Kuliahalislam.Syattariah (Syattariayyah) merupakan aliran tarekat yang muncul pertama kali di India pada abad ke-15. Nama Tarekat Syattariah dinisbatkan kepada tokoh yang mempopulerkan berjasa mengembangkan yaitu, Abdullah asy-Syattar.
Tarekat Syattariah menduduki posisi penting karena tarekat ini merupakan salah satu tarekat yang memiliki pengaruh yang besar di dunia Islam termasuk Indonesia. Di wilayah Dinasti Turki Usmani, tarekat itu disebut Bistamiyah, sedangkan di Iran dan Transoksania (Asia Kecil) dikenal dengan Isqiyah karena Abu Yazid al-Isqi dianggap sebagai tokoh utamanya.
Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Kemungkinan besar dia dilahirkan di salah satu tempat di sekitar Bukhara. Di sinilah dia diresmikan menjadi anggota Tarekat Isqiyah oleh gurunya yang bernama Muhammad Arif.
Pada abad ke-15, popularitas Tarekat Isqiyah memudar karena perkembangan Tarekat Naksyaabandiah di Asia Tengah. Abdullah asy-Syattar kemudian pindah ke India. Keputusan yang diambilnya ternyata tepat karena di sini akhirnya dia memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan Tarekat Syattariah. Dia tinggal di India sampai akhir-akhirnya tahun 1485 M.
Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syatariah disebarluaskan oleh murid-muridnya. Salah seorang murid yang paling berperan dalam mengembangkannya dan menjadikan Tarekat Syattariah sebagai satu tarekat dalam diri sendiri adalah Muhammad Gaus dari Gwalior (wafat 1562).
Sampai akhir abad ke-16, tarekat ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat Syattariah terus berkembang ke Mekah, Madinah dan sampai ke Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa penyebaran Tarekat Syattriah ke berbagai negara Islam ditunjang oleh kemasyuran para sufi India, sehingga hal itu menimbulkan daya tarik yang besar.
Sejak abad ke-16 sampai abad ke-18, para sufi India banyak yang menetap di Mekah, Madinah, Irak, Iran, Turki, Asia Tengah, dan Asia Tenggara. Mereka berhasil menyebarkan ide-ide dan ajaran-ajaran yang mereka anut. Di antara para sufi itu adalah pengikut dan penganjur Tarekat Syattariah.
Salah seorang tokoh sufi dari India yang mengajarkan Tarekat Syattriah di Mekah dan Madinah adalah Sibgatullah bin Ruhullah (wafat 1606). Sementara itu yang mempopulerkan Tarekat Syattariah di dunia Arab adalah Ahmad Sinhawi (wafat di Madinah, 1619 M), murid Sibgatullah.
Salah seorang khalifahnya adalah Ahmad Qusasi (1583-1661). Adapun tokoh penganjur Tarekat Syattariah yang cukup terkenal di Madinah adalah Ibrahim al-Qur’ani (wafat 1689 M). Tarekat Syattriah di bawah dan dikembangkan di Indonesia oleh Syekh Abdur Rauf Singkel (1615-1693 M), seorang ulama yang berasal dari Singkel, Aceh.
Dia turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17. Ketika melaksanakan ibadah haji ke Mekah pada tahun 1643, dia menggunakan kesempatan tersebut untuk menuntut ilmu seluas-luasnya terutama di bidang tasawuf dan tarekat.
Dia menetap di Arab Saudi sekitar 19 tahun dan selama itu pula dia berguru kepada berbagai ulama dan ahli tarekat antara lain Ahmad Qusasi dan Ibrahim Qur’ani. Dibandingkan dengan yang lain sangat menaruh hormat pada Ahmad Qusasi.
Dia menyebut Ahmad Qusasi dengan “Pembimbing Spritual dan Guru di Jalan Allah”. Sesudah Ahmad Qusasi wafat, dia kembali ke Aceh dan kemudian mengajar dan mengembangkan tarekatnya. Dia dianggap sebagai Wali Tanah Aceh.
Setelah meninggal, makamnya dianggap paling keramat di wilayah itu. Hingga kini, orang masih banyak datang ke makamnya. Dia memperoleh nama baru yaitu Teungku Syiah Kuala. Kemasyhuran Abdur Rauf Singkel tidak hanya terbatas di Aceh tetapi juga di berbagai kawasan Indonesia.
Murid-muridnya kemudian menyebarkan tarekat yang dibawanya. Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan adalah murid Abdur Rauf Singkel yang mengembangkan Tarekat Syattariah di Sumatra Barat. Di Jawa Barat, tarekat ini dikembangkan oleh Abdul Muhyi. Dari daerah yang disebut terakhir, tarekat ini kemudian berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di Sulawesi, tarekat ini disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariah yang cukup terkenal yaitu Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699 M). Hingga kini Tarekat Syattariah masih banyak dianut muslim di berbagai daerah di Indonesia meskipun tidak sebesar masa lalu.
Sebagaimana halnya dengan tarekat -tarekat lain, Tarekat Syattariah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya. Para pengikut tarekat ini mencapai tujuan-tujuan mistik melalui kehidupan asketisme atau zuhud. Untuk menjalaninya, seorang lebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar ( orang-orang terpilih) dan Abrar ( orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia zikir.
Perkembangan mistik tarekat ini ditunjukkan untuk mengembangkan satu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah di dalam hati tetapi harus mencapai atau melalui tahap fana. Tarekat Syattriah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak nafas makhluk tetapi yang paling utama diantaranya adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar.
Ketiga kelompok tersebut memiliki metode masing-masing di dalam berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan dan kedekatan terhadap Allah. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani salat dan puasa, membaca Al-Qur’an, melaksanakan Haji dan berjihad.
Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Menurut para tokoh Tarekat Syattariah, jalan tercepat untuk sampai kepada Allah adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Syattar karena mereka memperoleh bimbingan langsung dari arwah para Wali.
Ada 10 aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini yaitu tobat, zuhud, tawakal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, rida, zikir, dan musyahadah ( menyaksikan keindahan, kebesaran dan kemudian Allah). Dzikir dalam tarekat ini terbagi ke dalam tiga kelompok yaitu menyebut nama Allah yang berhubungan dengan keagungan-Nya, menyebut nama-nama Allah yang berhubungan dengan keindahan-Nya dan menyebut nama-nama Allah yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut.
Menyebut nama-nama Allah yang berhubungan dengan keagungan-Nya akan menjadikan murid lebih tunduk kepada Allah. Nama-nama yang dimaksud adalah al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir. Setelah merasakan dirinya semakin tunduk kepada Allah, murid dapat menyebut nama-nama Allah yang berhubungan dengan keindahan-Nya yaitu al-Malik, al-Quddus, dan al-‘Alim. Adapun nama-nama yang berhubungan dengan kedua sifat tersebut di atas adalah al-Mu’min dan al-Muhaimin.
Dzikir dengan menyebut menyebut nama Allah harus dilakukan secara berurutan. Artinya, terlebih dahulu menyebut nama-nama yang berhubungan dengan keagungan Allah, kemudian diikuti dengan nama-nama yang berhubungan dengan keindahan Allah dan nama-nama yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut.
Proses ini dilakukan secara terus-menerus dan berulang-ulang sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berzikir. Apabila hati telah mencapai tahap seperti itu, dia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
Satu hal yang harus diingat dalam hal ini adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang guru atau Syekh, pembimbing spiritual yang telah mencapai pandangan yang tajam mengenai rahasia-rahasia dzikir. Pembimbing spiritual ini adalah seorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua realitas, tidak bersikap sombong dan tidak membukakan rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani zikir di dalam tarekat ini adalah sebagai berikut; makanan yang dimakan haruslah berjalan dari jalan yang halal, selalu berkata benar, rendah hati, sedikit makan dan berbicara, setia terhadap guru atau syekhnya, berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih, memadukan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri, makanan dan minuman dari pemberian pelayan, menjaga mata, telinga dan hidung dari sesuatu yang diharamkan, tidak membanggakan diri, mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji seperti memakai pakaian berjahit.