Agama, marxisme, dan pertarungan besar zaman ini. Di dunia hari ini, kita sering dipaksa memilih: mau jadi orang beragama atau jadi kritikus sosial yang radikal. Seolah-olah keduanya nggak mungkin jalan bareng. Padahal, kalau kita jujur, sejarah sudah berkali-kali membuktikan bahwa iman dan perjuangan sosial bukan dua jalur yang terpisah, melainkan dua arus besar yang bisa saling menguatkan.
Agama, di satu sisi, memang sering dipakai sebagai alat penguasa. Ia bisa jadi tameng status quo, jadi pembenar ketidakadilan. Tapi jangan lupa, agama juga sering muncul sebagai jeritan protes orang kecil, sebagai penggerak massa tertindas. Teriakan iman bisa lebih menggetarkan ketimbang slogan politik manapun. “Allahu Akbar!” di jalanan, atau “Hosanna!” di gereja awal, pernah jadi alarm perlawanan. Agama bukan hanya ritual, ia bisa jadi api.
Di sisi lain, kritik sosial modern yang sering datang dari tradisi Marxis menawarkan sesuatu yang agama sering lewatkan: analisis tajam tentang bagaimana kekuasaan dan modal bekerja. Ia membongkar ilusi, menunjukkan bahwa penderitaan bukan takdir, tapi hasil sistem. Tanpa analisis kelas, agama rawan berhenti di seruan moral: “berbuat baiklah”, “sedekah lebih banyak”, “pemimpin harus bijak”. Padahal yang kita hadapi bukan sekadar kurangnya moral, tapi mesin kapitalisme yang memang didesain untuk menindas.
Api Iman dan Analisis Sosial
Nah, bayangkan kalau dua kekuatan ini ketemu. Iman yang membakar hati, plus teori yang menajamkan otak. Moralitas yang menggerakkan massa, plus analisis struktural yang menuntun langkah. Kombinasi ini bisa jadi senjata paling berbahaya bagi penguasa: kekuatan spiritual yang terorganisir dengan logika materialis yang tajam.
Masalahnya, kita masih sering terjebak di kubu-kubuan: yang religius curiga pada “Marxisme” sebagai ateisme; yang radikal curiga pada agama sebagai candu. Padahal kenyataannya lebih rumit: candu bisa bikin lupa, tapi juga bisa jadi obat penghilang rasa sakit. Agama bisa meninabobokan, tapi juga bisa membangunkan. Kritik sosial bisa kering dan dingin, tapi juga bisa menjadi peta jalan pembebasan.
Pertarungan zaman ini jelas: kapitalisme global yang makin rakus, merampas alam, menghisap tenaga kerja, memelihara ketimpangan. Melawannya butuh sesuatu yang lebih dari sekadar teori akademis atau doa di ruang sunyi. Kita butuh perlawanan yang punya dua kaki: satu berpijak pada iman yang menggerakkan, satu lagi berpijak pada sains sosial yang menyingkap akar masalah.
Bayangkan khutbah Jumat yang bukan hanya menasihati soal akhlak pribadi, tapi juga membongkar eksploitasi buruh. Bayangkan misa yang diakhiri dengan seruan solidaritas melawan perampasan tanah. Bayangkan majelis doa yang sekaligus jadi ruang diskusi soal ketidakadilan ekonomi. Di situlah iman berhenti jadi ritual kosong, dan kritik sosial berhenti jadi jargon kering.
Dan jangan lupa: kapitalisme selalu cerdik memecah kita. Ia ingin kaum religius sibuk dengan surga, dan kaum kritis sibuk dengan teori-supaya nggak pernah bertemu di jalan perjuangan. Maka tugas kita justru membalik logika itu: menyatukan iman dan analisis, doa dan aksi, spiritualitas dan materialisme historis.
Duet yang Ditakuti Penguasa
Lihatlah ke sejarah kita sendiri. Haji Misbach, yang dijuluki “Haji Merah”, pernah dengan lantang menyatukan Islam dan sosialisme melawan kolonialisme. Di Amerika Latin, para imam teologi pembebasan berdiri bersama petani miskin melawan rezim diktator. Bahkan di Rusia awal revolusi, kelompok Bolshevik berhasil merebut simpati kaum Muslim di Asia Tengah karena mereka tidak datang dengan wajah anti-agama, tapi dengan janji kebebasan dan keadilan. Semua contoh ini membuktikan satu hal: agama bisa jadi kawan revolusi, kalau dibaca dari kacamata kepentingan kaum tertindas.
Sayangnya, narasi ini jarang muncul. Yang lebih sering kita dengar adalah dua ekstrem: kaum sekuler yang sinis pada iman, dan kaum beragama yang curiga pada kritik sosial radikal. Akibatnya, keduanya gagal melihat potensi besar kalau energi moral iman dan ketajaman analisis sosial dipertemukan. Kita terus diadu: supaya doa tetap di masjid atau gereja, dan teori tetap di kampus atau ruang diskusi. Padahal, kalau dua arus itu masuk ke jalanan, penguasa bakal benar-benar ketar-ketir.
Bayangkan kalau solidaritas buruh bukan cuma soal kontrak kerja, tapi juga dianggap ibadah. Bayangkan kalau perjuangan melawan perampasan tanah dilihat sebagai bagian dari panggilan iman. Bayangkan kalau aktivis sosial nggak lagi memandang agama sebagai “penghalang”, tapi sebagai sumber energi yang bisa dipakai. Inilah mimpi tentang gerakan sosial yang lahir dari hati sekaligus dari akal.
Tentu, aliansi semacam ini rapuh. Akan ada titik-titik pisah. Akan ada tafsir agama yang cenderung tunduk pada penguasa, sama seperti ada juga arus kiri yang kaku, dingin, dan menolak dimensi spiritual sama sekali. Tapi justru di situlah tantangan kita: membangun jembatan, bukan tembok. Karena musuh kita jelas: sistem kapitalisme global yang merampas martabat manusia dan bumi.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita berani keluar dari jebakan lama: agama versus Marxisme, iman versus kritik sosial, surga versus dunia? Atau kita terus membiarkan diri dipecah, sibuk berdebat soal doktrin, sementara bumi makin rusak, buruh makin miskin, dan kapital terus berkuasa?
Jawaban saya jelas: kalau iman dibiarkan sendiri, ia tumpul. Kalau teori dibiarkan sendiri, ia kering. Tapi kalau keduanya berani bertemu, kita punya sesuatu yang jauh lebih besar: gerakan yang lahir dari hati sekaligus dari akal.
Dan itulah kombinasi yang paling ditakuti oleh para penguasa: iman yang menolak tunduk, plus pikiran yang menolak dibodohi.

