Esai

Membantah Kesimpulan Bahwa Demokrasi Itu Syirik Akbar

15 Mins read

KULIAHALISLAM.COM – Membantah kesimpulan prematur dan cacat yang mengatakan demokrasi adalah syirik akbar, benarkah orang yang mencoblos dalam pemilu telah murtad.

Terlepas dari perbedaan yang sangat banyak antara dua organisasi massa Islam terbesar, yaitu Nahdlatul ‘Ulama dan Muhammadiyah, kedua-duanya bertemu pada satu titik menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945 sebagai satu konsensus/kesepakatan yang harus dipelihara dan dijaga.

Lain halnya dengan orang-orang dari berbagai kelompok-kelompok radikal-ekstrem yang mengkafirkan negara Indonesia dan memvonis kafir pemerintahnya sehingga dianggap sebagai thaghut/setan, tentu pembrontakan, teror, dan provokasi dari mereka bukan sesuatu yang asing.

Orang-orang takfiri (hobi mengkafirkan) sudah tidak diragukan lagi sikap pengkafiran mereka terhadap kaum muslimin dan pemerintahannya, mereka menganggap presiden itu kafir, anggota DPR kafir, hakim pengadilan kafir.

Semua anggota kepolisian kafir, dan semua Pegawai Negeri Sipil adalah kafir, serta tentu saja ulama-ulama yang setia kepada negara ini seperti ulama-ulama Muhammadiyah sudah pasti dikafirkan oleh mereka.

Termasuk diantara ajaran ekstrimisme dan radikalisme yang mereka angkat dan gembar-gemborkan yakni bahwa sistem demokrasi itu adalah syirik akbar dan kaum muslimin yang ikut serta dalam pemilu itu disetarakan dengan orang-orang yang menyembah kuburan (syirik akbar).

Disamping para takfiri itu, selain mereka ada juga orang-orang dungu yang suka menyandarkan diri mereka kepada “Sunnah” dan “Salaf”, mereka juga mengkafirkan demokrasi dan menganggap demokrasi sebagai syirik akbar.

Juga melarang ikut serta dalam pemilu (baik dalam mencalonkan maupun dalam memilih), akan tetapi mereka mati-matian tunduk/patuh kepada pemimpin hasil demokrasi dan aturan-aturan hasil demokrasi, mereka berharap terpilihnya pemimpin yang baik namun mengharamkan memilih orang baik dalam Pemilu.

Mereka berharap naiknya pemimpin yang baik namun mengharamkan orang baik naik mencalonkan menjadi pemimpin, mereka berharap syari’at Islam diterapkan dalam aturan kenegaraan namun mengharamkan muslim masuk ke lembaga pembuatan aturan (DPR).

Mereka berharap terangkat hakim muslim yang adil di pengadilan namun mengharamkan profesi hakim bagi muslim, mereka berharap ditegakannya keadilan Islam dalam hukum namun mengharamkan profesi kejaksaan bagi muslim. 

Mereka berharap Islam diterapkan dalam sistem pemerintahan, namun mereka mengharamkan memperbaiki sistem dengan cara masuk ke parlemen tapi juga mengharamkan mengganti sistem dengan cara paksa melalui pemberontakan.

Kalau ditanya kepada mereka: Bagaimana caranya ? Seakan-akan mereka akan berkata: bi laa kayfa (tidak tahu bagaimana caranya, pokoknya bisa). Semisal ucapan para imam saat membahas sifat-sifat Allah SWT.

Kelompok yang satu ini super aneh lagi super ajaib, dari sisi kekeliruan mereka lebih ringan karena tidak melakukan aksi-aksi teror terhadap kaum muslimin, namun dari sisi lain para teroris itu setidaknya memberikan solusi guna menegakan Islam.

Meski solusi tawaran mereka itu sesat, sedangkan kelompok dungu itu berkubang pada kubangan kedunguanya tanpa memberikan solusi apapun bagi penegak Islam, tapi berharap tegaknya Islam.

Situs Arrahmah.com yang dikenal oleh orang-orang yang teliti, merupakan situs yang membahas Al Qaeda (organisasi terorisme internasional) dan menyebarkan pikiran-pikiran radikalisme/ekstrimisme, disebutkan di dalamnya:

Seorang muslim yang tidak mengetahui bahwa hak menetapkan hukum adalah salah satu sifat Allah, salah satu hak khusus Allah, dan merupakan salah satu ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah. 

Lalu muslim tersebut memberikan suaranya dalam sebuah pemilu legislatif atau pemilu eksekutif (pilihan presiden, pilihan gubernur atau pilihan bupati/walikota). 

Ia tidak mengetahui bahwa memberikan suara dalam pemilu legislatif atau pemilu eksekutif adalah syirik akbar yang membatalkan tauhid, karena perbuatan tersebut berarti mengangkat orang yang akan menetapkan hukum jahiliyah yang tidak berdasar kepada Al-Qur’an dan as-sunnah. (https://www.arrahmah.com/serial-kajian-tentang-takfir-muayyan-5-kebodohan-sebagai-udzur-dalam-pengkafiran-3/).

Keterangan yang sama juga didapatkan dalam situs Kiblat.net yang juga membahas kepada teroris Al-Qaeda dan berideologi ekstrem-takfiri:

“Jadi, kalau kita melihat demokrasi itu sendiri adalah “akhbatsul khobaaits”, sekotor-kotornya kotoran. “Adzlamudz-dzul”, segelap-gelapnya kegelapan. “Ankarul munkar”, semungkar-mungkarnya kemungkaran.

Karena apa, satu perkara yang merupakan kejahatan paling besar dari demokrasi yaitu “I’thou sulthoti tasyrik al ‘ulya lighoirillahi ‘Azza wa Jalla.” 

Yaitu memberikan kekuasaan tertinggi membuat undang-undang kepada selain Allah SWT. Sementara Allah SWT berfirman: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah:50)

Jadi yang berhak untuk membuat undang-undang dan hukum bagi kehidupan umat manusia, membuat syari’at, itu Allah SWT. Sementara demokrasi menyerahkan kekuasaan tertinggi membuat undang-undang, membuat syari’at, membuat tatanan untuk kehidupan manusia itu kepada selain Allah SWT.

Oleh karena itu demokrasi, dalam hubungan dengan masalah ini, jelas merupakan syirik akbar, syirik terbesar. Jadi barang siapa yang kemudian terlibat di dalam demokrasi itu ada beberapa tingkatan tentunya.

Yang pertama, adalah siapapun yang ridho terhadap demokrasi, baik ia terlibat atau tidak terlibat dalam kegiatan dan syiar-syiarnya, tetapi dia ridho terhadap demokrasi maka dia termasuk orang yang ridho terhadap syirik akbar. 

Orang yang ridho terhadap syirik akbar, maka dia terlibat pada kesyirikan. Dan itu “yakhruju minal Islam”, jelas keluar dari Islam. Siapa yang ridho.

Kedua, ialah siapa yang melakukan kegiatan dalam hubungan dengan demokrasi, sementara dia tidak ridho, dia menolak tetapi dia ikut kegiatan, harta dia hanya sekedar melipat kertas suara atau mengangkat kotak suara, maka “amaluhu haromun wa roohibuhu harom”. 

Maka pekerjaan terlibat urusan demokrasi itu pekerjaan yang haram, kalau dia menerima uang maka itu gaji atau bayarannya itu haram. Tetapi kita tidak mengkafirkan untuk golongan yang kedua.

Adapun masyarakat umum, rakyat jelata, “amatul muslimin” dalam hubungan dengan Indonesia ya kita harus menerangkan kepada tentang masalah ini. Kita tidak mengkafirkan mereka, tetapi kita harus menjelaskan kepada mereka bahwa sebenarnya demokrasi itu syirkun akbar, syirik yang paling besar. Ini dari segi persoalan syiriknya.(https://www.kiblat.net/2014/04/06/abu-rusydan-demokrasi-itu-seburuk-buruknya-keburukan/).

Sebuah kepercayaan yang bukan hanya jumud lagi bodoh akan tetapi juga sangat berbahaya, yakni kepercayaan bahwa mencoblos dalam Pemilu merupakan syirik akbar yang dapat membuat pelakunya sebagai musyrik (keluar dari Islam), dasar logika yang mereka pakai adalah:

“Mencoblos dalam Pemilu berarti menyerahkan hak membuat aturan kepada manusia, sedangkan hak membuat aturan adalah kekhususan Allah, memberikan kekhususan Allah kepada makhluk adalah syirik akbar, maka orang-orang mencoblos dalam Pemilu adalah musyrik.”

Demikianlah logika mereka itu. Kita katakan ini adalah “logika yang prematur dan cacat”. Berikut bantahan terhadap pemahaman mereka:

(1) Hak membuat aturan, yang merupakan kekhususan Allah, yang tidak boleh diberikan kepada selain Allah, adalah hak membuat aturan syari’ah. Jangan disamakan antara membuat aturan syari’at dengan hak membuat peraturan keduniaan karena keduanya berbeda.

Ini merupakan salah kaprah terbesar kaum radikalis-ekstremis saat mereka menganggap musyriknya DPR dan Presiden hanya karena demokrasi memberikan wewenang kepada mereka untuk bisa membuat peraturan perundang-undangan, mereka tidak bisa membedakan “aturan dalam pengertian syari’at” dengan “aturan dalam pengertian peraturan keduniaan”.

{وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُوْنَۗ}

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ”Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung.”(QS: An-Nahl: 116).

{قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ}

Baca...  Tendang Sesajen, Bukti Perilaku Intoleransi Marak Terjadi

“Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS: Yunus: 59).

Kita katakan, memang benar bahwa dalam hal pembuat aturan syari’at, satu-satunya pemegang otoritas tasyri’ (pembuat aturan syari’at) hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hanya Dia yang berhak menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu.

Menetapkan fardhunya (wajib) sesuatu atau menetapkan sunnahnya (dianjurkan) sesuatu, menetapkan syarat-syarat sahnya suatu perbuatan dalam syari’ah dan menetapkan hal-hal yang membatalkan sesuatu perbuatan dalam syari’ah. 

Siapapun dari selain Allah, yang mengklaim mempunyai hak untuk membuat aturan syari’at maka sia telah mengklaim dirinya sebagai Tuhan/Illah/sesembahan selain Allah.

{اَمْ لَهُمْ شُرَكٰۤؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْۢ بِهِ اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗوَاِنَّ الظّٰلِمِيْنَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ}

“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan syari’at bagi mereka yang tidak diizinkan (diridai) Allah? Dan sekiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Allah) tentulah hukuman di antara mereka telah dilaksanakan. Dan sungguh, orang-orang zalim itu akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS: Asy-Syura: 21).

Jika ada seseorang yang mengklaim mempunyai wewenang/otoritas untuk membuat aturan syari’at, lalu mengharamkan apa yang Allah halalkan serta menghalalkan apa yang Allah haramkan, maka siapapun yang mentaati orang tersebut serta mempercayai aturan syari’at yang dibuat olehnya, maka benar ia dihukumi musyrik dan kafir.

{وَلَا تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّٰهِ عَلَيْهِ وَاِنَّهٗ لَفِسْقٌۗ وَاِنَّ الشَّيٰطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ اِلٰٓى اَوْلِيَاۤىِٕهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ ۚوَاِنْ اَطَعْتُمُوْهُمْ اِنَّكُمْ لَمُشْرِكُوْنَ}

“Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik.” (QS: Al-An’am: 121).

Orang-orang musyrikin yang menghalalkan bangkai-bangkai hewan yang tidak disembelih dengan nama Allah, jika kita mentaati mereka sehingga kita juga menghalalkan bangkai, maka kita divonis musyrik oleh Allah.

{اِتَّخَذُوْٓا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَۚ وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوْٓا اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ سُبْحٰنَهٗ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ}

“Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS: At-Taubah: 31).

Ayat ini ditafsirkan dengan hadits Adi Bin Hatim Ath Thoo-i Radhiyallahu ‘Anhu. Dimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membacakan ayat tersebut kepada beliau. Kemudian beliau berkata: “Wahai Rasulullah, kami tidaklah menyembah kepada mereka (Rahib-Rahib Nashrani)”.

Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

أليس يحلون لكم ما حرم الله فتحلونه، ويحرمون ما أحل الله فتحرمونه؟

“Bukankah mereka menghalalkan untuk kalian apa yang Allah haramkan sehingga kalianpun menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan sehingga kalian mengharamkannya?”.

Beliau (Adi Bin Hatim) berkata: “Benar”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

فتلك عبادتهم

“Itulah (yang dimaksud) menyembah kepada mereka” (Diriwayatkan oleh Ahmad Dan Tirmidzi).

Inilah yang dianggap syirik dan mempertuhankan selain Allah, yaitu jika ada seseorang yang mengarang-ngarang aturan syari’at, lalu kita mengikutinya.

Tentu saja harus dibedakan antara membuat syariat dan membuat peraturan keduniaan. Membedakannya sangatlah mudah, bukankah sebuah SD (Sekolah Dasar) terdapat aturan yang dibuat-buat oleh Kepala Sekolah seperti harus memakai topi seragam pada hari tertentu, apakah kita mengkafirkan kepala sekolah itu dengan logika: “Membuat aturan adalah hak Allah, berarti Anda mengambil hak Allah, maka Anda musyrik”.

Kecuali apabila ternyata kepala sekolah itu mengeluarkan fatwa bahwa memakai topi seragam adalah fardhu (wajib) yang siapa melakukannya dipercaya masuk surga dan siapa yang tidak mau melakukannya dipercaya akan masuk neraka, maka baru dianggap kepala sekolah itu musyrik karena dia telah mengarang-ngarang aturan syari’at, bukan lagi sekedar buat peraturan sekolah. Hal ini sangat mudah dipahami. 

Yang dilakukan oleh pemerintah adalah semisal yang dilakukan oleh kepala sekolah itu, yaitu karena mereka berwenang membuat peraturan perundang-undangan untuk mengatur kemaslahatan duniawi masyarakatnya, hal itu sah dan boleh, bahkan wajib ditaati.

(2) Pemegang kekuasaan yang sah (dalam konteks Indonesia, yaitu mencakup Presiden dan dewan perwakilan rakyat), mereka diberikan wewenang dalam Islam untuk memerintah dan mengatur urusan masyarakat banyak, bahkan Islam membebankan hukum wajib kepada rakyat agar mendengar dan taat terhadap pemegang kekuasaan selama perintahnya tidak bertentangan dengan syari’ah Islam. Dalam Islam, otoritas yang wajib ditaati ini disebut sebagai ulil amri (dia yang memegang urusan).

{وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِيالأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً}

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)” (QS: An Nisa: 83).

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً}

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS: An-Nisa: 59).

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Ia bersabda:

من أطاعني فقد أطاع الله ومن يعصني فقد عصى الله ومن يطع الأمير فقد أطاعني ومن يعص الأمير فقد عصاني

“Barang siapa yang mentaati aku sungguh ia telah mentaati Allah, dan barang siapa yang durhaka padaku sungguh ia telah mendurhakai Allah, barang siapa yang taat pada pemimpin sungguh ia telah taat padaku, dan barang siapa yang durhaka pada pemimpin sungguh ia telah durhaka padaku” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1835).

Sehingga dewan perwakilan rakyat dan Presiden berhak atas kewenangan mereka mengadakan aturan-aturan dalam rangka mengatur rakyat, dan aturan-aturan tersebut wajib ditaati oleh rakyat. Sehingga tidak benar klaim kaum radikalis-ekstremis bahwa pembuatan aturan oleh DPR adalah kesyirikan.

(3) Syura/musyawarah sebagai suatu prinsip dalam Islam adalah sesuatu yang kedudukannya sudah pasti lagi sudah tetap, namun tatacara teknis pelaksanaan musyawarahnya adalah sesuatu yang dapat senantiasa terus berubah-ubah serta dapat terus senantiasa berkembang sesuai dengan berkembangnya peradaban dan kebudayaan manusia. 

Agama Islam menitik beratkan dan menjunjung tinggi “syura (musyawarah)” sebagai asas/prinsip dalam menjalani dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan duniawi, baik dalam kehidupan berkeluarga, kehidupan bermasyarakat, maupun kehidupan berbangsa/bernegara.

{فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ}

Baca...  Wajah Pancasila dalam Al-Qur'an

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS: Ali Imran: 159).

{وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS: Al-Syu’ara: 38).

Wajibnya syura dalam menyelesaikan masalah-masalah keduniaan, termasuk dalam hal berbangsa/bernegara, bersamaan dengan itu pula disadari dengan pasti bahwa perkara penyelenggaran pemerintah/kenegaraan merupakan perkara muamalah duniawiyah.

Sehingga dalam tatacara penyelenggaran dapat terus menerus perkembangan-perkembangan serta tidak harus sama persis dengan zaman Rasulullah SAW dan zaman para sahabat.

Yang wajib hanyalah berpegang kepada hukum-hukum Islam dan prinsip-prinsip umum syariah dalam penyelenggaraan pemerintah/kenegaraan serta tidak ada keharusan agar persis bentuk/sistem dengan bentuk di masa Nabi dan para sahabat.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata dalam fatwa:

“Kaidah fikih menyebutkan,

الأصل في المعاملة الإباحة فلا يحظر منها الا ماحرمه الله

Hukum asal dalam permasalahan muamalah adalah mubah (boleh), tidak dilarang kecuali yang diharamkan oleh Allah.

الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على عدم الإباحة

Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehannya.

الأمور بمقاصدها

Segala perkara tergantung niatnya.” (Lihat https://suaramuhammadiyah.id/2019/08/07/hukum-merayakan-hut-republik-indonesia/).

Dengan demikian mekanisme pelaksanaan syura/musyawarah dalam pemerintah dapat terus bisa berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Jika hal ini sudah dipahami dengan baik, maka tidak sulit untuk memahami bahwa tatacara musyawarah dalam sistem republik/demokrasi berbeda dengan tatacara musyawarah dalam sistem monarki/kerajaan sebagaimana juga berbeda dengan tatacara musyawarah dalam sistem-sistem pemerintah lainya.

Berikut contoh agar dapat lebih mendekati pemahaman ini, badan pembuat aturan dalam sistem monarki adalah ditunjuk/diangkat oleh Raja sedangkan badan pembuat aturan dalam sistem republik adalah dipilih berdasarkan voting rakyat.

Hakim dalam sistem monarki diangkat oleh Raja sedangkan dalam sistem republik diseleksi oleh dewan perwakilan rakyat dalam sistem monarki Undang-Undang bisa dibatalkan karena Raja tidak setuju namun dalam sistem republik presiden tidak bisa sewenang-wenang membatalkan undang-undang tanpa konsultasi dengan DPR.

Kepala daerah dalam sistem monarki adalah ditunjuk oleh Raja, sedangkan dalam sistem republik dipilih dengan voting rakyat. Dalam sistem monarki Raja dapat memecat kepala daerah, namun dalam sistem republik Presiden tidak bisa memecat kepala daerah.

Kekuasaan dalam sistem monarki dipengang penuh oleh satu orang Raja guna agar pengambil keputusan bisa cepat lagi efektif sedangkan kekuasaan dalam sistem demokrasi dipecah menjadi tiga yaitu:

Lgislatif dan eksekutif serta yudikatif dengan alasan guna menghindari penyalahgunaan kewenagan karena kekuasaan yang sangat besar dipegang oleh satu orang dan lain-lain dari perbedaan tatacara penyelenggaraan pemerintahan yang dari berbagai macam sistem yang berbeda-beda.

Semua sistem itu dipilih oleh para penganutnya atas pertimbangan kemaslahatan dalam mewujudkan pemerintahan. Itu semua adalah hal-hal keduniaan yang sagat luas terbuka ijtihad didalamnya.

(4) Pemakaian cara voting memilih anggota-anggota yang akan mengisi lembaga pembuat aturan. Esensinya adalah rakyat mengangkat juru runding (perwakilan) dan mengutuskan ke gedung lembaga pembuat aturan agar mewakili mereka (rakyat) dalam diskusi pembuat peraturan kenegaraan.

Dikarenakan adanya kesulitan apabila rakyat yang jumlahnya berjuta-juta harus seluruhnya ikut seta berunding/musyawarah dalam ruang lembaga pembuat aturan. Maka pengutusan beberapa dan sebagai juru runding (wakil) adalah sebuah kemaslahatan.

Pemilihan juru runding sebagai wakil dalam menyelesaikan masalah dan mencari penyelesaian maslahat adalah sesuatu yang pada dasarnya mempunyai asal dalam syariat.

Dalam hal pernikahan, tatkala sepasang suami istri masuk dalam pertikaian dan pertengkaran sehingga susah didamaikan, maka syariat memberikan solusi dengan memerintahkan dari kedua belah pihak, keluarga laki-laki dan mengutus juru runding (hakam) dan keluarga perempuan untuk mengutus juru runding. Agar kedua juru runding tersebut bertemu mencari penyelesaian dan memutuskan perkara diantara keduanya.

{وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا}

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS:: An-Nisa’: 35).

Atas dasar pertimbangan bahwa kedua keluarga itu yang langsung bertemu kan sulit bermusyawarah karena ada latar belakang pertengkaran diantara mereka dan jumlah keseluruhan anggota keluarga yang barangkali cukup banyak. Sehingga kurang efektif apabila bermusyawarah secara langsung. Maka pengutusan juru runding dalam hal ini adalah sebuah kemaslahatan.

Prinsip ini kemuadian terwujud dalam sistem demokrasi dalam ruang lingkup pencarian kemaslahatan yang lebih luas. Yaitu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

(5) Apabila pemerintah dalam sistem demokrasi kemudian ternyata dalam membuat peraturan perundang-undangan menghasilkan sebagian aturan bertentangan dengan syariat Islam atau aturan yang bertentangan dengan kemaslahatan duniawiyah rakyat.

Maka, sebagai berikut:

(a) Bahwa menjabatnya seorang pada jabatan pemerintahan baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lalu setelah ia menjabat malah membuat/melaksanakan kebijakan-kebijakan yang rusak bertentangan dengan agama dan kemaslahatan dunia. Maka hal tersebut banyak terjadi dalam pemerintahan Islam lainya yang pernah ada. Baik yang bersistem monarki ataupun yang sistem lainya.

Pelanggaran syariat mudah kita ketahui dari catatan sejarah. Pernah terjadi pada negara-negara Islam yang telah lalu, seperti Daulah Umayyah, Daulah Abbasiyah, Kesultanan Mesir Mamluk, Kesultanan Turki Utsmani. Bahkan kerjaan Arab Saudi hingga sekarang.

Apa yang dikritik pada sistem demokrasi berupa adanya suap-menyuap, kecurangan, korupsi, penghilangan nyawa, tipu muslihat, dan kezaliman lainya. Maka hal-hal itu ternyata juga ada pada negara-negara Islam lainya yang tidak bersistem demokrasi.

(b) Apabila menghasilkan aturan yang bertentangan dengan syariat Islam, maka pejabat kenegaraan yang terlibat dalam mendukung aturan rusak tersebut di hukum telah melakukan kezaliman dan kemaksiatan.  

{وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ}

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS: Al-Maidah: 45).

{وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ}

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS: Al-Maidah: 47).

Sedangkan terhadap orang-orang muslim menjabat jabatan kenegaraan itu sudah berjuang agar tercapainya aturan yang sesuai syariat dan menolak aturan buruk akan tetapi terkalahkan, maka mereka tidak berdosa karena sudah berjuang susuai dengan kesanggupanya

{فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”(QS: At-Taghabun: 16).

(c) Kewajiban taat kepada pemerintah/negara tidaklah gugur hanya karena adanya pejabat-pejabat kenegaraan yang mengambil kebijakan-kebijakan rusak. 

Bahkan rakyat tetap wajib mendengarkan dan wajib taat kepada pemerintah serta mengakuinya dengan sah sebagai pengatur urusan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟، قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ “

Baca...  Kesederhanaan: Hidup Tanpa Kebingungan

“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah mendengar dan taat” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1847).

” عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ “

“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila ia diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1839).

(d) Berhukum dengan selain hukum Allah SWT adalah termasuk sebagai kekufuran yang tidak mengeluarkan seorang dari Islam (Kufrun Duuna Kuffrin) dan ia hanya termasuk kufur akbar. 

{وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ}

“Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS: Al-Maidah: 44).

Salah seorang sahabat Rasulullah yang mulia Imam ‘Abdullah Bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

إِنَّهُ لَيْسَ بِالْكُفْرِ الَّذِي تَذْهَبُونَ إِلَيْهِ، إِنَّهُ لَيْسَ كُفْرًا يَنْقِلُ عَنْ مِلَّةٍ {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} كُفْرٌ دُونَ كُفْرٍ

“Sesungguhnya ia bukanlah kekufuran sebagaimana yang mereka (Khawarij) maksudkan. Ia bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari agama (murtad). “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”; yaitu kekufuran di bawah kekufuran (kufrun duuna kufrin” (Diriwayatkan Oleh Al-Baihaqi Dalam As-Sunan Al-Kubra).

(6) Kritikan mereka terhadap demokrasi:

Demokrasi menempati kekuasaan/kedaulatan di tangan rakyat yang dilaksanakan oleh wakil-wakil rakyat di gedung parlemen, padahal seharusnya kedaulatan/kekuasaan di tangan Allah. Sanggahan terhadap hal itu:

(a) Dalam sistem demokrasi, semisal sistem monarki, sebenarnya sama saja: “Kekuasaan/kedaulatan di tangan Raja”. Jika kekuasaan negara sepenuhnya dipimpin oleh seorang pemimpin yng disebut Sultan/Khalifah, maka hal yang sama juga berlaku: “Kekuasaan/kedaulatan di tangan Khalifah/Sultan.”

(b) Kita dalam sistem demokrasi “Kekuasaan/kedaulatan di tangan rakyat yang diwakili oleh wakil-wakil rakyat” Lalu kita tegas: “Wakil-wakil rakyat tersebut wajib taat kepada hukum Allah SWT. Demikian juga rakyat tersebut wajib taat kepada hukum Allah AWT.” 

Sebagaimana hanya dalam monarki “Kekuasaan/kedaulatan di tangan Raja/Khalifah/Sultan.” Namun tetap di tegaskan “Raja/Khalifah/Sultan wajib memerintah berdasarkan hukum Allah SWT.”

(7) Kritik mereka terhadap demokrasi: 

Pelaksanaan voting dalam demokrasi berkonsekuensi menyamaratakan kedudukan orang-orang berintelektual (alim) dengan orang-orang tidak berintelektual dan menyamakan kedudukan orang-orang bermoral dengan yang tidak bermoral. Karena suara dari tiap-tiap mereka dihitung setara. Hal ini membawa kepada kecenderuangan terpilih di pemerintahan pejabat yang bodoh dan bejat.”

(a) Sebagaimana sistem demokrasi mempunyai kelemahan, maka sistem-sistem lain juga punya kekurangan.

Sistem monarki memilih kelemahan dari sisi “Kekuasaan yang sangat besar di sisi Raja, sangat besar potensi penyalahgunaan serta diangkat pejabat hanya berdasarkan kekeluargaan.”

(b) Kelemahan dalam sistem demokrasi itu sebenarnya dapat diatasi dengan cara memperkuat syarat-syarat seorang boleh mencalonkan ke dalam pemerintahan. Berupa batas minimal pencapaian pendidikan akademik. Dalam satu bidang ilmu tertentu juga kriteria tidak pernah melakukan kriminal dan lain-lain. 

Sehingga kualitas calon-calon yang di angkat oleh partai politik dapat meningkatkan kualitasnya baik dalam segi intelektual maupun dalam segi moralitas. Sehingga apapun kecenderungan buruk yang dipilih oleh rakyat diantaranya calon-calon tersebut dalam voting berupa memilih orang-orang tidak berkompeten. Dapat diminimalisir/kurangi karena calon yang tersedia diseleksi dengan ketat

(8) Dibolehkan terlibat orang-orang berbeda agama dalam negara Indonesia, adalah konsekuensi dari ahd (perjanjian/konsensus/kesepakatan) yang telah disepakti oleh para pendiri bangsa Indonesia. Ini sejak awal mula berdirinya dengan dibentuknya Pancasila sebagai dasar negara

{َاَوۡفُوۡا بِالۡعَهۡدِ‌ۚ اِنَّ الۡعَهۡدَ كَانَ مَسۡـــُٔوۡلًا}

“Penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (QS: Al-Isra’: 34).

{يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ}

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.” (QS: Al-Maidah: 1).

(9) Kesimpulan:

Majelis Tarjih Dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata dalam fatwa:

“Demokrasi adalah salah satu sistem bernegara yang digunakan untuk mencapai tujuan suatu negara. Dalam hal politik, sistem demokrasi Indonesia menggunakan konsep trias politika, yaitu pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga; eksekutif (pelaksanaan undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif atau kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang).

Salah satu hal yang perlu menjadi perhatian penting adalah, demokrasi ini hanyalah alat untuk mencapai tujuan, dan bukan tujuan itu sendiri. Dalam hal ini pemilihan pimpinan negara, negara demokrasi menggunakan sistem voting. Dulu, sistem voting diwakili oleh DPR, sedangkan sekarang, sistem voting menggunakan pemilihan umum. Adapun kelompok yang mengharamkan demokrasi berpendapat menggunakan dalil berikut.

{اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ}

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS: Al-An’am: 57).

{وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ}

Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir (QS: Al-Maidah: 44).

Tentu ayat yang dijadikan sebagai hujjah adalah benar, akan tetapi pemahaman yang mengharamkan demokrasi berdasar ayat tersebut tidaklah tepat. Beberapa argumennya adalah sebagai berikut.

1. Qs. Al-Maidah: 44 ditafsirkan secara tidak tepat dengan dalih mereka yang tidak menggunakan syariah islam dalam bernegara ke dalam golongan kafir. Mereka menjadikan aspek hukum dan politik sebagai salaj satu syarat keimanan seseorang. Cara penafsiran ini seperti kaum Khawarij pada masa sahabat yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena menerima tahkim (arbitrase) yang dianggap bukan hukum Allah. Padahal jika dilihat dalam tafsir-tafsir Al-Qur’an, ayat ini memiliki makna bahwa siapa saja yang mengingkari dalam hatinya dan mengingkari bahwa kalam Allah adalah wahyu yang benar, maka dia adalah kafir. Akan tetapi bagi mereka yang memiliki uzur dalam pelaksanaanya maka tidak masuk dalam golongan kafir.

2. Mereka mengartikan hanyalah kekhususan Allah saja, dan manusia tidak boleh membuat hukum. Padahal sejak zaman Umar bin Khathab dan khalifah lainnya sudah banyak undang-undanh yang tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

3. Demokrasi dan seluruh hal di dalamnya bukan berarti pengganti hukum Allah, hal ini dikarenakan keduanya tidak bertentangan. Hukum demokrasi yang ada pada dasarnya sesuai dengan nilai Islam dalam perihal politik, misalnya pemilihan presiden, memerintahkan kepada kebaikan, dan mencegah kemungkaran, musyawarah, dll.

4. Hukum positif merupakan sebuah alat untuk mencapai tujuan. Selama alat ini bisa digunakan untuk menuntun kita kepada Allah, maka adalah sah penggunaannya. Penggunaan lafal asing (seperti demokrasi, hukum positif, dll), yang terkesan tidak “Islami” bukanlah penghalang untuk digunakan, karena pada dasarnya yang penting adalah substansinya bukan namanya.

5. Menggunakan sistem hukum dari Negara lain merupakan hal yang sah. Hal ini seperti halnya ketika Nabi saw menggunakan strategi parit saat perang Khandak yang berasal dari Persia. Umar bin Khathab juga membentuk Undang-undang pada masanya, dan juga penggunaan mata uang pada masa Umawiyah.” (Lihat https://suaramuhammadiyah.id/2021/01/08/nasionalisme-radikalisme-dan-demokrasi/; Atau Lihat Majalah Suara Muhammadiyah, Edisi Ke-16, Tahun Ke-105 (16-31 Agustus 2020), Pada Halaman Ke-24 Sampai 25).

Oleh: Ustaz Raihan Ramadhan

2366 posts

About author
Merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
Esai

Menggali Ajaran Alqur'an Tentang Bullying: Larangan dan Hikmah Dibaliknya

1 Mins read
Bullying, suatu perbuatan tercela yang dapat menjatuhkan martabat dan psikis seseorang – yang berupa tindakan fisik, verbal, atau psikologis – perilaku tersebut…
Esai

Dinamika Perkembangan Islamic Studies

2 Mins read
Dinamika perkembangan Islamic studies. Pada tulisan singkat ini, penulis hendak menelisik tentang sejarah Islamic studies, menguraikan sejarah awal perkembangan studi Islam yang…
Esai

Persepsi Warga Dalam Pemilukada 2024

4 Mins read
KULIAHALISLAM.COM – Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia 2024 (Pemilukada) digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights