Perang Padri (1821-1837 M) merupakan pembaharuan kehidupan keagamaan yang kemudian berubah menjadi perang rakyat Minangkabau di bawah pimpinan ulama terhadap intervensi Belanda. Menurut sebagian sejarawan, kata “Paderi” menunjuk kepada sejumlah ulama yang pernah belajar agama ke Pedir (Pidie), Aceh dan karena mereka membentuk suatu kekuatan maka gerakan mereka dinamakan “Perang Paderi”. Pendapat lain mengatakan bahwa kata itu berasal dari kata Portugis yaitu Padre (Bapak), panggilan yang biasanya diucapkan orang kepada kaum ulama.
Munculnya golongan Paderi di Minangkabau diawali oleh tiga orang ulama Minangkabau yang kembali dari Mekah tahun 1802 yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Luhak Agam, Haji Abdurrahman dari Piobang, Luhak Lima Puluh Kota dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik, Luhak Tanah Datar. Mereka membawa paham Wahabi yang ketika itu sedang berpengaruh di Mekah. Mereka berhasil mempengaruhi seorang ulama berpengaruh yaitu Tuanku Nan Renceh, dan seorang penghulu adat dari Lembah Alahan Panjang, Datuk Bandaharo, dan muridnya, Peto Syarif yang kemudian dikenal dengan gelar Tuanku Imam Bonjol.
Para tokoh ulama muda di Luhak Agam yang dipimpin oleh Haji Miskin ini dikenal masyarakat sebagai Harimau Nan Salapan. Mereka adalah Tuanku Nan Renceh dari Kamang, Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Koto Ambalu, Tuaku di Ladang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Aur, dan Tuanku Haji Miskin.
Mereka melancarkan pembersihan terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut paham mereka bertentangan dengan ajaran Islam. Salat lima wajib waktu harus dikerjakan, wanita harus bercadar, pria tidak boleh memakai sutera, segala bentuk perjudian, minuman minuman keras, menghisap madat bahkan merokok dan makan sirih dilarang. Paham Wahabi disiarkan secara keras seperti halnya gerakan tersebut di Jazirah Arab.
Bentrokan bersenjata dengan para penghulu adat timbul. Pusat kerajaan Minangkabau, Pagaruyung jatuh ke tangan Paderi (tahun 1809 M) dan beberapa orang keluarga Raja dibunuh. Gerakan meluas ke Tapanuli Selatan pada tahun 1816 M dan memperkenalkan Islam dengan keras di daerah ini. Pada tahun 1818, Letnan Gubernur di Bengkulu, Sir Thomas Stanford Raffles mengunjungi Danau Singkarak.
Atas permintaan Tuanku Suruaso ( putra-putra raja Minangkabau, Alam Muning Syah) dan beberapa penghulu adat pasukannya ditinggalkan di Simawang tahun 1818.Pasukan ditarik mundur karena pemerintah tidak menyetujui politik Raffles.
Setelah Padang kembali ke tangan Belanda tahun 1819, Tuanku Suruaso dan 14 penghulu adat membuka perundingan dengan Belanda pada 10 Februari 1820 M. Perundingan berakhir dengan perjanjian yang berisi pernyataan penyerahan seluruh kerajaan Minangkabau dan keamanannya kepada Belanda dengan syarat Belanda harus mengusir dan melenyapkan kaum Paderi. Dengan dalih membela kaum adat, Belanda memerangi kaum Paderi 1821 dan pecahlah Perang Paderi.
Perang periode pertama antara Belanda dan kaum Paderi dimulai 28 April 1821 saat Belanda menyerang kaum Paderi di Sulit Air ( kini masuk Kabupaten Solok) melalui benteng peninggalan Inggris di Simawang (kini di Kabupaten Tanah Datar). Perang ini berlangsung tanpa pemberitahuan lebih dahulu dari pihak Belanda yang dikepalai oleh Du Puy. Sejak saat itu bersatulah kaum Paderi di seluruh Minangkabau baik di Agam, Lima Puluh Kota, Tanah Datar, maupun di Alahan Panjang.
Melihat kaum adat berperang di pihak Belanda, walaupun ada juga berpihak pada kaum Paderi, rakyat terpecah belah dan bahkan ada ulama yang menyerah kepada Belanda seperti Tuanku Dilako di Sulit Air dan Tuanku Imam Haji di Tanjung Balit (Tanah Datar).
Pada peperangan periode ini kedua belah pihak silih berganti menang. Kaum Paderi tetap tegar dalam perjuangan dan semangat mereka. Belanda mengubah taktik dengan tawaran berdamai. Perjanjian damai pertama kali terjadi pada tanggal 22 Januari tahun 1824 M, dikenal dengan Perjanjian Masang, yang di tandatangani oleh Tuanku Imam Bonjol di pihak Paderi dan Letnan Kolonel Raff di pihak Belanda.
Isinya mengakhiri permusuhan kedua belah pihak dengan mengakui daerah kekuasaan masing-masing dan kebebasan berdagang dia masing-masing. Namun, kelicikan Belanda tetap tercermin dalam perjanjian ini. Dalam perjanjian tersebut tercantum bahwa kaum Paderi akan membantu Belanda melawan Paderi lainnya yang mengganggu Belanda. Ini artinya kalau hal itu terjadi maka terjadi perang saudara antara sesama Paderi.
Perjanjian tersebut akhirnya dilanggar sendiri oleh Belanda dengan melakukan serangan ke kaum Paderi. Namun kekuatan kaum Paderi sulit dikalahkan sehingga untuk kedua kalinya mereka mengajukan perjanjian damai pada 29 Oktober 1825 di Ujung Karang.
Perjanjian ditandatangani pada 18 November 1825 di Padang. Jika Perjanjian Masang dilakukan oleh pihak Belanda dengan kaum Paderi dari Agam, Lima Puluh Kota dan Tanah Datar. Penandatanganan perjanjian kedua ini dilakukan oleh Tuanku Keramat dari pihak Paderi dan Kolonel De Stuers dari Pihak Belanda.
Isi perjanjian ini antara lain ; Belanda akan mengakui kekuasaan Tuanku Keramat di Lintau dan Telawas ( kini keduanya masuk Kabupaten Tanah Datar), Lima Puluh Kota, dan Agam, kedua belah pihak akan melindungi orang-orang kembali dari pengungsian serta melindungi orang-orang yang dalam perjalanan dan perdagangan.
Setelah perjanjian ini kegiatan perang tidak banyak dilakukan. Tetapi setelah Perang Dipenegoro berakhir (1825-1830 M), Belanda kembali melakukan penyerbuan. Pada penyerbuan ini, Bukit Muara Palam (Kabupaten Tanah Datar) dapat mereka kuasai pada Agustus 1831. Kapau sebagai benteng Paderi berhasil direbut Belanda pada April 1832 dan sebelumnya daerah pantai suplai senjata Paderi dari Singapura berhasil direbut pada bulan Desember 1831.
Kemudian Lintau jatuh ke tangan Belanda pada Agustus 1832 dan pada tahun yang sama juga Kamang dan Bansa ( keduanya kini Kabupaten Agam) jatuh. Selanjutnya Bonjol (Pasaman) sebagai pertahanan Paderi berhasil direbut Belanda pada 21 September 1832. Rao (kini di Kabupaten Pasaman) dan Sundatar (Kabupaten Agam) direbut Oktober 1832 dan pada tahun yang sama juga Lima Puluh Kota mereka kuasai. Dengan demikian, seluruh Minangkabau kecuali Kubung XIII, Solok, telah dikuasai Belanda.
Melihat kekalahan yang diderita rakyat Paderi dan Minangkabau dan kelakuan serangan serdadu Belanda yang menodai adat dan agama, seperti menjadikan masjid sebagai asrama serdadu, maka pada tahun 1833-1834 terjadilah konsolidasi total kaum Paderi dan persatuan antara kaum Paderi dan persatuan kaum adat yang tadinya memihak Belanda. Semangat jihad kaum Paderi munculnya kembali.
Pada tahun 1833 di kaki Gunung Tandikat dilakukan musyawarah antara kaum Paderi dan kaum adat untuk menyusun langkah-langkah dalam rangka melakukan serangan serentak ke seluruh Minangkabau terhadap Belanda. Permusyawaratan berhasil menyetujui serangan itu akan serentak dilakukan di seluruh Minangkabau pada 11 Januari 1833.
Namun sebelum tanggal tersebut rahasia bocor dan diketahui Belanda sehingga serangan itu tidak dapat dilakukan. Akan tetapi atas kegigihan kaum Paderi dan kaum adat, satu persatu wilayah yang dikuasai Belanda dapat direbut kembali. Mula-mula direbutlah Bonjol, Simawang, Tarantang, Tunggang, dan Lubuk Ambalau di Pasaman. Kemudian Juni 1833, Buo, Tambangan dan Guguk Sigantang di Tanah Datar dapat pula direbut. Sementara di sekitar Kamang, Agam pada bulan Juli 1833 terjadi peperangan sangit di bawah pimpinan Tuanku Mensiangan yang akhirnya tertangkap dan dihukum gantung Belanda pada 29 Juli 1833.
Pada 25 Oktober 1833 M, pemerintah Belanda mengumumkan apa yang dikenal dengan Plakat Panjang. Isinya pada dasarnya adalah janji Belanda untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat. Lebih penting lagi, Belanda menyatakan bahwa rakyat Minangkabau tetap diperintah oleh para penghulu adat mereka dan tidak diharuskan membayar Belasting atau pajak. Namun karena usaha Belanda menjaga perdamaian dan memajukan perdagangan memerlukan biaya maka rakyat dianjurkan menanam kopi dan menjualnya kepada kompeni.
Plakat Panjang mungkin saja langsung atau tidak halal berpengaruh juga terhadap kondisi psikologis golongan Paderi di Bonjol. Serangan Belanda bertambah gencar sehingga seluruh jalur menuju ke Bonjol mereka blokade. Tuanku Imam Bonjol dengan segala kekuatan dan bantuan Paderi dari daerah lainnya masih bisa tetap bertahan. Akan tetapi karena Tuanku Nan Tinggi yang tahu betul kekuatan dan kelemahan Tuanku Imam Bonjol maka akhirnya Paderi Bonjol berhasil ditaklukan Belanda tanggal 16 Agustus 1837.
Jatuhnya Bonjol menyebabkan pusat perjuangan Paderi dia pindahkan ke Daludalu (kini masuk ke Kampar, Riau, dekat perbatasan dengan Sumatera Barat) Barat di bawah komando Tuanku Tambusai. Tetapi Daludalu pun dapat dikuasai Belanda tanggal 28 Desember 1838.
Akhirnya pada tanggal 28 Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol yang tidak tahan lagi melihat penderitaan rakyat dan keluarganya, dia meminta damai dengan syarat dia tidak diasingkan dari tanah Minangkabau. Dia menemui komandan Belanda di Palupuh ( di utara Bukit Tinggi). Dengan upacara kehormatan dia dibawa ke Padang. Di sana kapal telah menantinya. Dia diasingkan ke Sukabumi dan kemudian dibawa ke Manado. Dia wafat tanggal 12 Dzulhijjah tahun 1238 H (1864 M) dan dimakamkan di Lutak, Manado.
Gerakan Paderi semula berhadapan dengan kaum adat tetapi kaum Paderi dan kaum adat berhasil dipadukan dengan Piagam Muara Palam yang terkenal melahirkan pepatah “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” dan ” Syarak mengata, adat memakai”. Maka semua ideologi adat telah dirumuskan. Agama Islam telah dijadikan sebagai landasan hakiki alam Minangkabau sedangkan adat Secara teoritis dijadikan sebagai penyalur akan terwujudnya landasan filosofi dalam kenyataan sosial dan kehidupan masyarakat.