarah
Kata terakhir, Musyawarah, adalah mekanisme untuk menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan bersama.
Makna dan Dalil:
Makna: Musyawarah adalah dialog untuk mencari solusi terbaik secara bersama, mengakui bahwa rumah tangga adalah kemitraan yang membutuhkan kesepakatan dan menghargai pandangan.
Dalil Terkait (Q.S. Asy-Syura: 38):
Allah berfirman,
وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَۚ ٣٨
“sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.”
Prinsip musyawarah ini juga ditegaskan dalam konteks penyelesaian konflik rumah tangga, di mana Al-Qur’an menganjurkan adanya perundingan melalui hakim (penengah) dari kedua belah pihak jika terjadi persengketaan (Q.S. An-Nisa: 35). Musyawarah menjamin bahwa tidak ada keputusan sewenang-wenang dan mengarahkan keluarga pada kesepakatan yang adil.
Refleksi
Fenomena “Tepuk Sakinah” ini telah menjadi pengingat yang penting. Sejumlah ahli menilai bahwa inovasi ini layak diapresiasi.
Dengan angka perceraian yang masih tinggi, Tepuk Sakinah mengajarkan bahwa membangun keluarga sakinah tidak cukup dengan yel-yel, tetapi butuh kesiapan yang matang. Ia menanamkan harapan realistis tentang pernikahan: ia adalah Mitsaqan Ghalidzan yang membutuhkan Mu’asyarah Bil Ma’ruf dan penyelesaian masalah melalui Musyawarah yang dilandasi Taradhin, agar tercapai ketenangan dan kedamaian sejati.
Tepuk Sakinah adalah sebuah ajakan ringan dengan pesan yang berat: pernikahan adalah ibadah seumur hidup yang fondasinya adalah komitmen kepada Tuhan dan kesalingan kepada pasangan.

