Setiap manusia pasti memiliki luka batin yang mengendap di dalam dirinya. Luka di masa lalu, trauma yang selalu sama rasa sakitnya dari dahulu sampai sekarang. Luka tersebut bersarang dalam diri manusia tanpa kepastian akan waktunya.
Dahulu, kita sering kali belajar berjalan, berbicara, bahkan juga tertawa. Akan tetapi, kita lupa untuk belajar bagaimana caranya menyembuhkan luka batin. Kaitannya dengan hal tersebut, terdapat salah satu kisah dalam Al-Qur’an yang menceritakan tentang perjalanan Nabi Musa untuk sembuh dari luka batinnya.
Cerita tersebut bukan hanya sekadar hikayat saja, namun juga merupakan refleksi bagi kita untuk menemukan kekuatan spiritual dalam menghadapi luka batin yang ada pada diri kita.
Surah Ṭāhā mengisahkan tentang bagaimana Allah mendidik dan membimbing Nabi Musa dari ketakutan menuju keberanian, dari kegugupan menuju ketegasan, dari luka di masa lalu menuju harapan besar di masa depan.
Surah ini bukan hanya sekadar kronologi ayat, melainkan narasi mengenai tahapan menyembuhkan luka batin. Menariknya, kisah ini melibatkan Allah sebagai terapis utamanya. Oleh karenanya, kisah ini memberikan kepada kita pemahaman bahwa Allah mengetahui dan peduli tentang luka batin yang dialami hamba-hamba-Nya.
Dalam tulisan ini, penulis mengajak pembaca untuk mengikuti jejak-jejak bagaimana Nabi Musa menyembuhkan luka batinnya, serta merenungi fungsi Al-Qur’an sebagai syifā’ (obat) bagi siapa saja yang terluka.
Pertanyaan yang Menenangkan dari Allah
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَىٰ
Artinya: “Apa yang ada di tangan kananmu itu, wahai Musa?” (Ṭāhā: 17)
Ayat ini sekilas terkesan seperti sebuah pertanyaan sederhana. Namun, di dalam psikologi, sebuah pertanyaan dapat berfungsi sebagai anchoring, yaitu sebuah teknik untuk mengembalikan kesadaran dan kefokusan orang yang diajak bicara.
Imam ar-Rāzī dalam Mafātīḥ al-Ghayb menjelaskan di dalam ayat ini Allah bertanya bukan karena ketidaktahuan Allah, hal itu mustahil bagi-Nya. Ayat ini terkesan memberi kita pemahaman bahwa Allah ingin mendekati Nabi Musa supaya ia mau bercerita kepada Allah. Oleh karenanya, Allah tidak langsung memberinya pertanyaan-pertanyaan sulit.
Yang menarik, Nabi Musa malah menjawab dengan jawaban yang panjang. Nabi Musa tidak hanya menjawab “tongkat”, melainkan menjelaskan tentang kegunaan tongkat tersebut:
قَالَ هِيَ عَصَايَ ۖ أَتَوَكَّؤُا عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَىٰ
Artinya: “(Musa) berkata, ‘Ia adalah tongkatku. Aku (dapat) bersandar padanya, merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan aku mempunyai keperluan-keperluan lain padanya.’” (Ṭāhā: 18)
Jawaban Nabi Musa tersebut mencerminkan upaya untuk menenangkan dirinya. Dalam psikologi, perilaku tersebut disebut sebagai self-soothing, yaitu upaya untuk menenangkan diri dari kegelisahan dengan cara mendiskusikan atau membicarakan mengenai apa saja yang kita ketahui atau kuasai.
Dua ayat di atas merupakan langkah pertama untuk melakukan terapi jiwa: dengan membuka ruang berbincang antara hamba dengan Tuhannya, tanpa adanya tekanan atau penghakiman.
Trauma yang Kembali Menyerang
Ketika Nabi Musa merasa cukup nyaman, Allah mengajaknya pada tahapan psikologis selanjutnya yang lebih mengena:
قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَىٰ
Artinya: “(Allah) berfirman, ‘Lemparkanlah (tongkat) itu, wahai Musa!’” (Ṭāhā: 19)
فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَىٰ
Artinya: “Maka, dia (Musa) melemparkannya. Tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.” (Ṭāhā: 20)
Seketika, tongkat yang selama ini menjadi tumpuan dan pelindung Nabi Musa dari bahaya berubah menjadi suatu hal yang menakutkan. Di Surah An-Naml diceritakan bahwa Nabi Musa ketika mengetahui tongkatnya menjadi ular, ia berbalik dan melarikan diri tanpa menoleh:
وَأَلْقِ عَصَاكَ ۚ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّىٰ مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ ۚ يَا مُوسَىٰ لَا تَخَفْ ۖ إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ
Artinya: “Dan lemparkanlah tongkatmu!” Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seakan-akan ia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. “Hai Musa, janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.” (An-Naml: 10)
Hal ini menunjukkan suatu ketakutan yang teramat dalam. Musa tidak sekadar takut dengan ular, melainkan takut pada sesuatu yang lebih besar, yakni trauma akan masa lalu yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Perlu diketahui bahwa Nabi Musa pernah tidak sengaja membunuh seseorang dengan tongkatnya, lalu ia melarikan diri dari Mesir. Trauma atas kejadian itu masih belum sembuh.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa tongkat yang berubah menjadi ular tersebut ialah simbol ketakutan yang harus dihadapi Nabi Musa. Hal ini sejalan dengan trauma yang sering kali akan selalu hadir kembali dalam bentuk-bentuk yang mengejutkan.
Hal semacam itu sering terjadi pada manusia pada umumnya. Kadang kala kita merasa baik-baik saja, sampai suatu kejadian kecil mengingatkan kembali kepada luka lama. Tentunya kita pun tetap akan berusaha berlari menghindar dan menolak untuk menghadapinya.
Allah tentunya tidak membiarkan Nabi Musa terus dalam keadaan panik. Allah hanya ingin Nabi Musa mengetahui bahwa segala ketakutan itu dapat dihadapi. Ini juga merupakan dasar dari proses penyembuhan luka batin, bahwa trauma tidaklah dapat diselesaikan dengan pelarian, akan tetapi dengan keberanian untuk menyentuh kembali luka tersebut.
Hadapi dengan Keyakinan
Di saat Nabi Musa ketakutan dengan ular yang berada di depannya, Allah berfirman dengan penuh ketegasan namun masih terkesan memberikan dukungan kepada Nabi Musa:
قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ ۗ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَىٰ
Artinya: “Dia (Allah) berfirman, ‘Ambillah dan jangan takut! Kami akan mengembalikannya pada keadaannya semula.’” (Ṭāhā: 21)
Ayat tersebut memiliki kesan memandu untuk menghadapi sesuatu yang ditakutinya secara perlahan. Dalam psikologi, hal tersebut dinamakan teknik terapi eksposur. Allah tidaklah hanya menyuruh Nabi Musa untuk menghadapi ketakutan tersebut, Allah juga memberikan jaminan keamanan kepada Nabi Musa dengan kendali-Nya.
Allah menegaskan “kembali ke bentuk semula” ialah bentuk dukungan dan jaminan dari Allah kepada Nabi Musa bahwa ketakutan itu tidaklah membinasakan.
Dalam kehidupan sehari-hari, Allah sering kali “melemparkan tongkat” dalam bentuk ujian yang harus kita hadapi. Tetapi pesan terpentingnya adalah bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan kita sendirian. Setiap ujian yang hadir, jika kita masih mempercayakan kepada Allah, maka akan menjadi jalan yang mudah untuk menghadapinya. Nabi Musa pada akhirnya berani menghadapi ketakutannya dengan memegang ular tersebut, dan melihat kembali bahwa ular tersebut kembali ke bentuk semula.
Peristiwa tersebut menjadi momentum titik balik dalam jiwa Nabi Musa. Ia belajar bahwa segala ketakutan dapat dihadapi untuk dilampaui. Hal ini merupakan pelajaran bagi kita bahwa Allah mengetahui ketakutan kita, Allah ingin menyembuhkannya, bukan menghukumnya. Hanya saja, kita terlalu berburuk sangka kepada-Nya.
Menemukan Kekuatan Diri
Ketika Nabi Musa telah dapat mengatasi rasa takutnya, Allah kemudian memberinya perintah kedua:
وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَىٰ جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ ۙ آيَةً أُخْرَىٰ
Artinya: “Kepitlah (telapak) tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia akan keluar dalam keadaan putih (bercahaya) tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain.” (Ṭāhā: 22)
Tangan yang bersinar bukan hanya simbol mukjizat lahiriah saja. Di dalam tafsir Ibnu Katsīr dijelaskan bahwa cahaya tersebut merupakan pelita yang diberikan Allah kepada Nabi Musa setelah ia mampu menghadapi ketakutannya terhadap ular tersebut. Jika tongkat yang menjadi ular dimaknai sebagai kegelapan karena trauma batin, maka tangan yang mengeluarkan cahaya memiliki makna sebagai manifestasi terang dari jiwa Nabi Musa yang sudah mulai bangkit.
Dalam pembahasan psikologi, hal tersebut disebut sebagai re-authoring, yakni ketika seseorang yang telah melewati fase traumanya mulai menyusun kembali narasi kehidupannya menuju yang lebih baik. Dengan fokus terhadap kekuatan cahaya yang dimiliki Nabi Musa, ia bukan hanya disembuhkan, melainkan juga diberikan cahaya untuk menuntun batinnya kepada narasi kehidupannya di masa yang akan datang.
Setiap manusia punya cahaya di dalam dirinya. Terkadang, cahaya itu akan hadir saat kita semua memasuki sisi gelap dalam kehidupan, dengan menyembuhkan luka dan menata kembali keberanian. Perlu diketahui bahwa Nabi Musa menjadi utusan Allah bukan karena ia kuat, melainkan karena Allah ingin menyembuhkan trauma masa lalu Nabi Musa.
Meminta Dukungan
Ketika Nabi Musa telah berhasil sembuh dari lukanya, kemudian Allah langsung memberinya misi besar:
لِنُرِيَكَ مِنْ آيَاتِنَا الْكُبْرَىٰ
Artinya: “(Kami perintahkan itu) untuk memperlihatkan kepadamu sebagian tanda-tanda kebesaran Kami yang terbesar.” (Ṭāhā: 23)
اذْهَبْ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ ۖ إِنَّهُ طَغَىٰ
Artinya: “Pergilah kepada Fir‘aun! Sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (Ṭāhā: 24)
Kali ini, Nabi Musa menjawabnya penuh dengan permohonan dan juga kedewasaan, berbeda dengan sebelumnya:
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي
Artinya: “Dia (Musa) berkata, ‘Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku,”
وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي
Artinya: “Mudahkanlah untukku urusanku,”
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي
Artinya: “Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku,”
يَفْقَهُوا قَوْلِي
Artinya: “Agar mereka mengerti perkataanku.” (Ṭāhā: 25–28)
Terlihat Nabi Musa tegas tidak menolak perintah Allah, dikarenakan ia sudah memiliki keberanian. Namun, ia juga mengakui keterbatasan yang dimilikinya. Hal ini merupakan bentuk psikologis yang normal, yakni mengakui kekuatan dirinya tanpa melupakan keterbatasan, yang diwujudkan dengan perilaku meminta bantuan. Dalam psikologi humanistik, hal tersebut dikenal sebagai bentuk self-awareness dan assertive request.
Terkadang kita terlalu menekan diri untuk selalu nampak kuat. Akan tetapi, Nabi Musa mengajarkan bahwa keterbatasan bukanlah suatu kelemahan, dan meminta bantuan adalah bentuk kedewasaan dalam jiwa. Dengan begitu, Allah langsung mengabulkan apa yang Nabi Musa inginkan dengan diutusnya Nabi Harun untuk menjadi teman ketika menghadapi Fir‘aun, dan dadanya pun dilapangkan saat menghadapinya.
Kesimpulan
Surah Ṭāhā bukan hanya sekadar kisah sejarah, melainkan juga obat bagi setiap jiwa yang membacanya. Dari kisah tersebut, Allah ingin menunjukkan bahwa penyembuhan luka batin dilakukan secara bertahap: dimulai dari membangkitkan kepercayaan, menghadapi ketakutan, menyadari kekuatan, sampai dengan berani meminta bantuan.
Dari kisah ini juga memberikan pemahaman bahwa agama tidak bertentangan dengan emosi manusia, tapi justru menjadi teman bagi kita untuk dapat sembuh dari luka batin. Allah bukanlah Tuhan yang sering memerintah tanpa memahami manusia. Allah adalah Tuhan yang Maha Lembut, yang mendampingi kita dalam ketakutan, yang menyinari setiap jiwa manusia, dan yang memeluk setiap jiwa yang terluka.
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ
Artinya: “Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak (pula) membencimu.” (Aḍ-Ḍuḥā: 3).