Sudah mafhum bahwa manusia selalu mementingkan dirinya sendiri dalam hal yang berkaitan dengan kebutuhan hidup (duniawi). Padahal, sejatinya manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Apalagi di zaman sekarang sudah jarang ada manusia yang menolong sesamanya untuk kepentingan di akhirat.
Karena itu, kata Gus Ulil, jika ada sosok yang dermawan di kehidupan sekarang ini, melakukannya karena ia ada tujuan politis dari apa yang sudah diberikan; dengan meminta timbal balik penerima bantuan atau pertolongan. Sedangkan agama memerintahkan sikap dermawan dalam kehidupan sehari-hari, karena kedermawanan merupakan sikap dan karakter yang jarang ditemukan pada diri seseorang.
Bukankah Islam mengajarkan kepada umatnya untuk memiliki karakter atau sikap kedermawanan dengan tujuan agar memiliki rasa syukur terhadap nikmat Allah SWT untuk mewujudkan kepekaan sosial yang tinggi, serta terwujudnya masyarakat yang gemar tolong menolong. Tak hanya itu, kedermawanan merupakan sikap atau karakter yang jarang ditemukan dalam diri seseorang tidak semua orang memiliki karakter dermawan.
Pentingnya sifat dermawan
Syahdan. Ulama seperti Al-Ghazali adalah sosok agamawan, ilmuan dan ahli filsafat yang ikut andil dalam mengisi peradaban manusia. Beliau ikut campur tangan juga dalam hal keilmuan Islam berupa pencurahan ilmunya dalam banyak kitab-kitabnya. Salah satunya dalam kitab “Ihya’ Ulumuddin” pada bab Tazkiyah al-Nafs Al-Ghazali mengarahkan bahwa betapa pentingnya manusia pada memiliki sifat dermawan yang didasari oleh agama Islam.
Kata Gus Ulil, sifat dermawan itu adalah sebatang pohon dari pohon-pohon surga. Ranting-rantingnya menjulur ke Bumi. Maka, barang siapa yang mengambil sepotong ranting darinya, ia tidak akan ditinggalkan oleh ranting itu sehingga ranting itu memasukannya ke dalam surga.
Sedangkan sifat kikir merupakan sebatang pohon di dalam neraka. Dengan demikian, barang siapa yang bersifat kikir, niscaya ia mengambil satu ranting dari ranting- rantingnya, dan ranting tersebut tidak akan meninggalkannya sehingga memasukannya ke dalam neraka.
Sesungguhnya yang sebenar-benarnya murah asih, dermawan dan bijaksana, hanyalah satu, yaitu yang dalam mencurahkan anugerah karunia dari Allah SWT itu tidak mengharapkan suatu macam balas jasa apapun itu. Yang benar-benar suci bersih tidak mengharapkan suatu keuntungan apapun atas kebajikan-kebajikannya hanya satu, yaitu dalam sifat-sifat yang ada pada Allah SWT. Yang Maha Pengasih, Maha Penyanyang. Inilah yang sebenar-benarnya hakikat dan sifat dasar untuk menggapai cintanya.
Berbeda dengan al-muru’ah, yaitu orang yang menjaga agamanya, mengawasi dirinya, membaguskan pengurusan dengan tamunya dan membaguskan atau memperbaiki pada pertengkaran dan tampil ke depan pada hal-hal yang tidak disukai.
Sementara an-najdah adalah mempertahankan tetangga dan sabar pada semua tempat. Dan al-karam adalah memberikan dengan senang hati pada perbuatan baik, sebelum diminta, memberi makan pada waktu kemarau dan kasihan kepada yang meminta, serta memberikannya kepada yang memperolehnya.
Suatu waktu Ali bin al-Husain RA berkata: “Siapa yang disebut memberikan hartanya kepada peminta-pemintanya, niscaya tidaklah orang itu memiliki sifat pemurah. Sesungguhnya orang pemurah itu adalah orang yang mulai memberi dengan hak-hak Allah SWT. Pada orang yang menaati-Nya. Dan tidak didesak oleh nafsunya, ingin diucapkan terima kasih kepadanya, apabila keyakinannya sempurna dengan memperoleh pahala atau ridha dari pada Allah SWT.”
Dermawan menurut Al-Ghazali
Orang dermawan menurut Al-Ghazali adalah orang yang menunaikan wajib bis syari dan wajib bil muru’ah. Apabila ia tidak menunaikan satu dari kedua kewajiban ini, maka dikategorikan orang pelit. Orang yang melakukan wajib bis syari lebih pelit dari pada orang yang menunaikan wajib bil muru’ah, seperti tidak menunaikan zakat atau menunaikan nafkah pada keluarga.
Sekalipun ia menunaikannya tetapi dengan berat hati, maka tetap dikategorikan orang yang pelit. Atau orang yang sedekah memberikan suatu barang yang paling jelek kepada orang lain itu juga dikategorikan orang yang pelit, seperti memberikan baju yang tidak pantas kepada orang yang membutuhkannya.
Gus Ulil menegaskan, bahwa wajib bil muru’ah adalah memberikan sesuatu yang tidak menurunkan harga diri atau martabat orang yang memberikan. Hal ini tidak ada batasannya dikarenakan seseorang memiliki kadar beda kemampuan untuk memberikan suatu barang kepada orang lain.
Misalnya seperti orang yang kaya memberikan harta yang sedikit, padahal orang itu bisa lebih memberikan harta yang lebih banyak. Nah, hal itulah yang bisa menurunkan harga diri atau kehormatannya sebagai orang yang memberikan. Akan tetapi, tidak akan menjatuhkan kehormatan orang yang miskin.
Orang yang melakukan wajib bis syari dan wajib bil muru’ah itu tidak dikategorikan orang yang pelit. Juga yang telah menunaikan dua kewajiban itu atau melebih atas kadar kewajibannya. Misalnya orang zakat kewajibannya satu juta, tetapi ia memberikan dua juta, lebih untuk sedekah.
Hal ini kata Gus Ulil disebut jawaad (dermawan), selama tidak memiliki niat untuk mendapatkan pujian, ucapan terima kasih, atau terhindar dari ejekan orang lain. Namun, bila ia seperti itu, sama saja ia membeli pujian dengan yang ia telah dikeluarkan. Anda tahu! Bahwa seseorang yang disebut jawaad adalah orang yang memberikan tanpa pengharapan tanda ganti dari apa yang diberikan.
Sederhananya, untuk meningkatkan sikap dermawan yaitu melalui tiga tingkatan adalah pertama as-sakha; kedua al-karam; ketiga al-ittsar yang disertai oleh sikap pendukung kebaikan akhlak, mengetahui penyakit hati dan obatnya, kenali aib diri sendiri, hidup zuhud dan mengetahui kandungan nilai-nilai yang ada pada sikap dermawan kemudian diaplikasikan melalui zakat, infaq dan sadaqah. Inilah kuncinya. Wallahu a’lam bisshawaab.