Sepanjang sejarah pendidikan di Indonesia, peran perempuan kerap terpinggirkan hingga muncul sosok seperti nyai Hj. Nur Khadijah Bisri. Yang merupakan salah satu tokoh pembawa perubahan besar terutama pada dunia pesantren.
Kiprahnya di kenal sebagai penggerak pendidikan muslimah sekaligus pendiri pondok pesantren putri pertama di Jawa bahkan di Indonesia yang terletak di wilayah pondok pesantren putri Denanyar kecamatan Jombang Jawa Timur.
Ini merupakan sebuah langkah trobosan besar pada zamanya yang membuka akses bagi perempuan untuk mengakses pendidikan agama secara formal dalam lingkungan pesantren.
Nyai Nur Khodijah lahir di tengah lingkup pesantren yang kental dengan nilai-nilai religius. Ia merupakan adik kandung dari KH Wahab Chasbullah sekaligus istri dari KH. Bisri Syansuri keduanya dikenal sebagai ulama terkemuka asal Jawa Timur yang turut berperan penting dalam mendikan organisasi keagamaan besar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU).
Nyai Hj Nur Khodijah lahir pada 21 Ramadan 1314 H, atau dalam masehi adalah, 23 Februari 1897. Dan menurut usia pada malam 25 Ramadan 1374/ 18 Mei 1955. Pada usia ke 22 tahun dia menikah dengan KH Bisri Syansuri pada tahun 1914.
Pasangan suami istri itu tidak mendirikan pondok segera setelah itu. Melainkan, mereka berkhidmad di pondok Tambak Beras, yang di asuh oleh kakaknya, KH Wahab Chasbullah, selama kurang lebih 3 tahun. Lalu dua tahun kemudian, pada 1917, mereka di beri sebidang tanah di desa Denanyar yang dekat dengan Tambak Beras. Pada tahun yang sama akhirnya berdirilah pondok Denanyar.
Berkat semangat juang dan tirakat beliau yang kuat pondok pesantren Denanyar ini dapat berdiri. Inisiatif ini lahir dari keprihatinan Nyai Nur Khodijah terhadap Muslimah dalam menuntut ilmu. Karena kurangnya saranan pendidikan Islam pada masa itu untuk perempuan dalam mengakses ilmu pendidikan mengharus mereka bolak balik antara rumah dan tempat pengajiaan.
Oleh karna itu, didirikanlah fasilitas pondok pesantren dan ruang belajar khusus menampung santriwati pertama di Indonesia. Nyai Nur Khodijah menekankan pentingnya kesetaraan pendidikan antara laki laki dan perempuan.
Dengan keyakinan bahwa baik pria maupun wanita memiliki hak yang sama untuk memperoleh ilmu pengetahuan, khususnya dalam hal pendidikan agama. Perempuan dapat terlibat aktif dalam proses pendidikan dengan mendapat kesempatan belajar setara dengan laki-laki di ruang lingkup pesantren.
Perjuangan yang dilakukan Nyai Nur Khodijah sejatinya mirip dengan perjuangan R.A. Kartini yakni memperjuangkan martabat dalam kehidupan sosial dan pendidikan. Meskipun beliau tak sepopuler R.A. Kartini namun kontribusinya dalam memajukan pendidikan bagi kaum lerempuan, khususnya kalangan Muslimah, sangatlah besar dan masih terasa hingga kini.
Di bawah bimbingannya, pesantren putri Denanyar menjadi tempat bagi para santriwati dalam mendalami berbagai disiplin ilmu keagamaan. Nyai Nur Khodijah sendiri yang mengajarkan kitab- kitab klasik atau kitab kuning secara langsung kepada para santriwatinya.
Di antara kitab yang di ajarkan adalah Adabul Mar’ah, Uqudul Jain, Safinatun Najah, dan Aqidatul Awam. Adapun 3 kategori santri yang di terima pada masa itu oleh Nyai Khadijah yang pertama adalah santri dari kalangan masyarakat sekitar, termasuk para tetangga tetangga nyai hj. Nur KHodijah di Jombang, yang memiliki keinginan untuk memperdalam ilmu agama langsung dari beliau.
Kedua, adalah santri yang sedang dalam masa persiapan menuju pernikahan. Mereka di bekali berbagai keterampilan dan pengetahuan dalam kehidupan bermasyarakat, seperti memimpin pembacaan diba’an, membaca doa khatmil Qur’an, dan lainnya.
Sementara itu, kategori terakhir mencakup santri yang tengah menghadapi persoalan dalam kehidupan rumah tangga, seperti ditinggal cerai oleh suami atau menjadi janda karena suaminya meninggal dunia.
Legasi dari Nyai Hj. Nur Khodijah tidak hanya berupa lembaga pendidikan tetapi juga semangan emansipasi perempuan dalam bingkai Islam. Ia menunjukan bahwa Islam sangat menghargai ilmu dan mendorong kuat perempuan untuk mencapainya.
Pesantren putri kini telah banyak tersebar luas di berbagai plosok tanah air yang merupakan bagian dari buah perjuangan awal yang telah beliau rintis.
Nyai Nur Khodijah bersama suaminya, KH Bisri Syansuri. Sepanjang hidupnya, jiwa dan raga mereka berdua dihibahkan untuk kebermanfaatan bagi umat melalui pesantren. Sepenuhnya untuk kemaslahatan umat melalui pesantren.
Pendirian pesantren mereka dasarkan pada niat ibadah kepada Allah, sekaligus sebagai ikhtiar memberantas kebodohan dan kemiskinan dari tengah masyarakat. Melalui usaha lahir dan barin yakn antara ikhtiar dan tirakat.
Selain mengerahkan seluruh potensi yang dimiliki, seperti harta, tenaga, pemikiran, dan ilmu Nyai Nur Khodijah bersama Kiai Bisri juga rajin berdzikir, berpuasa, berdoa terus menerus untuk keberlangsungan serta kemajuan pendidikan pesantren sebagai media dakwah.
Di antara dawuh Nyai Nur Khodijah yang paling membekas di kalangan santri adalah.
Tirakatmu menentukan masa depan suamimu
Hingga saat ini, dawuh tersebut tetap menjadi sumber semangat spiritual bagi para santri untuk terus memperbaiki diri, memperkuat ibadah, serta menanamkan keyakinan bahwa peran san doa seorang istri memiliki pengaruh besar dalam membentuk kehidupan rumah tangga yang penuh berkah.