Pada dasarnya, dalam pandangan syariat Islam, segala sesuatu yang tidak dilarang secara spesifik hukumnya adalah mubah atau boleh. Prinsip ini berlaku juga pada aktivitas fundamental manusia, yaitu berbicara.
Sebagai sarana komunikasi dan interaksi, berbicara merupakan keniscayaan dan bagian integral dari kehidupan. Namun, kebolehan ini tidak datang tanpa batas, karena lisan—alat untuk berucap—memiliki potensi yang luar biasa, baik untuk membangun maupun menghancurkan. Ia ibarat pedang bermata dua, yang ketajamannya bisa menciptakan kedamaian atau memicu kerusakan.
Mata pedang yang pertama memungkinkan manusia untuk mengukir peradaban: menjalin hubungan interpersonal, menegakkan kebenaran, menyampaikan ilmu, dan menginspirasi kebaikan. Melalui ucapan, kita dapat menghibur, memberi nasihat, atau menyampaikan informasi yang bermanfaat.
Namun, mata pedang yang kedua adalah sisi mengerikan yang berpotensi melahirkan madharat. Dengan lisan, kita bisa mencaci, memfitnah, berbohong, menghasud, bahkan menyulut konflik yang lebih besar. Sejarah mencatat, lisan memiliki andil besar pada banyak konflik antar ras, suku, agama, hingga peperangan antarnegara. Inilah mengapa syariat Islam hadir sebagai regulator untuk mengontrol aktivitas berbicara sebagai langkah preventif dari dampak negatif yang ditimbulkan.
Para ulama, sejak dahulu, telah memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini. Salah satu pandangan paling bijak datang dari Imam Abi Zakariya Muhyiddin Syarif An-Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin. Beliau menuturkan bahwa “wajib bagi setiap orang untuk menjaga lisan (diam), kecuali ia yakin bahwa dalam ucapannya ada suatu kemaslahatan.” Pendapat ini mengajarkan kita sebuah prinsip yang mendalam: prinsip kehati-hatian (al-ihtiyat). Jika antara berbicara dan diam memiliki kemaslahatan yang sebanding, maka sunnah baginya untuk lebih memilih diam. Ini karena ucapan yang pada awalnya mubah bisa dengan mudah berubah menjadi makruh, atau bahkan haram, karena adanya faktor eksternal atau niat yang tersembunyi.
Pendapat ini sejalan dengan pandangan Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumiddin. Beliau menegaskan bahwa jalan hidup para salaf—generasi awal Islam—adalah selalu memilih jalan dengan risiko paling kecil. Al-Ghazali menekankan bahwa bahaya lisan amatlah besar dan keselamatan dari bahaya ini hanya bisa diraih melalui diam. Beliau mengutip hadis Nabi Muhammad ﷺ yang masyhur:
مَنْ صَمَتَ نَجَا
“Barang siapa diam, maka ia selamat.”
Pesan ini menjadi pengingat bagi setiap Muslim bahwa diam bukanlah kelemahan, melainkan sebuah kekuatan dan kebijaksanaan yang menjaga diri dari dosa.
Posisi krusial lisan juga ditegaskan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi:
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ، تَقُولُ: اتَّقِ اللَّهَ فِينَا، فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ، فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا، وَإِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
“Apabila anak Adam bangun di pagi hari, semua anggota badan berteriak kepada lisan, ‘Bertakwalah kepada Allah dalam urusan kami, karena kami bergantung padamu. Apabila engkau lurus, kami akan lurus, dan apabila engkau bengkok, kami akan bengkok.'”
Hadis ini menggambarkan lisan sebagai seorang navigator yang memegang kendali penuh atas seluruh anggota tubuh. Kehidupan seseorang akan menjadi lurus jika lisannya lurus, sebaliknya, ia akan tersesat jika gagal mengendalikan lisannya. Lisan tidak hanya bertanggung jawab atas perkataan, tetapi juga atas perbuatan. Setiap tindakan yang kita lakukan seringkali diawali oleh niat yang diungkapkan, bahkan hanya dalam batin.
Pada akhirnya, lisan adalah anugerah besar dari Allah yang jangkauannya jauh lebih luas dari indra-indra lain. Berbeda dengan mata yang hanya bisa melihat, atau telinga yang hanya bisa mendengar, lisan mampu mengejawantahkan segala bentuk pengetahuan, pikiran, dan perasaan. Kekuatan luar biasa ini menuntut tanggung jawab yang sama besarnya.
Oleh karena itu, hukum berbicara dalam Islam tidak hanya sebatas “boleh,” tetapi juga diatur dengan ketat untuk memastikan bahwa anugerah ini digunakan untuk menciptakan kebaikan dan kemaslahatan, bukan kerusakan dan penyesalan. Setiap kata yang terucap adalah cerminan dari hati, dan dengan menjaga lisan, kita juga sedang menjaga diri kita sendiri dari kehancuran. Wallahu a’lamu.