Oleh: Musthafa Kamal*
Sumber Ilustrasi: Lemonmove |
Pasalnya argumentasi mengenai keharaman wanita haid untuk berpuasa sejatinya tidak disebutkan oleh Al-Quran. Dasar yang digunakan oleh yuridis Islam adalah Hadis dari Aisyah,
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Artinya: “Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ sholat?” Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah?” Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyah,” akan tetapi aku hanya bertanya. Dia menjawab, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” (HR Muslim).
Namun konsensus yuridis Islam mengenai hal di atas, belakangan ini dibantah oleh sejumlah intelek Islam kontemporer yakni, Dr. Ahmad Imarah dari Mesir dan Prof. Dr. Abdul Aziz Bayindir dari Istanbul Turki yang mencoba menggunakan pendapat Yuridis akan Mengenai Kebolehan Puasa Saat Haid
Menurut Imarah, tidak dijumpai dalil baik dalam Al-Quran maupun Hadis yang menjadikan haid sebagai penghalang untuk wanita melaksanakan puasa. Ia bahkan menegaskan bahwa sebuah kekeliruan bila wanita membatalkan puasanya lantaran sedang haid.
. لم يرد فى تلك المسألة أمر ولا نهى قرأنى أو نبوى وأن النساء المسلمات يخطئن بإفطار رمضان خلال أيام الحيض.
“Tidak ditemukan mengenai masalah ini (keharaman wanita haid berpuasa) perintah maupun larangan dalam Al-Quran dan Hadis bahwa wanita membatalkan puasa Ramadlannya di waktu sedang haid”
Pendapat ini ia utarakan dalam unggahannya di Facebook beberapa tahun lalu dan telah ditonton lebih dari 65 ribu viewers. Pada intinya, Imarah tetap mengharuskan wanita haid untuk melanjutkan puasanya. Sudah dapat diduga pendapatnya ini ditentang keras oleh yuridis lainya.
Lebih lunak lagi, pendapat yang disampaikan Abdul Aziz Bayindir dalam karyanya Mafahim Yanbaghi An Tusahhah, ia menampik pendapat bahwa haid adalah penghalang puasa. Menurutnya jika haid merupakan penghalang puasa lantas mengapa di lain waktu wajib diganti (qodo’)?
ولو كان الحيض مانعا للصوم فما وجب عليها قضاء ما فات من أيام كالصلوات التى لا تقضيها بعدانتهاء أيام الحيض
“seandainya haid merupakan penghalang puasa, mengapa wajib bagi wanita untuk menggantinya? Tidak seperti shalat yang tidak perlu diqodo’ selepas haid”
Dengan bahasa satire, ia menyindir para yuridis bagaimana mungkin kita diperintahkan untuk mengganti ibadah yang jelas keharamannya. Menurut yuridis Islam puasa haram dilakukan namun yang agak menggelitik adalah mengapa harus diqodo’. Lebih lanjut mengenai qodo’ akan dijelaskan pada alenia berikutnya.
Jika yuridis Islam lainya memposisikan haid sebagai penghalang, maka Bayindir hendak memposisikannya sebagai udzur. Dengan demikian, mengikuti alur logika ushul fiqh, wanita diberikan opsi antara melaksanakannya atau meninggalkannya. Sama seperti sakit, bukan lantas haram untuk berpuasa namun boleh memilih antara berpuasa atau tidak. Haid pun demikian, di masa haid wanita akan merasakan sakit yang luar biasa.
Mengenai qodo’, Bayindir menggugat pemaknaan qodo’ sebagai mengerjakan ibadah di luar waktunya. Menurutnya sembari mengutip pendapat Ibnu Taimiyah bahwa qodo’ sejatinya mengerjakan ibadah pada waktuya bukan justru sebaliknya. Sebagai apologi, ia mengutip ayat Al-Quran فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ atau فَاِذَا قَضَيْتُمْ مَّنَاسِكَكُمْ. Kedua ayat ini berarti melaksanakan tepat pada waktunya. Menjadi kontradiktif apabila diartikan sebalinya.
Hal ini merupakan sedikit contoh yang ingin menyampaikan kepada kita bahwa Islam tidak sebegitu jumudnya bahkan pada peristiwa yang diyakini telah terjadi konsensus dikalangan pemikir Islam. Pendapat hanya sebuah pendapat, kita diberikan keleluasaan untuk mengikuti mana yang sekiranya ideal untuk diikuti. Wallahualam bishawab