Penulis: Aisyah Ramadhani Anshory, Mahasiswi Prodi Tasawuf dan Psikoterapi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
KULIAHALISLAM.COM – Sebelum kita mengetahui siapa sajakah tokoh tasawuf Sunni, tentunya kita harus terlebih dahulu memahami pengertian tasawuf itu sendiri. Tasawuf atau sufisme, secara harfiah berarti “menjadi seorang Sufi” dan sering kali diartikan sebagai praktik spiritual yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui pengembangan moral dan pembersihan hati.
Tasawuf berfokus pada pencapaian kualitas ideal yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW. Tasawuf juga memainkan peran penting dalam sejarah dan perkembangan spiritualitas Islam, dalam praktiknya, tasawuf mencakup berbagai aspek, seperti pengembangan sifat baik, penghindaran dari sifat buruk, dan beberapa upaya dalam mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, Allah SWT.
Para ahli tasawuf dikenal dengan sebutan Sufi, baik Sufi itu berasal dari kaum adam maupun kaum hawa. Sufi sering kali berfungsi sebagai guru spiritual, pemimpin suatu perkumpulan, dan penyebar ajaran Islam ke segala penjuru wilayah. Tasawuf juga memiliki berbagai perbedaan dari jenis hal yang diajarkan maupun metodenya, sebab para Sufi akan menyebarkan ilmu sesuai pengalaman spiritual masing-masing.
Namun, kali ini kita tidak akan membahas lebih dalam terkait perbedaan ajaran tiap tipe tasawuf, namun kita akan berusaha mengenal lebih dekat para tokoh Sufi sepanjang sejarah, terlebih para Sufi wanita yang tidak diragukan lagi perihal ketasawufannya, yakni :
Beberapa nama yang tak jarang kita dengar, salah satunya adalah seorang Sufi mahabbah bernama Rabiah al-Adawiyah.
Rabiah al-Adawiyah, yang juga dikenal sebagai Rabi’ah al-Basri, ia adalah seorang sufi tasawuf Sunni terkemuka. Lahir sekitar tahun 717 M di Basrah, Irak, dan dikenal sebagai pelopor ajaran cinta ilahi (mahabbah) dalam dunia tasawuf.
Konsep mahabbah yang diajarkan Rabiah lebih menekankan cinta kepada Allah yang tulus, tanpa mengharapkan imbalan seperti surga atau takut akan neraka. Ia juga dikenal karena syair-syairnya yang mendalam dan penuh cinta kepada Allah. Salah satu syair Rabiah tentang Ibadah dan Cinta :
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku dari surga-Mu. Namun, jika aku menyembah-Mu karena Engkau yang pantas disembah, janganlah Engkau tahan kenikmatan-Mu dariku”
Syair-syairnya mencerminkan kedalaman spiritual Rabiah dan pengabdiannya kepada Allah, serta menjadi sumber inspirasi bagi banyak pengikut tasawuf di seluruh dunia. Rabiah adalah sosok yang memilih untuk hidup dalam kesederhanaan dan mengabdi sepenuhnya kepada Allah.
Ia dikenal tidak menikah dan menghabiskan waktu dalam meditasi dan ibadah. Ia sering disebut sebagai “ibu para sufi” karena pengaruhnya yang mendalam terhadap banyak sufi setelahnya.
Tokoh Sufi wanita kedua adalah Sya’wanah al-Ubullah
Beliau merupakan seorang sufi perempuan yang berasal dari Persia, diperkirakan hidup pada abad ke-8 Masehi. Sya’wanah al-Ubullah tinggal di Ubullah, sebuah daerah di tepi sungai Tigris. Ia dikenal sebagai mantan budak perempuan yang memiliki latar belakang yang sederhana namun sangat beriman. Meskipun tidak sepopuler Rabiah al-Adawiyah, ia memiliki pengaruh yang signifikan dalam dunia tasawuf, terutama di kalangan perempuan.
Ia dikenal karena kesalehan dan kedalaman spiritualnya, serta sering menangis dalam ibadahnya sebagai ungkapan rasa cinta dan ketakutannya kepada Allah SWT. Selain itu, Sya’wanah dikenal dengan suara merdunya dan kemampuan membaca Al-Qur’an dengan baik. Ia sering menghabiskan malam-malamnya dengan salat dan bermunajat kepada Allah. Sehingga konon Imam Al-Ghazali mengagumi Sya’wanah karena kesungguhannya dalam beribadah dan pengabdiannya kepada Allah.
Menangis telah menjadi kebiasaan Sya’wanah, terlebih ketika ia mendengar ataupun mengingat hal yang berhubungan dengan kebesaran Allah SWT, hingga sering kali membuat orang-orang di sekitarnya khawatir akan kesehatannya, bahkan takut ia mungkin mengalami kebutaan karena terlalu sering menangis.
Namun, Sya’wanah merasa bahwa jika ia harus buta di dunia karena tangisannya, itu lebih baik daripada buta di akhirat akibat api neraka. Sya’wanah Al-Ubullah meninggalkan warisan spiritual yang mendalam, menjadi teladan bagi banyak wanita dalam menjalani kehidupan sufi. Ia menunjukkan bahwa cinta kepada Allah dan kesalehan dapat mengatasi segala keterbatasan dan kesulitan dalam hidup.
Begitulah perkenalan singkat tentang kedua Sufi wanita yang telah menjadi suri tauladan sufi-sufi setelahnya.