KeislamanSejarah

Ajaran Dan Gerakan Sekte Al-Karamiah

4 Mins read

Kuliahalislam.Karamiah (al-Karamiyah) merupakan sebuah golongan yang merupakan cabang atau sekte dari aliran teologi Murjiah. Pendirinya adalah Ashab bin Abdillah Muhammad bin Karam atau bin Kiram atau bin Karram (wafat 225 Hijriah).

Ibnu Karam adalah keturunan Bani Nizar yang lahir di perkampungan Zaranj (Iran). Ketika masih kecil keluarganya meninggalkan kampung halaman menuju Sijistan (Iran). Setelah dewasa ia pergi ke Khurasan (Iran) untuk berguru kepada seorang ulama yang zuhud yaitu Ahmad bin Harb (wafat 234 H).

Di Balkh (Afganistan), ia berguru kepada ulama besar Balkh yaitu Ibrahim bin Yusuf al-Makiyani (wafat 257 H) dan Hirat Abdillah bin Malik bin Sulaiman (wafat 262 H). Ibnu Karam banyak menghafal hadis Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang diperolehnya dari dua ulama yang mempunyai perhatian besar kepadanya.

Kedua ulama itu adalah Ahmad bin Abdillah Jauhari (wafat 247 H) dan Muhammad bin Tamim al-Farayanani (wafat 253 H). Sebelum belajar hadits dari kedua ulama tersebut, ia berguru kepada Marwa Ali bin Hajar (wafat 244 H).

Setelah berada di Mekah selama lima tahun, Ibnu Karam kembali ke kampung halamannya untuk menjual seluruh harta kekayaan miliknya. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke beberapa kawasan Iran yaitu Gharjistan, Syarmin, Wafsin, dan Naisabur.

Di Nisabur ia dipenjarakan dan diasingkan dua kali oleh Gubernur Muhammad bin Tahir bin Abdillah (wafat 249 H) karena berbeda pendapat dengan pemerintah. Pemerintah berpendapat bahwa dia akan membahayakan kedudukan penguasa dan menyesatkan umat Islam. Sekembalinya dari pengasingan yang kedua kalinya tahun 251 H, Ibnu Karam pergi ke Yerusalem.

Di kota ini, dia menghabiskan masa tuanya dan meninggal dunia pada tahun 255 H. Di sekitar pemakaman Ibnu Karam dibuat Khanwah atau Zawiat (surau) yang terkenal sebagai asrama persaudaraan Sufi. Zawiyat ini merupakan tempat Uzlah (mengasingkan diri) pengikut-pengikut sekte Karamiah dalam menjalankan ibadah, wirid, zikir dan sebagainya yang mampu mendekatkan manusia kepada Allah.

Adanya Zawiyat ini mengakibatkan masyarakat sekitar menutup diri dengan memasuki asrama persaudaraan Sufi untuk menekuni ibadah-ibadah termasuk wirid, zikir dan sebagainya. Mereka begitu bersemangat mendekatkan diri kepada Allah, sehingga mereka melalaikan urusan-urusan dunia.

Oleh sebab itu, mereka menjadi fakir-miskin. Kemudian keadaan tersebut telah menjalar luas di kota Nisabur dan tempat-tempat lainnya. Paling penting dalam golongan Karamiah ini adalah pandangan atropomorfisme (musyabbihah atau mujassimah), yakni pandangan yang melihat Allah mempunyai persamaan dengan sifat makhluk.

Dalam hal ini, kepada Allah dikenalkan ciri-ciri manusia. Menurut mereka wujud Allah itu adalah substansi (Zat) dan sifat (Jauhar) yang bertemu dengan unsur materi (Jisim), meskipun itu tidak sama dengan anggota-anggota tubuh manusia atau makhluk lain.

Misalnya, pandangan antropomorfisme menafsirkan Allah itu mempunyai tangan adalah benar-benar tangan sebagai anggota tubuh namun tidak seperti tangan manusia. Jika Allah mempunyai mata maka benar-benar mata namun tidak seperti mata yang dimiliki oleh manusia atau makhluk lain. Allah tetap mempunyai mata, telinga atau tangan secara harfiah yang tidak sama dengan anggota tubuh makhluk-Nya.

Oleh karena itu, ajaran ini disebut antropomorfisme. Antara substansi (Zat) dan sifat (Jauhar) dengan Jisim (materi) terjadi saling kontak satu sama lain. Dengan cara seperti ini penafsiran antropormisme terhadap pengertian bahwa malaikat mempunyai tempat yang juga terbatas oleh waktu.

Maka makhluk halus semacam malaikat bisa saja menempati singgasana. Doktrin ini merupakan deduksi ( kesimpulan umum) dari firman Allah antara lain dalam surah al-Araf ayat 55, surah Yunus ayat 3, surah ar-Ra’d ayat 2, dan surah Thaha ayat 5, yang menyebut ‘ala al-arsyi-‘stawa (menguasai singgasana).

Tentu saja firman-firman Allah ini memberi sandaran teologis yang mendorong ikhtiar amal perbuatan. Menurut Reynold Alleyne Nicholson, ahli mistisme dalam Islam menyebutkan bahwa ajaran teologis Karamiah ini dapat dilacak lebih lanjut dalam bagian-bagian filsafat Aristoteles ( filsuf Yunani) tertentu yang menyatakan perbedaan kategori antara substansi dan aksiden serta potensi dan aktualitas.

Dengan cara ini para pengikut golongan Karamiah dapat mempertahankan pendapat bahwa Allah sudah berfirman sebelum menyatakan firman-Nya dan Ia dapat disembah sebelum adanya para hamba-Nya. Ajaran berikutnya adalah iman.

Iman diartikan sebagai kepercayaan di hati dan diikrarkan secara lisan namun tidak diteruskan dengan perbuatan sebagaimana yang dipahami dalam aliran Murjiah. Mengenai penciptaan alam, kelompok Karamiah mengambil konsep penciptaan seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an.

Allah sebagai substansi adalah subjek bagi aksiden tertentu, seperti kehendak, merasa dan berfirman yang mengadakan hubungan atas segala aksiden yang ada; Allah berkuasa atas alam. Segala yang ada diciptakan bukan oleh kehendak-Nya secara langsung melainkan oleh kata “kun” (jadi).

Dengan demikian, kalimat “kun fayakun” ( jadilah aku maka jadilah) seolah-olah dapat mempunyai pengertian langsung antara kata “kun” dengan objek-objek penciptaan yang terjadi. Ajaran lainnya adalah sifat Maksum (terhindar dari dosa dan kesalahan).

Mereka berpandangan bahwa sifat Maksum hanya terjadi pada nabi bukan kepada manusia yang lain. Oleh karenanya, orang-orang yang tidak mempunyai pesan kenabian wajib beriman pada misi kenabian mereka tanpa banyak protes.

Dalam hal ini political will ( kebijakan kepemimpinan pemerintahan) yakni pentingnya pimpinan negara atau Imam dalam satu negeri, boleh saja terdapat dua orang Imam sekaligus. Kedua imam yang berbeda-beda lokasi itu harus berlaku adil kepada masyarakatnya di tempatnya masing-masing.

Dalam masalah Furuk, misalnya fiqih (Hukum Islam) memberi andil terciptanya perubahan hukum yang lebih luwes, sehingga hukum Islam itu dapat mengalami perkembangan sesuai dengan zaman dan tempat berlangsung dalam suatu masyarakat Islam tertentu.

Pada tahun 370 H, ajaran Karamiah diperebatkan karena dianggap telah lepas dari syariat dan terjerumus ke dalam kehidupan batiniah, sehingga golongan tersebut dituduh melakukan perbuatan bidah. Banyak pengikutnya yang dijatuhi hukuman mati dan sebagian banyak yang melarikan diri.

Namun, masih ada pengikut yang tetap berpegang teguh kepada ajaran Karamiah dan bertahan di Nisabur. Hingga pertengahan abad ke-6 golongan Karamiah masih terkenal di Nisabur. Abul Qadir al-Jailani mengatakan bahwa golongan ini juga cukup kuat di Khurasan.

Golongan ini musnah akibat serbuan tentara Jengis Khan pada tahun 1220. Menurut beberapa kepustakaan, golongan Karamiah ini dibagi dalam tiga golongan kecil yaitu Ishakiah, Haqiqiyah dan Tariqiah. Ketiga Golongan ini satu sama lain saling toleran meskipun di antara ketiganya ada beberapa perbedaan namun tidak diketahui lebih lanjut mengenai ajaran ketiga golongan ini.

113 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
KeislamanNgaji Ihya’ Ulumuddin

Gus Ulil Ngaji Ihya' Ulumuddin: Mencela Harta dan Sikap Kikir

4 Mins read
Harta adalah salah satu unsur terpenting di dunia. Menurut Al-Ghazali, dunia adalah segala hal yang terjadi sebelum kita meninggal. “Dunia” adalah “sesuatu…
Keislaman

Analisis Praktik Kesederhanaan Mahar Oleh Masyarakat Muslim Tinjauan Hadis Nabi

17 Mins read
Abstrak Meningkatnya permintaan mahar dalam praktik pernikahan Muslim di masa sekarang ini memunculkan kekhawatiran terhadap pergeseran makna substantif mahar dalam Islam. Mahar…
KeislamanKisah

Ruang Aman dari Allah: Narasi Kesembuhan Jiwa Nabi Musa

5 Mins read
Setiap manusia pasti memiliki luka batin yang mengendap di dalam dirinya. Luka di masa lalu, trauma yang selalu sama rasa sakitnya dari…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights