Kita semua tahu bahwa “kritik” adalah salah satu sifat yang paling menonjol dalam karya Al-Ghazali. Secara umum, kritik mungkin adalah bagian dari tabiat keilmuan umat Islam. Para ulama sering berselisih pendapat. Ini menunjukkan bahwa tradisi kritik adalah tradisi yang “sah” dalam sejarah keilmuan kita. Tradisi ini sudah ada sejak awal Islam pada abad kedua Hijriah dan terus berlanjut hingga saat ini.
Sebenarnya, kritik ini tidak hanya dilakukan oleh ulama di bidang ilmu rasional (al-ulum al-aqliyah), seperti filsafat, teologi, dan sejarah (meskipun sejarah juga merupakan bidang ilmu yang sering dikritik oleh para sejarawan), tetapi juga oleh ulama di bidang ilmu syar’iyah (ilmu agama).
Oleh karena itu, ketika membaca kitab Muqaddimah karya Ibnu Khaldun—seorang ulama besar asal Andalusia yang hidup pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15 dan menghabiskan sisa hidupnya di Mesir—kita akan menemukan bahwa beliau adalah sosok yang banyak melakukan kritik terhadap ulama lain dalam topik sejarah.
Selain itu, ketika Anda membaca kitab Imam Syafi’i yang sangat penting di awal sejarah Islam, Ar-Risalah, Anda juga akan menemukan banyak kritik. Ini termasuk kritiknya terhadap mazhab Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, serta kritiknya terhadap Imam Malik dan pengikut-pengikutnya.
Hal ini menunjukkan bahwa murid mengkritik guru adalah hal yang “lumrah” dan “biasa” dalam sejarah Islam. Namun, kritik ini dimaksudkan untuk dilakukan dengan cara yang ilmiah atau kritik yang membangun, karena tradisi keulamaan kita terbiasa mengoreksi pendapat orang lain.
Penting untuk diingat bahwa ketika seseorang melakukan kritik terhadap lawan debat, mereka tidak disebut sebagai musuh (al-‘aduww), melainkan disebut sebagai lawan debat (al-khasm). Selain itu, seperti yang kita ketahui, Imam Syafi’i memiliki prinsip yang sangat terkenal dalam perdebatan.
Dalam pernyataannya, beliau mengatakan, “Pendapat saya ini benar, tetapi mengandung kemungkinan salah. Sebaliknya, pendapat lawan salah, tetapi mengandung kemungkinan benar.” Oleh karena itu, kita harus siap untuk menerima fakta bahwa kita mungkin telah melakukan kesalahan dan siap menerima kebenaran dari pihak lawan debat.
Itulah esensi kritik yang sebenarnya. Perdebatan ulama Arab yang saling mengkritik adalah hal biasa. Hal ini berbeda dengan budaya orang Jawa yang cenderung sungkan. Orang Jawa menganggap kritik dapat melukai perasaan, sehingga mereka yang gemar mengkritik sering kali dihukumi (dianggap) kurang elok secara sosial.
Strategi dan Kritik Al-Ghazali
Gus Ulil mengatakan bahwa meskipun Al-Ghazali banyak melakukan kritik, hal ini tidak aneh. Dalam konteks ini, Al-Ghazali mengkritik karena sekadar mengikuti kebiasaan para ulama. Meskipun demikian, Al-Ghazali tidak hanya dikenal sebagai penulis kitab Ihya’ Ulumuddin, tetapi juga sebagai kritikus dan ahli kritik. Salah satu kritiknya yang paling terkenal terhadap filsafat tertuang dalam kitab Tahafut al-Falasifah.
Jika diteliti lebih jauh, jelas bahwa Al-Ghazali mengkritik ahli filsafat serta kelompok politik. Tidak mengherankan jika Al-Ghazali kemudian diberi julukan Hujjatul Islam (Sang Argumentator Islam), karena dia sering mengkritik orang lain demi mempertahankan akidah Islam yang dianggap paling akurat, yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah, terutama akidah Asy’ariyah.
Ulama fikih (juga dikenal sebagai fuqaha) dan ulama mutakallimun (teolog/ahli kalam) adalah beberapa pihak yang mendapat banyak kritik pedas dari Al-Ghazali, selain para filosof. Pihak lain dalam Islam yang memiliki pandangan agama berbeda, seperti Syiah Ismailiyah, juga tak luput dari kritik Al-Ghazali.
Untuk apa Al-Ghazali mengkritik fuqaha?
Menurut Gus Ulil, Al-Ghazali mungkin menulis sepertiga Ihya’ Ulumuddin berisi kritik kepada para fuqaha, baik itu kritik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, kata Gus Ulil, jika kitab Ihya’ dibedah, isinya sebetulnya mengandung asumsi atau “tuduhan” bahwa ilmu-ilmu agama telah mati (hilang).
Karena itulah Al-Ghazali memiliki keinginan untuk menghidupkannya kembali. Lantas, siapa yang menyebabkan hilangnya ruh ilmu agama? Para ahli fikih dianggap turut bertanggung jawab. Oleh karena itu, Al-Ghazali merasa perlu mempromosikan kembali esensi ilmu agama, hingga akhirnya ia menulis Ihya’ Ulumuddin.
Terkait hilangnya ilmu agama, tampaknya penyebab matinya ilmu-ilmu tersebut adalah kecenderungan pada masa Al-Ghazali untuk menggunakan ilmu (terutama ilmu fikih) demi keuntungan duniawi. Ilmu fikih menjadi ilmu yang “premium” dalam sejarah Islam.
Gus Ulil mengatakan bahwa nasib fikih kala itu sama dengan ilmu hukum modern, yang merupakan bidang yang menguntungkan secara ekonomi, terutama di masyarakat Barat di mana menjadi seorang pengacara (lawyer) adalah profesi yang sangat dihormati.
Sangat jelas bahwa ilmu hukum, layaknya ilmu fikih di masa lalu, dapat menghasilkan banyak keuntungan finansial. Itulah sebabnya para fuqaha menjadi salah satu pihak yang paling dibutuhkan oleh penguasa pada masa itu.
Bersambung…

