Modernisasi yang berkembang pesat pada abad ke-19, bersamaan dengan pengaruh Barat yang semakin kuat di dunia Islam, memunculkan perdebatan besar mengenai otoritas keagamaan. Salah satunya adalah hadis dan sunnah sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Quran.
Sejumlah pemikir Muslim, mulai dari Sayyid Ahmad Khan hingga Fazlur Rahman, mulai merasakan perlunya mengkaji ulang hadis dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai modern, seperti rasionalitas, kesetaraan gender, dan hak-hak individu yang menyebabkan banyaknya paradigma yang berbeda dalam memahami hadis, (Maizuddin, 2012:7).
Pemikiran modern tentang hadis bisa dibagi ke dalam beberapa kelompok, tergantung bagaimana para pemikir melihat dan menanggapi hadis. Berikut adalah beberapa tipologi pemikiran yang berkembang. Sebagai contoh, yang pertama adalah tipologi tradisionalistik. Pemikir yang mengikuti pendekatan ini meyakini bahwa semua hadis yang sahih menurut kitab klasik, seperti Bukhari dan Muslim, tetap relevan dan wajib diterapkan tanpa perlu mempertimbangkan konteks zaman.
Para pendukungnya lebih menekankan pada keabsahan sanad (rantai perawi) dan tidak terlalu mempermasalahkan matan (isi) hadis. Mereka beranggapan bahwa setiap hadis sahih sudah mencakup kebenaran yang berlaku sepanjang masa, (Syuhbah, 1969:45).
Kemudian tipologi reformistik, kelompok ini diwakili oleh pemikir seperti Muhammad Abduh dan Muhammad Rashid Rida, yang mengusulkan perlunya evaluasi terhadap hadis-hadis, khususnya yang sulit dipahami atau bertentangan dengan nilai-nilai modern.
Mereka berpendapat bahwa hanya hadis yang sesuai dengan Al-Quran dan akal sehat yang harus dijadikan pedoman hukum. Selain itu, mereka juga mulai mengkritik metode penerimaan hadis yang terlalu mengandalkan sanad tanpa memperhatikan konteks dan isi hadis itu sendiri, (Abduh, 1964:125; Ridha, 1973:693).
Selanjutnya tipologi dekonstruktif, para pemikir dalam kelompok ini, seperti Fatima Mernissi dan Jamal al-Banna, lebih berani mengkritik hadis yang dianggap mendiskriminasi perempuan atau membatasi hak-hak tertentu. Mereka skeptis terhadap keabsahan hadis yang mengandung unsur misoginis dan berpendapat bahwa hadis-hadis seperti ini perlu disingkirkan dari pedoman hukum Islam. Pendekatan ini menimbulkan kontroversi, karena dianggap meragukan keabsahan seluruh otoritas hadis dalam Islam, (Fatima, 1991:62; Jamal, 1999:245).
Dan yang terakhir ialah tipologi idealistik, salah satu tokoh kelompok ini seperti Yusuf al-Qaradawi menawarkan pandangan bahwa hadis sebaiknya dibedakan menjadi dua kategori: sunnah tasyri’iyah (yang mengandung nilai hukum) dan sunnah non-tasyri’iyah (yang bersifat kultural).
Pendekatan ini memungkinkan umat Islam untuk membedakan mana hadis yang harus diikuti sebagai hukum dan mana yang bersifat budaya atau rekomendasi saja. Pendekatan ini lebih diterima oleh mereka yang mencari jalan tengah antara ajaran klasik Islam dan perkembangan modern, (al-Qardhawi, 1969:60).
Dalam menerapkan hal-hal di atas, tentu menghadapi beberapa tantangan besar terhadap pemikiran hadis di era modern, ya g pertama dari segi perkembangan ilmu pengetahuan dan logika modern. Banyak hadis yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan modern atau yang terkesan irasional sering menjadi bahan perdebatan. Sebagai contoh, hadis yang menyatakan bahwa matahari “bersujud” di bawah singgasana Tuhan atau hadis yang mengatakan bahwa sayap lalat memiliki kekuatan penyembuh. Hal-hal seperti ini sulit diterima oleh logika ilmiah dan prinsip-prinsip kebersihan yang dianjurkan dalam Islam, (Ridha, 1935:46)
Selanjutnya ada juga tantangan dalam isu gender dan kebebasan perempuan. Seiring dengan munculnya pemikiran tentang kesetaraan gender di dunia modern, banyak sarjana Muslim yang mengkritik hadis-hadis yang dianggap menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Pemikir seperti Qasim Amin berargumen bahwa banyak hadis yang tampak diskriminatif sebenarnya merupakan hasil produk budaya pada masa tertentu dan tidak lagi relevan untuk diterapkan secara literal di zaman sekarang, (Fatima, 1991:75).
Terakhir ialah krisis politik dan hubungan agama-negara. Setelah berakhirnya penjajahan, banyak negara Muslim yang mencari pedoman dari hadis untuk membangun sistem politik mereka. Beberapa hadis yang membahas kepemimpinan, seperti hadis yang menyebutkan bahwa pemimpin harus berasal dari suku Quraisy, mendapat kritikan dari pemikir modern yang merasa bahwa prinsip-prinsip politik Islam seharusnya lebih terbuka dan demokratis, (Raziq, 1925:135).
Disamping tantangan yang ada, perkembangan pemikiran hadis modern ini juga membawa dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam, sebagai contoh dinamika dalam metode pendidikan Islam yang semakin maju. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran kritis terhadap hadis membuka ruang bagi dialog lebih luas di lingkungan akademis dan lembaga pendidikan Islam.
Beberapa perguruan tinggi Islam kini mulai mengadopsi pendekatan yang lebih terbuka dan kontekstual dalam mempelajari hadis. Namun, hal ini juga menimbulkan polemik di kalangan tradisionalis yang merasa bahwa kritik terhadap hadis bisa mengurangi nilai sakral ajaran Islam, (Maizuddin, 2012:82; Juynboll, 1996:132).
Yang kedua ialah penguatan wacana gender dalam islam. Adanya Kritik terhadap hadis yang dianggap mendiskriminasi perempuan memberi dorongan besar bagi kaum perempuan Muslim untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Kajian-kajian kontemporer mulai menafsirkan ulang peran perempuan dalam agama dan masyarakat dengan cara yang lebih inklusif dan berperspektif gender, (Amin, 1899:92).
Dan yang terakhir adanya pergeseran dalam praktik sosial dan hukum. Pemikiran hadis yang lebih fleksibel memungkinkan umat Islam untuk lebih mempertimbangkan situasi dan kebutuhan zaman dalam menerapkan hukum Islam. Misalnya, penerapan hukum Islam yang lebih kontekstual dalam bidang politik dan pemerintahan semakin diperbincangkan oleh para pemikir Islam untuk menyesuaikan dengan kondisi sosial yang berkembang, (Maizuddin, 2012:151; al-Qardhawi, 1969:65).
Berdasarkan pengamatan terhadap pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah, tipologi pemikiran hadis modern merupakan respons terhadap berbagai tantangan yang dihadapi oleh umat Islam di era modern. Ada kebutuhan mendesak untuk mengkaji ulang pemahaman dan penerapan hadis agar tetap relevan tanpa menghilangkan prinsip dasar ajaran Islam.
Perkembangan pemikiran ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan pribadi umat Islam, tetapi juga membuka jalan bagi masyarakat Muslim untuk menghadapi tantangan zaman dengan cara yang lebih relevan dan bermakna.
Daftar Bacaan:
Maizuddin. 2012. Tipologi Pemikiran Hadis Modern Kontemporer. Banda Aceh: Ar-Raniry Press.
Abduh, Muhammad. 1964. Risalah al-Tauhid. Kairo: Al-Manar.
Ridha, Muhammad Rasyid. 1973. Al-Manar, Jilid XII. Beirut: Daar al-Fikr.
Qardhawi, Yusuf al-. 1969. As-Sunnah Mashdaran li al-Ma’rifah wa al-Hadharah. Kairo: Maktabah Wahbah.
Ridha, Muhammad. 1935. Fatawa Al-Manar, Jilid 4. Beirut: Daar al-Kitab al-Jadid.
Mernissi, Fatima. 1991. The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Islam. New York: Basic Books.
Raziq, Abdul. 1925. Al-Islam wa Ushul al-Hukm. Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyah.
Juynboll, G.H.A. 1996. The Authenticity of Tradition Literature. Leiden: E.J. Brill.
Amin, Qasim. 1899. Tahrir al-Mar’ah. Kairo: Daar al-Ma’arif.
Al-Banna, Jamal. 1999. Nahwa Fiqh Jadid. Jilid 3. Kairo: Daar al-Hilal.