Penulis: Wilda Azzahratunnisa’ Saidatul Mufarrokhah*
KULIAHALISLAM.COM – Pada zaman modern ini banyak sekali kita jumpai guru milenial yang bersikap selayaknya teman bagi muridnya, lantas bagaimana seharusnya murid itu bersikap. Hubungan antara guru dan murid dibangun atas dasar rasa percaya dan hormat, sehingga ketika seorang guru memiliki hubungan yang baik dengan murid maka murid akan merasa mampu, kompeten, dan kreatif.
Adapun tugas seorang guru adalah berusaha mengembangkan potensi muridnya semaksimal mungkin sebagai konsekuensi sebagai seorang guru, guru senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan muridnya.
Namun yang menjadi pertanyaan pada era sekarang ini, bagaimana sikap murid kepada gurunya yang bersikap selayaknya teman. guru yang baik ialah guru yang tidak hanya mampu berprofesi sebagai pengajar.
Namun juga menjadi teman bagi muridnya, dalam artian guru tersebut mampu memeahami kepribadian dan kemampuan masing-masing muridnya serta dapat memberikan solusi atas masalah yang dihadapi oleh muridnya, cara itulah yang membuat ikatan guru dan murid menjadi erat.
Demikianlah konsep belajar yang sesuai dengan konsep merdeka belajar, belakangan ini sering muncul fenomena dari berbagai media bahwa guru zaman sekarang kerapkali bersikap layaknya teman bagi muridnya sehingga menjadikan murid lalai dalam batasan hormat dan bersikap terhadap gurunya.
Nah mengingat hal ini kita sebagai mahasiswa harus senantiasa menghormati dosen kita sebagaimana guru di waktu SD-SMA sebagaimana sikap para sahabat kepada rasulullah saw :
أنا أَبُو سَعِيدٍ مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى بْنِ الْفَضْلِ الصَّيْرَفِيُّ بِنَيْسَابُورَ، نا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الْأَصَمُّ، نا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، نا عَمَّارُ بْنُ نُوحٍ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ رَجَاءٍ الزُّبَيْدِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: «كُنَّا جُلُوسًا فِي الْمَسْجِدِ، إِذْ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَلَسَ إِلَيْنَا، فَكَأَنَّ عَلَى رُءُوسِنَا الطَّيْرُ لَا يَتَكَلَّمُ أَحَدٌ مِنَّا»
Aku Abu Sa’id Muhammad ibn Musa ibn al-Fadl al-Sayrafi di Nisabur, na Abu al-Abbas Muhammad ibn Ya’qub al-Asam, na al-Rabi’ ibn Sulayman, na Ammar ibn Nuh, dari ‘Abd al-Malik, dari Isma’il ibn Raja’ al-Zubaidi, dari ayahnya, dari Abu Sa’id al-Khudri, yang berkata:
“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah SAW duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan diatas kepala kami terdapat burung. Tak satupun dari kami yang berbicara. “(HR. Bukhari).
Dalam hadis tersebut dapat dimengerti bahwa, betapa indahnya adab para sahabat kepada Rasulullah SAW sangking hormat dan patuhnya mereka kepada Rasulullah SAW sampai digambarkan seperti itu di dalam hadis, keindahan yang berbalut keberkahan itu menghiasi mereka kapanpun dan dimanapun, sehingga bisa dijadikan contoh untuk murid murid zaman sekarang agar tidak sampai terjadi peristiwa yang tidak diinginkan atau yang bisa menyakiti hati seorang guru karna kita sebagai murid harus senantiasa memuliaknnya.
Seperti pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Al khatib Al baghdadi dari Jabir RA yang terdapat dalam kitab Tanqihul Qaul bahwasannya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Hormatilah para ulama, mereka adalah pewaris para nabi, barangsiapa yang menghormati mereka, ia telah memuliakan Allah dan Rasul-Nya.”
Dalam risalah imam Al Ghazali yang berjudul al Adab fid Din disebutkan, adab guru terhadap murid yakni: mendahului memberi salam, tidak banyak berbicara didepan guru, berdiri ketika guru berdiri, tidak menentang atau menyela pendapat guru, tidak ngobrol dengan teman disaat guru menjelaskan, tidak mengumbar senyum ketika berbicara dengan guru (ketika berbeda pendapat) atau istilahnya mengejek, tidak menarik pakaian guru ketika berdiri, tidak bertanaya suatu masalah di jalan hingga guru sampai di rumah, tidak banyak bertanya ketika guru sedang lelah.
Guru tidak sama dengan teman seorang murid harus memposisikan guru lebih tinggi dari teman, sehingga ketika berbicara dengan guru tidak boleh dengan tertawa terbahak-bahak, lantas bagaimana jika seorang gurulah yang bersikap berlebihan kepada seorang murid dalam konteks ”sebagai teman” sosok yang kita jadikan sebagai panutan yang seharusnya bisa menjaga sikap dan lisan justru menjelma menjadi seorang teman yang bisa bersikap apa saja kepada kita.
Maka disinilah etika memiliki peran penting etika yang menentukan apakah guru itu akan menjadi pengajar yang baik bagi muridnya atau bahkan sebaliknya. Jika ada seorang guru yang melanggar dan tidak melaksanakan norma yang sudah ditetapkan minimal seorang guru tersebut akan dikenakan sanksi sosial.
Murid tidak perlu mencari-cari kesalahannya apalagi menggibahkannya dibelakang cukup didoakan semoga bisa kembali pada sikap normal selayaknya guru yang profesional pada umumnya, sebagaimana potret para salaf dalam doanya;
اللهم استر عيب شيخي عني ولا تذهب بركة علمه مني
“Ya Allah tutupilah aib guruku dariku, dan janganlah kau hilangkan keberkahan ilmunya dariku.”
Dengan demikian jika ada seorang guru yang bersikap layaknya teman, maka pilihan terbaik kita sebagai seorang murid adalah dengan tidak menyambut sikap tersebut karena dikhawatirkan berkurangnya ketaatan dan ketawadhu’an seorang murid kepada gurunya, tetapi kita harus tetap menghormati dan menjaga sikap kepada siapapun yang berprofesi sebagai seorang guru.
Sebagaimana yang telah tertulis dalam kitab Adabul alim walmuta’alim karya KH. Hasyim Asyari yang menyatakan bahwa seorang pendidik (guru) harus bersungguh sungguh menghindari membahas sesuatu yang berlebihan dan tidak ada faedahnya.
Maka dari itu ketika ada fenomena guru yang bersikap layaknya teman bagi muridnya maka seorang murid sudah seharusnya bahkan wajib menghormati dan menghargainya karna bagaimanapun juga seorang guru adalah sosok yang sangat berjasa dalam hidup kita.
*) Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya.
Editor: Adis Setiawan