Kisah Nabi Nuh adalah salah satu narasi paling terkenal dalam tradisi keagamaan. Tentang seorang nabi yang diperintahkan untuk membangun kapal raksasa untuk menyelamatkan para pengikutnya dari banjir besar.
Biasanya, cerita ini dibaca secara literal: kapal adalah kapal, banjir adalah banjir, dan keselamatan adalah keselamatan fisik dari air bah. Namun, tafsir tidak selalu berhenti pada makna lahiriah. Bagi sebagian kelompok keagamaan, kisah ini menyimpan lapisan makna yang jauh lebih dalam. Salah satu tokoh yang menawarkan pembacaan alternatif ini adalah Nu‘mān ibn Ḥayyūn, seorang ulama besar Syī‘ah Ismā‘īliyyah dari era Fāṭimiyyah.
Melalui karyanya Asās al-Ta’wīl, ia menghadirkan penafsiran alegoris yang menakjubkan, di mana Bahtera Nuh berubah menjadi simbol keselamatan spiritual dan otoritas Imam.
Mengenal Nu‘mān ibn Ḥayyūn: Ulama, Hakim, dan Pemikir Besar Fāṭimiyyah
Nu‘mān ibn Ḥayyūn lahir di kawasan Maghrib, khususnya Qairawān—salah satu pusat intelektual paling bergengsi di dunia Islam saat itu. Meski tanggal kelahirannya tidak pasti, ia hidup pada masa kejayaan Daulah Fāṭimiyyah dan menjadi salah satu ulama terkemukanya. Ia belajar langsung dari ayahnya, lalu melanjutkan pendidikannya di berbagai majelis ilmu Qairawān.
Ketokohannya membuat ia diangkat sebagai Qādī al-Quḍāt (Hakim Agung) dan melayani empat khalifah Fāṭimiyyah, mulai dari al Mahdī hingga al-Mu‘izz li Dīn Allāh.
Kapasitasnya sebagai ulama sekaligus pejabat tinggi membuat karyanya tidak hanya bernilai ilmiah, tetapi juga politis. Dalam iklim intelektual yang didominasi mazhab Sunni, Nu‘mān berperan sebagai pilar ideologi Fāṭimiyyah. Tafsirnya ditujukan bukan hanya untuk menjelaskan ayat, tetapi juga meneguhkan doktrin Imamah—inti ajaran Syi’ah Ismā‘īliyyah—bahwa keselamatan spiritual hanya bisa dicapai melalui bimbingan Imam yang sah.
Kunci Penafsiran: Kapal sebagai Simbol Dakwah dan Keselamatan
Dalam Asās al-Ta’wīl, Nu‘mān menafsirkan ayat-ayat tentang perintah Allah kepada Nuh untuk membangun kapal, khususnya dari Surah Hud. Tafsir mayoritas Sunni melihat ayat ini secara literal, tetapi Nu‘mān justru melakukan ta’wīl, yakni penafsiran makna batin yang tersembunyi.
Menurutnya, kapal Nuh bukan hanya objek kayu raksasa, melainkan simbol dakwah kebenaran (Da‘wah al-Ḥaqq). Kapal adalah “wadah” yang menyelamatkan orang dari tenggelam dalam kesesatan. Dalam kerangka teologi Ismā‘īliyyah, manusia tidak hanya berisiko karam oleh air, tetapi oleh kebodohan spiritual, penyelewengan pemahaman, dan keterputusan dari Imam.
Maka, air bah dalam kisah ini ditakwilkan sebagai lautan ilmu atau kesesatan: ilmu yang benar menyelamatkan, tetapi ilmu yang salah justru menenggelamkan.
Kapal itu sendiri, menurut Nu‘mān, adalah perumpamaan dari dakwah Imam. Naik ke kapal berarti mengikuti bimbingan Imam Ma‘ṣūm. Tidak ikut berarti tenggelam dalam kekufuran dan penyimpangan. Tafsir seperti ini bukan sekadar simbolis, tetapi mengandung pesan ideologis yang kuat: keselamatan rohani hanya akan diperoleh bersama Imam yang memegang otoritas ilahi.
Struktur Kapal sebagai Representasi Teologi
Nu‘mān tidak berhenti pada alegori sederhana. Ia membedah struktur kapal secara detail dan menghubungkannya dengan sistem keagamaan Ismā‘īliyyah. Bahan-bahan pembangun kapal—kayu, besi, akal, dan manusia—dianggap menggambarkan keselarasan antara materi dan spiritualitas.
Kapal yang berlayar karena tujuh unsur digambarkan sebagai simbol hirarki dakwah, di mana nabi, wasi (imam), dan para pendampingnya menjalankan tugas masing-masing.
Ia juga menafsirkan dua belas papan kayu kapal sebagai simbol dua belas lāḥiq, yakni pengikut spiritual yang menjadi penyokong Imam. Empat tali utama kapal ditakwilkan sebagai empat prinsip syariat, sementara dua belas tali tambahan merupakan representasi struktur dakwah tingkat lanjut. Bahkan angin yang menggerakkan kapal disebut sebagai lambang wahyu yang mendorong dakwah dan perjalanan spiritual manusia.
Bagi Nu‘mān, tidak ada unsur dalam kisah Al-Qur’an yang hadir tanpa makna batin. Setiap bagian kapal adalah cerminan sistem keilmuan dan spiritualitas yang menggabungkan ẓāhir (syariat) dan bāṭin (hakikat).
Corak Hermeneutika Kebatinan
Penafsiran Nu‘mān merepresentasikan karakter khas tafsir Ismā‘īliyyah: berani, simbolik, filosofis, dan sangat bergantung pada ta’wīl. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa Al-Qur’an memiliki lapisan makna. Makna lahiriah hanyalah pintu menuju makna batin yang jauh lebih dalam. Nu‘mān menggunakan akal (ra’yu) sebagai instrumen utama dalam menyingkap makna tersebut, meskipun ia tetap menggunakan hadis dan riwayat untuk menopang argumentasinya.
Kisah para nabi dipandang bukan sebagai sejarah yang beku, tetapi sebagai alegori perjalanan rohani manusia. Nabi Nuh menjadi representasi Imam sebagai pemegang otoritas spiritual, bahtera menjadi simbol dakwah, sedangkan banjir menjadi lambang ujian intelektual dan moral. Dengan demikian, tafsir ini menempatkan Al-Qur’an sebagai teks hidup yang selalu relevan dan dinamis.
Fungsi Ideologis Tafsir
Pada masa Fāṭimiyyah, Asās al-Ta’wīl memiliki fungsi politik yang kuat. Penafsiran alegoris terhadap Bahtera Nuh menunjukkan bahwa Imam Fāṭimiyyah adalah satu-satunya figur yang mampu membawa umat menuju keselamatan rohani. Dalam konteks rivalitas antara Sunni dan Syi’ah, tafsir ini berperan sebagai legitimasi spiritual sekaligus teologis bagi kepemimpinan Fāṭimiyyah.
Nu‘mān berhasil menjahit tiga dimensi sekaligus: teologi (doktrin Imamah), filsafat (simbolisme dan alegori), dan politik (legitimasi kekuasaan). Tidak heran jika karyanya menjadi fondasi penting bagi tradisi penafsiran Ismā‘īliyyah.
Penutup: Warisan Intelektual yang Menggugah
Asās al-Ta’wīl adalah contoh luar biasa dari kekayaan hermeneutika Islam. Nu‘mān ibn Ḥayyūn mengajak pembacanya memahami bahwa kisah Al-Qur’an bukan hanya tentang apa yang terlihat, tetapi tentang lapisan makna yang lebih dalam. Bahtera Nuh yang ia gambarkan bukan sekadar kapal untuk menyelamatkan tubuh manusia, tetapi wahana untuk menyelamatkan jiwa. Ia menegaskan bahwa keselamatan sejati datang melalui ilmu, bimbingan spiritual, dan kesetiaan kepada Imam. Dengan gaya penafsiran yang penuh simbol dan kedalaman makna, Nu‘mān meninggalkan warisan yang terus mempengaruhi tradisi Ismā‘īliyyah hingga kini.
Karyanya adalah pengingat bahwa Al-Qur’an selalu memiliki ruang untuk digali, ditafsirkan, dan dihidupkan kembali melalui perjalanan tak berujung di atas “bahtera” ilmu dan pencarian makna.

